Reyna menghela napas panjang, orang ini tidak tahu diuntung dan tidak tahu diri, batinnya menggeram. Sudah jelas dia berselingkuh di depannya, tapi kenapa dia dengan entengnya meminta maaf dan meminta pula kesempatan untuk kembali kepadanya.
Judith akhirnya memberanikan diri untuk meminta maaf. “Aku juga, Reyna. Aku minta maaf. Kami … kami khilaf, Reyna.”
Basi, umpat Reyna dalam hati. Baginya tidak ada gunanya menanggapi orang-orang seperti Iben dan Judith, juga tidak ada gunanya marah-marah, lagi-lagi dia berkata, “Ya, aku maafkan.”
Ketiganya terdiam, Judith dan Iben saling pandang, dan Reyna yang diam tidak bergeming.
“Rey. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi. Aku ingin kita berdua seperti dulu lagi. Aku cinta kamu, Rey,” ujar Iben penuh harap.
Tentu saja Reyna tidak mempercayai kata-kata Iben lagi. Laki-laki itu telah melukai hatinya, tepat di hari bahagianya. Padahal dia ingin sekali berbagi kebahagiaannya dengan orang-orang terkasih atas pencapaiannya dan prestasinya. Tapi yang dia dapatkan justru sebuah pengkhianatan. Dia dibohongi, Iben yang mengaku sakit, tapi malah berselingkuh dengan perempuan lain. Jelas-jelas Iben lebih mementingkan perempuan lain dibanding dirinya, dan dia tentu saja memilih menyudahi hubungan asmaranya.
“Aku nggak cinta kamu lagi,” desisnya.
Iben tersungkur di depan Reyna, memohon sambil menangis. “Reyna, beri aku kesempatan sekali lagi, Rey. Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Rey.”
“Sebaiknya kamu pergi dari rumahku. Aku bukan siapa-siapa kamu lagi.”
“Reynaaa, aku menyesal, Rey,” isak Iben, menangis sejadi-jadinya. “Aku menyesaaal.”
Judith jadi iba melihat Iben yang sujud di depan Reyna. Dia ingin mendekati Iben, tapi ragu-ragu karena khawatir Reyna marah atau mungkin saja cemburu.
Reyna dengan cepat mundur saat kakinya hendak dipeluk Iben.
“Pergi kamu, atau aku panggil orang untuk mengusir kamu!” ketus Reyna.
“Reynaaa. Tega kamu, Reyna. Tolonglah, kasih kesempatan kepadaku.” Iben masih saja menangis, memohon kepada Reyna.
Judith yang masih iba melihat Iben yang menangis tertunduk di depan Reyna, akhirnya mendekati Iben dan membantunya berdiri. Dia sepertinya tahu bahwa Reyna sudah tidak mau memberinya kesempatan saat itu.
“Ayo kita pulang, Ben,” ajak Judith.
Iben akhirnya berdiri, menatap Reyna dengan perasaan sedih bercampur kecewa. Dia berusaha tegar di depan Reyna di tengah isak tangisnya, “Baiklah jika kamu nggak mau memberiku kesempatan lagi,” ujarnya dengan tatapan kesalnya. Lalu melanjutkan, “Kamu akan menyesal.”
Ha? Nggak salah? Reyna mengernyitkan dahinya saat mendengar kata-kata terakhir Iben sebelum melangkah pergi dari rumahnya. Siapa yang melakukan kesalahan besar? Kenapa harus dirinya yang menyesal? Justru dia yang merasa sangat bahagia telah terlepas dari hubungan toksik dengan Iben.
“Ada apa, Non?” Salah satu pekerja rumah Reyna datang menghampiri Reyna dengan langkah tergesa-gesa.
“Nggak apa-apa, Pak Sudin. Itu si Iben. Aku bukan pacar dia lagi. Jadi kalo dia datang ke rumah, usir saja.”
“Oh, baik, Non.”
Reyna lalu masuk ke dalam rumahnya.
***
Wajah Iben berubah murung saat menaiki motor besarnya. Sempat pula dia menatap sinis ke arah rumah Reyna. Dia tertawa sinis, “Aku nggak akan tinggal diam,” desisnya. “Dia harus jadi milikku.”
“Sudah, Ben. Sepertinya dia sudah marah sekali dan nggak mau sama kamu lagi. Lagi pula kita memang salah.”
“Kamu yang salah! Kamu yang maksa aku malam itu, ‘kan? Kamu yang punya ide agar aku mengaku sakit dan tidak usah datang melihat wisudanya? Kamu yang ancam aku nggak ngasih aku jatah!” Tiba-tiba saja Iben melayangkan amarahnya ke Judith.
“Lalu kenapa kamu mau?” balas Judith sengit.
Iben menatap wajah Judith dengan tatapan geramnya.
“Kasih dia waktu. Ini terlalu cepat kamu meminta maaf. Cewek itu kalo didiemin lama, ntar lama-lama dia pasti mikir. Apalagi kamu itu cinta pertamanya dia. Mustahil dia bisa mudah melupakan kamu. Kamu yang harus sabar.”
Iben menggeleng, tidak sepakat dengan apa yang disarankan Judith, agar dia menunggu waktu yang tepat untuk meminta kesempatan dari Reyna. Menurutnya Judith salah, justru semakin cepat dia meminta maaf kepada Reyna, akan semakin cepat pula Reyna memaafkan, dan dia bisa kembali berpacaran lagi dengan Reyna.
“Ben. Percaya aku, dia tuh sebenarnya butuh waktu. Ingat, dia yang bucin banget sama kamu selama pacaran. Huh, seharusnya kamu nggak sampai mohon-mohon sampai bersujud di depannya. Itu justru membuat dia jadi besar kepala,” gerutu Judith.
Iben berdecak kesal, menyesalkan Reyna yang tidak memberinya kesempatan.
“Lebih baik kita bersenang-senang di apartemenku,” usul Judith yang sudah duduk di belakang Iben, dan memeluknya erat.
Iben melirik Judith, dan tersenyum usil, dia menyalakan mesin motornya dengan semangat setelah mendengar tawaran Judith yang menggiurkan.
Baru beberapa meter motornya menjauh dari rumah Reyna, sebuah mobil sedan hitam mengikutinya dari belakang, dan melesat ke samping motor Iben. Seorang laki-laki tegap berkacamata hitam yang duduk di samping sopir berteriak menyuruh Iben berhenti.
Iben tentu saja terkejut, dia melajukan motornya.
“Hei! Berhenti kamu!”
Iben semakin melaju, Judith yang di belakangnya menepuk-nepuk pundak Iben agar berhenti, tapi Iben tidak mau mendengarnya, terus saja melaju.
Orang yang ada di dalam mobil kesal, jalanan perumahan kosong dan dia dengan mudah mempercepat laju mobil hingga menyenggol motor Iben dari belakang, dan Iben terjungkal bersama Judith di atas aspal.
“Tolooong!” Iben berteriak karena salah satu kakinya tertimpa motor, sedangkan Judith berhasil berdiri dan melangkah terseok-seok menjauh darinya.
Dua orang ke luar dari mobil dan mendekati Iben dengan wajah bengis dan kesal.
“Tadi disuruh berhenti juga! Makanya jangan sok jagoan!” hardik salah satu orang yang ke luar dari mobil. Lalu dia mendekati Iben yang meringis kesakitan, menodongkan sebuah pisau lipat kecil ke kakinya. “Jangan coba-coba kamu datang ke rumah itu menemui Reyna, jika tidak mau kehilangan kaki ini,” ancamnya.
“Aaakh, jangaaan.” Iben meraung karena kakinya ditusuk kecil ujung pisau.
Rambut Iben ditariknya kuat orang itu.
“I … iya. Aku janji, Om. Aku janji nggak akan temui Reyna lagi,” gugup Iben.
“Bagus. Sekali lagi aku lihat kamu di dekat Reyna, kamu ingat ancaman aku tadi, dan aku tidak pernah main-main dengan ancamanku.”
“I … iya, Om. Iyaaa.”
Orang itu melepas cekalannya dari rambut Iben dengan kasar, lalu menyuruh pria lainnya untuk membantu menegakkan motor Iben, juga membantu Iben berdiri.
Bersambung