Bab 5. Tawaran Dewa

1373 Kata
Dewa : Yadi akan menjemputmu ke rumah Reyna terdiam saat membaca pesan dari Dewa, dia melirik jam digital di sebelah tempat tidur, menunjukkan jam sembilan malam. Tentu saja dia bertanya-tanya kenapa Dewa menyuruhnya datang ke apartemennya malam-malam, berusaha menebak. Berdecak kesal, Reyna beranjak dari tempat tidur dan bersiap-siap. *** Dalam perjalanan menuju gedung apartemen Dewa yang berdekatan dengan gedung kantor, Reyna memainkan ponselnya sambil membaca ulang daftar pekerjaan yang diberikan Dewa kepadanya yang dia scan di ponsel. “Dewangga Tamawijaya.” Reyna menyebut nama lengkap Dewa dalam hati, dan matanya tersorot ke akhir nama Dewa, mengingat pria yang dia temui di klub malam hotel, Tama. Jantung Reyna berdegup kencang, mengingat kembali pertemuan di klub, dan entah kenapa dia jadi yakin Dewa dan Tama adalah orang yang sama. Apa ini sebuah kebetulan? Atau Dewa sengaja mengatur pertemuan di klub? Apa dia sudah diikuti sejak lama? Reyna jadi takut kejadian malam itu terulang kembali. Tapi kenapa harus takut? Bukankah itu adalah kesempatan untuk meminta pertanggungjawaban dari Dewa? Pertanggungjawaban, Reyna mengulang kata itu dalam hatinya dan dia menggeleng, memilih untuk tidak lagi berurusan dengan pria yang telah menodainya. Tapi apa dia orangnya? Pikiran Reyna berkecamuk, dia berubah pikiran untuk pulang ke rumah, “Pak Yadi.” “Iya, Mbak Reyna?” Gedung apartemen sudah di depan. “Antar aku pulang.” “Lo?” Reyna cemas bukan main. Tapi seandainya Dewa bukan Tama? Dia kembali ragu. “Wah, jangan sampai pak Dewa ngamuk, Mbak,” ujar Yadi keberatan, tidak mau Dewa marah dan berujung diskor. Reyna berpikir sebentar, tidak tega juga dengan Yadi. Yadi membuka pintu mobil untuk Reyna. “Aku pergi sendiri, Pak.” Yadi menatap wajah Reyna ragu, khawatir gadis itu malah nekad pulang, dan dia akan kena imbasnya. “Percaya sama aku, Pak,” ujar Reyna meyakinkan. “I … iya, Pak. Kami sudah di lobi.” Yadi berbicara melalui ponselnya, suara berat Dewa di ponselnya terdengar sampai ke telinga Reyna. “Pak Dewa sudah menunggu, Mbak.” Reyna mengangguk, dia harus pergi ke apartemen Dewa. Setelah memastikan mobil perusahaan pergi, barulah Reyna masuk ke dalam gedung, sebuah gedung apartemen mewah berdesain klasik. Reyna sempat pula mengutuk kecil akan selera bosnya yang menurutnya kuno, dia lebih suka desain modern dan futuristik, seperti rumah orangtuanya atau kantor papanya yang juga futuristik. Maklum, papa Reyna, Ziyad, adalah seorang arsitek senior yang bekerja di beberapa perusahaan. Reyna sudah berdiri di depan pintu apartemen Dewa, lagi-lagi dia merasa di abad ke delapan belas atau sembilan belas, saat melirik sebentar ke koridor apartemen yang bergaya klasik. Entah kenapa, dia jadi menyukainya. Reyna merogoh tas kecilnya, mengambil kartu kunci apartemen yang memang sudah diberikan Dewa tadi pagi saat mulai bekerja. Akses pintu terbuka dan Reyna masuk ke dalamnya. Reyna terkejut, ternyata dalam apartemen Dewa justru sangat futuristik dan mewah, bahkan menurutnya lebih mewah dibanding kantor atau rumah orangtuanya. “Pak Dewa,” panggil Reyna setelah menutup pintu. Dia melihat tidak ada orang di dalam apartemen, pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, dengan hati-hati dan awas, dia melangkah masuk. Reyna tersentak, Dewa ke luar dari salah satu kamar dengan sehelai handuk di pinggang. Dia mengacak rambutnya yang basah, menatap sekujur tubuh Reyna dari atas hingga bawah. “Pak.” Reyna mengangguk hormat. Tidak dapat dia elak dari kekagumannya terhadap tubuh sempurna Dewa, terutama di bagian d**a dan perut. Tapi cepat-cepat dia mengalihkan pandangannya ke bawah. “Masuklah, aku baru saja mandi. Siapkan bajuku.” Reyna mengusir ragunya, melangkah masuk ke dalam kamar Dewa. Dia mempelajari sebentar kamar luas dan mewah Dewa, dan dengan cepat bisa menebak posisi ruang lemari baju. “Ada yang ingin aku bicarakan,” ujar Dewa yang masih mengeringkan rambutnya, matanya tertuju ke bagian belakang tubuh Reyna yang mungil, seolah mengingat sesuatu. Untungnya lemari Dewa sangat rapi dan sudah tersusun baju siap pakai, dari fungsi dan nama hari-harinya. Jadi dengan mudah Reyna tahu apa yang harus Dewa pakai malam ini. Reyna sudah mengambil baju pilihannya dengan hati-hati, agar susunan baju atasannya itu tetap rapi. “Sudah kamu baca list pekerjaanmu?” tanya Dewa saat Reyna menyerahkan baju kaus tipis dan langsung memakainya. “Sudah.” Reyna sedikit heran dengan pertanyaan Dewa. Ini kedua kali Dewa melontarkan pertanyaan yang sama. “Bagus.” Reyna membalikkan badannya saat Dewa memakai celana dalam dan celana pendeknya. “Aku tunggu di ruang tamu,” ujar Dewa sambil meletakkan handuk di pundak Reyna, menyuruhnya meletakkannya di dalam kamar mandi. Reyna mendengus kesal saat berjalan menuju kamar mandi dan meletakkan handuk. Dia seperti pesuruh saja, tapi apa boleh buat, ini yang ada di list pekerjaannya yang sudah dia tandatangani, bahwa dia harus melayani kebutuhan Dewa dan apapun yang menjadi perintahnya. Tapi perasaannya berubah begitu melihat kamar mandi mewah Dewa, dengan aromanya yang menenangkan. Entah bagaimana pandangan Reyna tersita ke keranjang cuci dan dia melihat kemeja putih yang sepertinya pernah dia lihat. Dia mengambil kemeja itu dari keranjang dan membauinya. Reyna terkesiap, aroma kemeja ini persis dengan aroma tubuh Tama yang dia kenal di klub. Dia mengingat lagi kejadian itu, di mana dia masih bisa membaui aroma tubuh Tama saat menindihnya dan berusaha melepas pakaiannya. Lalu dia tidak ingat apapun setelahnnya. Reyna gelisah, yakin Tama adalah Dewa. Reyna kembali ke ruang tamu dengan langkah gontai. Di sana Dewa sudah duduk dalam posisi siap di sofa dan di depannya ada meja dengan beberapa lembaran kertas di atasnya. Dewa menyuruh Reyna duduk di depannya dengan isyarat wajahnya. “Aku membutuhkan bantuanmu, dan aku tidak mau ada penolakan.” Mata Reyna mengabur saat melihat lembaran kertas yang sekilas ada kata perkawinan di sana. “Kamu tanda tangani semua dokumen ini. Sabtu ini kita menikah.” Reyna memberanikan diri menatap Dewa. Mulutnya seperti terkunci, gemetar saat ingin mengungkapkan sesuatu. “Pak Dewa.” “Baiklah. Kita menikah selama satu tahun, aku sedang menunggu kekasihku pulang dari Paris. Aku harus menikah minggu ini karena aku sudah berjanji kepada orangtuaku akan menikah. Jika tidak, ck, aku tidak mau Tamawijaya jatuh ke tangan orang lain.” Reyna mengernyitkan dahinya, menikah satu tahun, ulangnya dalam hati. Dia langsung mengingat keduaorangtuanya. “Aku tawarkan posisi kamu jadi sekretaris utama secara penuh setelah satu tahun menikah, dan kamu bukan lagi asisten pribadiku. Selama itu kamu aku berikan fasilitas, kendaraan dan sopir, apartemen di gedung ini. Tidak ada seks, tidak perlu tinggal bersama, kecuali ada sidak mendadak. Setelahnya kamu bebas dan mendapat pekerjaan tetap di Tamawijaya, sebagai salah satu sekretaris utama. Tiga milyar.” Reyna menelan ludahnya saat melihat secarik cek, tertera di sana sejumlah uang yang disebutkan Dewa jika dia menerima pernikahan. Ada perasaan tenang saat Dewa menyebut tidak ada kegiatan panas di atas ranjang. Terlebih, dia yakin keduaorangtuanya bangga jika dia menjadi salah satu sekretaris utama Tamawijaya Group. “Aku … “ “Apa yang kamu pikirkan?” “Orang tuaku.” “Ya, pandai-pandai kamu menceritakan ini.” “Mereka di Oxford.” “Oh.” Dewa berdecak dan hampir mengumpat. “Mereka akan pulang enam bulan mendatang.” Dewa berpikir keras, mamanya pasti bertanya-tanya tentang orang tua Reyna. “Oke….” Dewa menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. “Kamu tetap memberitahu mereka, dan aku akan membantumu meyakinkan. Serahkan soal ini kepadadaku.” Reyna agak ragu sebentar, lalu mengangguk. “Baik.” Reyna menandatangani semua dokumen yang ada di atas meja dan Dewa memperhatikannya dengan seksama. Reyna cukup lega saat membaca salah satu dokumen bahwa dia bukan lagi asisten pribadi Dewa setelah menikah. Ada banyak yang dia rencanakan dengan uang serta fasilitas dari Dewa untuknya, terutama saat mengingat pengkhianatan Iben kepadanya. Dokumen sudah selesai ditandatangani, dan Dewa tampak puas, juga Reyna yang lebih relaks. “Ya, kamu boleh pulang.” Reyna berdiri dari duduknya dan melangkah menuju pintu utama. Entah kenapa saat membuka pintu, teringat kembali kejadian malam itu di klub, dan mendadak khawatir seandainya dia mengandung. Reyna menggeleng tidak mau mengingat kejadian itu. “Rey.” Reyna menoleh ke belakang, sedikit kaget karena ternyata Dewa mengikutinya dari belakang. “Satu lagi, aku lupa mencatatnya di perjanjian,” ujar Dewa. “Apa lagi, Pak.” “Kamu tidak boleh clubbing.” Reyna membalikkan tubuhnya, menghadap Dewa, memperhatikannya dengan seksama. Dia mendadak terpaku. “Tama—“ Tanpa sadar, Reyna memegang perutnya dan Dewa memperhatikannya. ”Kamu tidak hamil. Aku membuangnya ke luar,” ujar Dewa dengan ekspresi datarnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN