Meskipun gugup, Reyna bisa bekerja dengan baik di hari pertama di Tamawijaya Group. Tidak ada yang aneh dari sikap yang ditunjukkan Dewa hari itu. Seperti CEO pada umumnya, dia sangat sibuk dan Reyna yang harus berada di dekatnya dan harus mengikuti ke mana dia pergi dan siap dengan segala perintahnya. Untungnya di hari pertama itu ada Igun yang menemani Reyna, dia menjelaskan semua yang harus Reyna tahu, dari sifat dan kepribadian Dewa, kebutuhan bos itu setiap hari, kemauannya, apa yang dia suka dan tidak, juga memperkenalkan keluarga Dewa dengan menunjukkan beberapa anggota keluarga penting melalui foto-foto di layar ponsel Igun. Sepertinya pekerjaan Reyna tidaklah begitu sulit, Reyna yakin bisa bekerja dengan baik. Reyna juga menyukai suasana kantor di mana orang-orang bekerja di sana ramah dan mau menanggapi pertanyaannya dengan serius.
“Pak Dewa itu galak kalo ada pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Kalo kita bekerja dengan baik dan nurut, dia nggak akan galak. Ya, dia itu saklek, susah diberitahu. Tapi tenang saja, dia orangnya baik dan perhatian. Hm … satu-satunya orang yang nggak bisa bikin dia marah adalah Anggi.”
“Anggi?”
Deg, Reyna seperti pernah mendengar nama itu, tapi di mana dan kapan dan kenapa? Dia lupa.
“Ya, Anggi itu pacarnya pak Dewa, dia sekarang berada di Paris untuk jadi modelling terkenal di sana.” Wajah Igun terkesan sinis saat membicarakan Anggi. “Jangan singgung soal Anggi di depan dia, agak sensitif karena pak Dewa sedang bete soal Anggi.”
“Oh, ok.”
“Pokoknya jadi gadis baik dan penurut saja,” ujar Igun menekankan.
Reyna mengangguk semangat.
“Kamu pasti bisa mengikuti cara kerjanya.”
“Ok, Gun. Makasih banyak. Aku senang dan kayaknya betah karena … ada kamu.”
Igun tertawa, senang dengan kepribadian Reyna yang menurutnya sangat cocok dengan Dewa. “Pokoknya kalo ada apa-apa kamu omongkan ke aku.”
“Ya.”
Benar apa yang dijelaskan Igun, Dewa tidak galak jika dia bekerja dengan baik dan cepat melakukan apa yang dia perintah. Sempat pula sore itu Dewa memerintah Reyna untuk menyerahkan cetakan dokumen yang diinginkan sesegera mungkin, sedangkan Reyna sedang menyiapkan snack ringan untuk Dewa di dapur kantor. Reyna hampir saja menolak karena makanan ringan sudah hampir siap, tapi dia langsung mengiyakan perintah Dewa, meninggalkan apa yang sedang dia kerjakan.
Tidak ada yang menakutkan bagi Reyna di hari pertama, dan dia bekerja dengan sangat baik. Tampaknya Dewa menyukai pekerjaannya.
***
Reyna menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk sore itu saat pulang dari kantor. Perasaannya berubah galau, memikirkan Iben yang selingkuh. Tatapannya Reyna kosong mengingat kembali dua tubuh telanjang sedang bersatu, masih mengingat keduanya mengerang dan mendesah. Masih jelas di ingatan Reyna Iben yang semangat mengayunkan pinggulnya, tapi kegiatan panas terhenti saat dia memergoki.
Air mata Reyna mengalir mengingat lagi kejadian yang menimpanya di sebuah kamar hotel. Seorang pria yang baru dia kenal dan bernama Tama memanfaatkan dirinya yang tengah mabuk berat, menggaulinya dan merenggut keperawanannya. Reyna berusaha mengingat-ingat wajah dan semua percakapan mereka malam itu di meja bar. Tapi semakin dia berusaha mengingat, semakin pudar ingatannya, hingga dia tidak bisa mengingat satupun, hanya nama Tama. Dia sempat mengira Tama adalah Dewa karena keduanya sangat mirip, atau mereka yang mungkin saja memiliki hubungan keluarga. Reyna menggeleng, tidak yakin.
“Halo.”
“Rey! Astaga. Kenapa kamu nggak angkat telepon, pesan nggak dibalas! Iben nanyain kamu lo. Dia ke rumah kamu dan ternyata kamu nggak ada.”
Reyna berdecak kesal.
“Ngapain dia cari aku.”
“Ada apa, Rey? Kamu lagi berantem sama dia?”
“Nggak, aku putus.”
“Reyna. Cerita dong. Kamu biasanya cerita, kok?”
“Aku nggak ada di rumah karena aku kerja hari ini.”
“Lah? Katanya besok?”
“Disuruh hari ini, In. Makanya aku cepet-cepet pulang pas antar kamu ke kostan.”
“Oh, pantes si Iben nggak nemu kamu di rumah.”
“Nggak usah lagi kasih kabar aku ke dia. Aku dan dia sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi.”
“Kenapa, Rey?”
Tidak tahu kenapa, Reyna tidak mau menceritakan apa yang dia lihat saat dia mengunjungi apartemen Iben dan melihat dengan jelas Iben berselingkuh. Mengingatnya saja sudah membuat dadanya sesak dan dia tidak mau menangisinya, apalagi mengungkapkannya. Dia tidak mau frustrasi berlarut-larut memilih fokus bekerja dan merasa lebih baik berpikir untuk diri sendiri.
“Nggak ada apa-apa.”
Terdengar decakan sebal di ujung sana.
“Oh, oke. Baiklah. Hm … gimana hari pertama kamu bekerja?”
Pertanyaan Indy membuat perasaan Reyna lebih tenang.
“Ya, hari yang sangat baik. Aku suka pekerjaanku.”
“Coba aku tebak, bosmu cowok ganteng, masih muda tiga puluhan, bersahaja dan gagah? Apa itu yang membuatmu suka dengan pekerjaanmu. Dan kamu adalah asisten pribadi. Hm … si bos pasti akan jatuh hati kepadamu. Aku sudah bosan kamu sama Iben.”
Reyna tertawa kecil. “Semua tebakanmu benar. Tapi dia sudah punya pacar, seorang model profesional.”
“Oh ya? Oh, tidak masalah, yang penting hatimu senang melihat cowok tampan dan mapan setiap hari.”
“Iya, begitulah.” Meskipun Dewa sangat tampan dan berkulit putih bersih, tapi tidak membuat Reyna terbuai atau berhasrat ingin memiliki. Apalagi Dewa sudah punya kekasih.
“Rey. Ada apa kamu dengan Iben?”
“Dia selingkuh.” Akhirnya Reyna tidak tahan lagi untuk bercerita.
“Ha? Sama siapa? Bagaimana kamu bisa tau?” tanya Indy terkaget-kaget.
Reyna berdecak kesal karena harus mengingat lagi kejadian yang membuatnya sangat benci Iben. “Aku melihat Iben dan cewek itu di apartemen.”
“Ha? Kapan kamu ke sana?”
“Setelah aku antar kamu.”
“Jadi kamu ke sana habis antar aku? Astaga, aku kira kamu pulang. Eh, bukannya dia sakit?”
“Ck… sakit apanya? Dia malah bersenang-senang dengan cewek.”
“Kamu kenal?”
“Nggak.”
“Duh, Reyna. Kenapa kamu … ck, kamu diam saja dan nggak cerita? Kamu pasti sedih banget.”
Suara Indy terdengar sedih di telinga Reyna dan ini yang dia tidak suka, dia tidak mau berlama-lama bersedih.
Reyna menghela napas panjang. “Aku nggak sedih lagi. Aku … aku pikir sudah saatnya aku fokus bekerja.”
“Reynaaa, padahal aku ingin ajak kamu ngeclub malam minggu ini. Hm, tapi nggak bisa ya?”
Clubbing? Duh, Reyna tiba-tiba anti dengan kata itu. Dia harus ingat lagi kejadian malamnya, sendirian ke klub malam, lalu bertemu pria tampan asing, mabuk-mabukan, dan terjadilah pergumulan yang tidak dia inginkan di kamar hotel.
“Aku nggak mau lagi, In.”
“Maksudnya?”
“Aku nggak mau clubbing.”
“Reyna. Oh, Reyna. Ya ampun. Kamu baik-baik saja, ‘kan?” tanya Indy, menduga bahwa perselingkuhan yang dilakukan Iben berdampak ke psikis Reyna, dan membuat gadis itu tidak semangat menjalankan hari-harinya. Indy jadi sangat mengkhawatirkan Reyna.
“Iya. Aku baik-baik saja, Indy.”
Panggilan berakhir dan Indy memberi pesan kepada Reyna dengan kata-kata semangat.
Reyna memiringkan posisi rebahnya, pikirannya seketika kacau kembali mengingat Iben. Dia dan Iben sudah dua tahun berpacaran saat sama-sama kuliah dan Iben lebih dulu menyelesaikan kuliahnya. Selama berpacaran, Iben memang pernah berselingkuh beberapa kali, tapi dia minta maaf dan Reyna memaafkannya karena masih cinta. Tapi sekarang sepertinya Reyna tidak mau lagi memberinya ampun. Sekiranya pun dia harus memberi maaf, Reyna tidak akan mau kembali berpacaran dengannya.
Kini dia teringat lagi kejadian di klub hotel, Reyna memejamkan matanya dengan perasaan kesal sedih dan kecewa yang amat dalam, menyesalkan tubuhnya dinodai pria baru saja dia kenal, dia jadi sangat takut seandainya dia hamil, lalu siapa yang akan bertanggung jawab? Reyna juga takut seandainya pria itu menularkan penyakit kepadanya. Pikirnya benar-benar berkecamuk.
“Mama,” lirih Reyna dan menangis. Dia sedih karena telah mengecewakan mamanya.
Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi, Reyna terkejut ternyata Dewa yang menghubunginya. Cepat-cepat dia menghapus air matanya dengan tisu seadanya dan mengatur emosinya.
“Halo, Pak Dewa?”
“Reyna. Kamu datang ke apartemenku sekarang juga.”
Telepon langsung ditutup saat Reyna yang baru saja hendak membuka mulut.
Bersambung