Bab 6. Persetujuan

1363 Kata
Beberapa hari sebelumnya Dewa bertengkar hebat dengan Anggi yang tetap memaksakan diri pergi ke Paris demi karir modelnya, hingga akhirnya Anggi mengalah dan berjanji untuk menuruti kehendak Dewa. Namun, ternyata Anggi tidak menepati janjinya dan tetap pergi, dan ini tentu saja membuat Dewa sangat kecewa, merasa dikhianati. Hubungan Dewa dan Anggi kurang disukai Martha, mama Dewa. Tapi karena kesehatan Harvey, papa Dewa, memburuk dan ingin Dewa segera menikah, mau tidak mau Martha menyetujui hubungan asmara anaknya tersebut, dan menyuruh mereka menikah. Dewa kelabakan karena Anggi yang malah pergi tanpa seizinnya. Terlebih, Martha mengeluarkan ancaman dari Harvey yang tidak main-main, bahwa Dewa tidak berhak mewarisi sedikitpun saham Tamawijaya. Martha mengajukan Felisha, keponakannya yang sangat pintar, seorang dosen di kampus ternama untuk dinikahi Dewa. Tapi Dewa menolak karena dia tidak menyukai Felisha. Sebelumnya Dewa memiliki asisten pribadi, Leni, yang juga bekerja sebagai petugas kebersihan di apartemennya. Leni berhenti bekerja karena harus merawat suaminya yang sakit-sakitan di kota Bandung. Dua minggu Dewa bekerja tanpa asisten. Akhirnya, Igun memberi ide untuk membuka lowongan kerja tersebut dan dia mengusulkan asisten pribadi Dewa kali ini harus pintar dan bisa bekerja sekaligus sebagai sekretaris. Usulan ini diterima Dewa dan menyerahkan urusan ini ke Okta, kepala HRD Tamawijaya Group. Melihat banyaknya yang melamar, entah bagaimana Igun dan Okta tertarik dengan lamaran yang diajukan Reyna Farihah Abdul, keduanya menyukai gadis yang berwajah cantik, serta nilai akademik yang sangat tinggi, meskipun belum memiliki ijazah. Usianya juga sangat muda, dua puluh satu tahun. Lamaran Reyna mengalahkan ribuan lamaran, terpilih langsung sebagai sekretaris sekaligus asisten pribadi Dewa. Berkas Reyna pun mendarat ke meja kerja Dewa dan dia menyetujui. Dewa melepas kepergian Reyna malam itu. Mengingat wajah sendu dan bingung Reyna barusan, dia jadi mengenang perkenalan tidak terduga dengan Reyna di klub suatu malam. Dia memang sudah mengira bahwa gadis yang dia kenal itu adalah Reyna yang melamar pekerjaan di perusahaannya, tapi belum sepenuhnya yakin, karena Reyna menyebut nama lengkapnya dengan sedikit kekeliruan, dengan nama belakang yang berbeda dari berkas lamaran. Dia kemudian yakin Reyna adalah calon asisten pribadinya setelah sekilas memeriksa ponselnya di sela pembicaraannya dengan Reyna di meja bar, melihat foto asli Reyna. Entah apa yang di dalam pikiran Dewa saat Reyna sudah mabuk, terutama saat Reyna salah menyebut nama kekasihnya dengan hinaan, yang dia tahu Reyna tidak sengaja, dan itu lumayan menyulut amarahnya. Ingin memberi pelajaran, Dewa pun sengaja menyetubuhinya, dan tidak peduli lagi dengan Anggi. Dewa kembali mengingat kegiatan panasnya malam itu. Dia begitu b*******h saat tahu Reyna yang ternyata masih perawan. Entah berapa kali dia mengalami kepuasan, memanfaatkan Reyna yang mabuk, antara tidur dan tidak tidur. Saat tersadar di tengah malam, Dewa mengirim pesan ke Okta agar segera mengirim pesan ke Reyna untuk segera datang ke kantor besok dan bukan lusa. Dan dia pun mendapat ide segar saat mengamati tubuh telanjang Reyna di atas kasur, kembali menyetubuhinya hingga dini hari. *** Reyna gamang saat pulang menuju rumah malam itu, merasa sangat aneh dengan hidupnya, dilanda masalah bertubi-tubi tanpa jeda secara hampir bersamaan, dari ditinggal pergi lama kedua orangtua ke luar negeri, menghadapi perselingkuhan Iben, disetubuhi pria yang ternyata adalah bosnya, lalu terpaksa menikah dengannya, dengan beberapa kesepakatan. Reyna awalnya tidak mengerti apa yang dikatakan Dewa kepadanya saat hendak pulang, dia tidak hamil karena Dewa yang membuangnya ke luar. Reyna sekilas membaca seputar seks, dan itu ternyata salah satu cara hubungan seks aman agar terhindar kehamilan. Meskipun lega dia tidak hamil, tapi Reyna menyesalkan dirinya yang kehilangan kehormatan. Tawaran pernikahan lumayan mengurangi kekecewaan dan penyesalan, setidaknya dia memiliki status yang jelas. Reyna pulang ke rumah malam itu, dan perasaannya mulai gelisah lagi saat berada di dalam kamar. Sabtu ini dia akan menikah dan dia harus memberitahu keduaorangtuanya. Malam menunjukkan pukul sebelas, dia pikir mama dan papanya pasti sedang santai sekarang karena di kota Oxford yang masih sore. Tanpa ragu dia menghubungi mamanya. Berulang kali Reyna mencoba menghubungi mamanya, di menit ke lima barulah dia mendapat jawaban. “Halo, Sayang. Apa kabarmu?” “Aku baik, Ma.” “Maaf, Ma. Aku pasti ganggu waktu santai Mama.” “Nggak apa-apa. Mama tadi di ruang makan sama papa. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu.” Reyna menarik napasnya dalam-dalam. “Ma. Aku mau menikah.” “Ha? Reyna?” “Ya, Sabtu ini, dan ini sangat mendesak.” “Kamu hamil?” “Ma. Dengerin aku dulu.” “Sama Iben? Reyna! Astaga, oh my God! Ohhhh. Kamu kecewakan Mama, Sayang. Mama nggak mau kamu menikah dengan pengangguran itu! Lebih baik kamu hamil tanpa dia kalo kamu hamil sekalipun dengan dia, Mama nggak rela, Rey. Mama nggak relaaa!” “Mama! Dengerin dulu!” Reyna geram mamanya yang panik, terdengar pula suara papanya yang menenangkan mamanya. “Reyna! Kamu mau menikah?” “Papa. Iya, aku akan menikah dengan—“ “Kamu hamil?” “Papa. Ck.” “Reyna, Papa nggak setuju kamu menikah dengan Iben.” Sepertinya papa dan mamanya berebut ingin bicara dengan Reyna, mereka sama-sama saling menyalahkan. Terdengar mamanya menyalahkan papanya yang menyetujui perpanjangan tinggal di Oxford dan papanya yang menyalahkan mamanya yang memaksa diri ikut ke Oxford, bahkan saling menyalahkan pula gagal mendidik Reyna. Untungnya Reyna bisa mengendalikan emosinya, membiarkan mereka berdua bertengkar beberapa saat. “Halo, Reyna. Kamu masih di sana?” “Ma. Aku nggak menikah dengan Iben.” “Lalu kamu menikah dengan siapa, Rey?” “Aku akan menikah dengan Dewangga Tamawijaya.” “Ha?” Hening seketika di ujung sana. “Halo, Rey. Tamawijaya?” “Iya, Pa. Bosku.” “What the he**.” “Papa ih, nggak sopan!” Almira, mama Reyna, mengubah pengaturan panggilan dengan video-call. “Ma, Pa. Izinkan aku menikah dengan Dewangga Tamawijaya,” ujar Reyna sungguh-sungguh, berharap mama dan papanya mengizinkan. “Ka … kamu nggak salah?” tanya Almira tak percaya. “Sabtu ini aku harus menikah dengannya.” “Reyna … Dewangga itu CEO perusahaan besar.” “Ya, aku bekerja dengannya dan dia menyukaiku, lalu … dia ingin menikah denganku.” “Reyna. Tidak mungkin, secepat itu … apa dia merencanakan sesuatu terhadap kamu?” Tentu saja papa dan mamanya tidak secepatnya mempercayai Reyna begitu saja. “Ya, dia berencana menikah denganku.” Almira mengubah pengaturan panggilannya. Dia sepertinya memutuskan ingin bicara dengan Reyna dari hati ke hati. “Halo, Reyna sayang. Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Almira yang sepertinya sudah melunak dan tenang. “Aku … aku ke klub, tidak sengaja bertemu dengannya dan … kami bercinta di hotel.” “Astaga.” “Maaf, Ma.” “Kamu hamil?” Reyna sepertinya harus terpaksa berbohong, “Aku nggak tau, Ma. Aku bercinta dengan pak Dewa beberapa malam lalu.” “Kamu mabuk?” “Ya.” “What the … ck. Reyna.” Reyna mau tidak mau menyembunyikan perjanjiannya dengan Dewa bahwa dia hanya satu tahun menikah, yang penting dia mendapat persetujuan dari keduaorangtuanya, dan bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Sabtu ini, dia akan menjadi istri Dewangga, tak peduli apa kata orang-orang yang pasti akan terkejut. Indy, Iben atau siapapun yang mengenalinya. Terdengar helaan napas berat di ujung sana. “Reyna. Lalu apa yang harus Mama dan papamu lakukan dengan pernikahan kamu, Mama dan papa di sini dan nggak bisa pulang secepatnya, sedangkan kamu beberapa hari lagi akan menikah.” “Mengizinkanku, itu saja. Aku … akan mengatakan ini ke pak Dewa. Mungkin … besok dia akan bicara langsung dengan Mama dan papa, hm … tentang pernikahan ini.” “Reyna.” “Maaf, Ma. Aku … janji akan melanjutkan kuliah dua tahun lagi.” “Tapi kamu menikah, dan seandainya suami kamu tidak mengizinkan—“ “Dia pasti memberiku izin. Mama tenang saja.” “Reyna … tapi … kamu baru saja mengenalnya. Kenapa bisa?” “Ma. Izinkan aku menikah, ini sangat mendesak.” “Ah, Reyna.” Almira seperti menyadari sesuatu bahwa anaknya sudah terlibat malam panas dengan bosnya. “Baiklah. Mama tunggu kabar darimu.” Baru saja Reyna mengakhiri panggilannya, dia mendapat pesan dari Dewangga, menyuruhnya memberi kabar kepadanya apa yang sudah dia lakukan menjelang menikah. Reyna : Aku sudah menghubungi mama dan papaku, dan mereka setuju. Tidak ada balasan apapun dari Dewa, tapi dia sudah membaca pesan Reyna. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN