Bab 3. Panggilan Kerja

1359 Kata
Awalnya sulit bagi Tama untuk menguasai tubuh Reyna, karena Reyna yang menggeliat dan tertawa-tawa sambil meracau tidak jelas. Reyna menyebut nama seseorang dan dia mengutuknya, bersumpah tidak rela atas perbuatan orang tersebut yang telah melukai hati dan perasaannya. Saat Reyna lelah, barulah Tama berhasil menguasai tubuh gadis mabuk itu. Namun, dia merasa cukup kesulitan saat bergerak maju. Mau tidak mau dia harus mencumbu bagian bawah Reyna dengan oralnya beberapa saat sampai benar-benar dia yakin bisa masuk. “Akh, kenapa kamu sempit sekali? Oh.” Meskipun sedikit mengeluh, Tama justru semakin b*******h, lagi pula Reyna juga tampaknya menikmati perlakuannya. “Ah!” Tama semakin panas, dia menarik tubuhnya sebentar lalu melepas seluruh pakaiannya, dia juga melepas seluruh pakaian Reyna secara paksa. Reyna tidak berdaya, dia mabuk berat, dia tertawa-tawa, bahkan mengeluarkan kata-kata yang provokatif dan membuat Tama semakin bersemangat berayun di atasnya. *** Reyna terkejut bukan main saat bangun, mendapatkan tubuhnya tak berbusana di balik selimut tebal. Dia menoleh ke sebelahnya, seorang laki-laki tampan yang baru dia kenal semalam masih tidur nyenyak dengan satu tangan ke atas memperlihatkan ketiaknya yang berbulu. Sambil menutup hidung, karena aroma alkohol yang sangat keras singgah di penciumannya, Reyna menurunkan tangan Tama. Reyna turun dari tempat tidur sambil mendekap selimut, hendak mengambil tas kecilnya yang tergeletak di atas lantai. Dia meraih ponselnya di dalam tas, ternyata jam menunjukkan pukul lima pagi. “Ha? Hari ini mulai kerja? Bukannya besok?” gumam Reyna saat melihat sebuah notifikasi di layar ponselnya. Dia cepat-cepat berpakaian tanpa membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Namun, dia tergerak pula buang air kecil. Berdecak sebal, dia melangkah cepat menuju kamar mandi. Reyna menangis saat melihat air kancingnya yang berwarna gelap kemerahan, pria itu telah merenggut keperawanannya. Reyna menggeleng tidak berdaya, terus menerus menyalahkan Iben atas musibah yang dia alami. Reyna cepat-cepat ke luar kamar mandi setelah berhasil menenangkan diri, dan tanpa mau melihat wajah pria yang masih tidur, Reyna ke luar dari kamar hotel. *** “Iya, Ma. Ini hari pertama. Apa? Jadi pulangnya ditunda? Duh, Ma.” “Iya, Rey. Ada kemungkinan papa mengambil program fellowship di Oxford. Enam bulan.” “Enam bulan?” “Ya.” Reyna berdecak sebal, lagi-lagi keduaorangtuanya tinggal di luar negeri beberapa bulan dan membiarkan dirinya tinggal di dalam rumah besar. Reyna tidak sendiri, ada beberapa orang yang bekerja di rumahnya. “Sukses ya. Oiya, selamat atas wisuda kamu. Jangan lupa dua tahun setelah bekerja, kamu harus meneruskan S2 di Inggris ya?” “Iya, Ma.” “Jangan keasyikan kerja sampai lupa nerusin kuliah. Ingat, Tamawijaya itu perusahaan ternama, dan pasti persaingannya ketat di masa depan. Kamu harus punya daya tawar diri yang tinggi biar jadi petinggi di sana.” Reyna mengangguk malas. “Hati-hati, Sayang.” “Bye, Ma. Love you.” Reyna mengakhiri panggilannya dan bersiap-siap pergi. *** Reyna berusaha mengusir gugupnya saat berada di dalam ruang lobi perusahaan Tamawijaya Group. Sedikit bergidik karena merasakan aura yang berbeda di dalamnya. Semua memperlihatkan wajah serius dan langkah tegap saat jam sibuk, walaupun baginya sekarang masih sangat pagi. Reyna sempat tidak percaya diri membayangkan hidupnya yang harus berubah seperti orang-orang yang bekerja di sana. “Reyna Farihah Abdul?” Reyna berbalik, merasa namanya dipanggil dari arah belakang. “Ah, iya, Bu.” Reyna langsung bersikap tegap dan menunjukkan dirinya siap, berusaha seperti orang-orang yang lalu lalang di kantor. “Ayo, kita ke ruangan pak Dewangga. Beliau baru saja selesai rapat pagi ini.” Reyna terkesiap, pagi ini baru saja pukul delapan, dan orang yang akan menjadi atasannya sudah melakukan rapat? Reyna berdecak dalam hati, pasti hari-harinya berubah dan harus mengikuti jadwal kerja atasannya. Dan dia harus siap dua puluh empat jam sehari karena dia terpilih bekerja sebagai sekretaris sekaligus asisten pribadi. “Bukan rapat, hanya briefing. Tapi kami menyebutnya rapat karena Pak Dewangga adalah orang yang sangat serius,” ujar ibu itu sambil terkekeh. “Ibu … siapa?” tanya Reyna berusaha sopan. “Oh, saya lupa memperkenalkan nama saya. Saya Okta.” Dia mengulurkan tangan kanannya ke Reyna, “Saya kepala HRD di sini.” Reyna mengangguk tersenyum. “Masa percobaan kamu tiga bulan di sini, jadi jangan heran kalo gaji kamu tidak full. Setelah melewati masa percobaan, gaji kamu akan penuh dan sisa yang belum dibayarkan akan kami lunaskan di bulan keempat. Hm … saya harap kamu bekerja dengan baik dan tidak ada keluhan.” “Baik, Bu. Saya mengerti,” “Kamu belum menyerahkan scan ijazah, ‘kan? “Iya, Bu. Saya baru saja wisuda kemarin.” “Oh, selamat kalo begitu. Jangan lupa beritahu saya jika kamu sudah mendapatkannya.” Reyna mengangguk lagi. Keduanya sudah berdiri di depan pintu ruang kerja Dewangga, pimpinan tertinggi Tamawijaya Group. Sebelum mengetuk, Okta memperhatikan Reyna dengan seksama, dan dia tersenyum penuh makna. “Saya beritahu satu hal tentang bos kita ini. Jangan pernah membantah perintahnya, meskipun baru berniat.” Reyna mendelik heran, sedikit bergidik. “Dia bisa galak sekali kalo dibantah,” ujar Okta pelan. Reyna mengangguk pasrah. Dia tidak bisa mundur lagi, karena pintu kantor sudah dibuka. “Eh, oh, hai.” Seorang pria langsung terkesima melihat penampilan Reyna. “Ini Reyna, Gun,” ujar Okta. Dia mengerti gelagat pria itu saat melihat Reyna. Siapapun pasti terkesima dan kagum, karena kecantikan Reyna. “Oh. Oke. Mari masuk, Pak Dewa sudah menunggu Reyna di dalam,” ajak pria itu lagi sambil mengarahkan tangannya ke dalam ruangan. “Saya pergi dulu, Reyna. Oiya, kalo ada hal yang perlu ditanyakan, hubungi saya. Jangan lupa soal scan ijazah.” “Baik, Bu Okta.” Bersama pria itu, Reyna memasuki kantor pimpinan. “Saya Igun, salah satu sekretaris pak Dewa. Hm, tapi bukan asisten pribadi.” Igun tertawa kecil sejenak. “Silakan—” “Terima—“ Reyna terkejut bukan main, ternyata pimpinan tertinggi di perusahaan ini adalah pria yang sangat mirip dengan pria yang dia baru kenal semalam di klub sebuah hotel berbintang. Apakah dia? Tapi semalam dia mengaku bernama Tama dan bukan Dewa. Bayang-bayang kejadian semalam di kamar hotel terlintas di benaknya, dan jantung Reyna berdegup sangat kencang. Apalagi pria ini ternyata terlihat bengis di hari yang terang. Tapi apa dia? Atau kembarannya? Sikap pria itu biasa saja, atau dia sebenarnya juga terkejut? “Terima kasih, Pak Igun.” “Igun saja.” “Baik … Igun.” Igun menutup pintu kantor dan membiarkan Reyna melangkah masuk. “Aku belum menyuruh kamu duduk.” Suara pria itu berat saat melarang Reyna. Reyna mungkin gugup, sampai lupa harus menunggu perintah sebelum duduk. Dia pun sibuk menyalahkan diri sendiri. Reyna berkesempatan mengamati atasannya di tengah perasaan gugupnya, entah kenapa dia yakin bahwa pak Dewa bukanlah pria yang menyetubuhinya semalam. Wajah dan tubuhnya memang serupa, tapi sikapnya sangat berbeda. Pria semalam sangat ramah dan penuh canda tawa, tapi pria yang ada di depannya bersikap kasar. “Berputar.” “Ha?” “Saya suruh kamu berputar.” Jari telunjuk tangan kiri Dewa bergerak-gerak menyuruh Reyna memutarkan tubuhnya. Teringat pesan Okta, Reyna memutar tubuhnya. “Pelan.” Reyna berputar pelan, dan Dewa mengamatinya dengan tatapan tajam. “Lebih cepat,” suruh Dewa. Reyna bingung dan merasa aneh dengan Dewa. “Berputar cepat kataku.” Reyna berputar cepat, tapi dia hampir limbung saat putaran kedua. “Sudah. Duduk.” Reyna gugup, hampir saja terjatuh, tapi dia beruntung karena mampu menyeimbangkan badan. Dan Dewa tidak bergeming sama sekali melihat Reyna yang hampir tersungkur. Tatapannya justru tajam ke sekujur tubuh Reyna. Reyna duduk dengan sikap tegap setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya dan menguasai emosinya. Bagaimanapun dia harus menunjukkan sikap profesional. Ini perusahaan keuangan ternama di kancah internasional dan dia ingin karirnya melejit dari sini. “Mulai hari ini kamu bekerja sebagai sekretaris saya dan asisten pribadi. Ini ada beberapa catatan yang harus kamu baca dan harus kamu patuhi, jika ada satu poin yang kamu tidak penuhi, kamu akan mendapat sanksi.” Reyna pikir dia akan dipecat jika melanggar peraturan, tapi mendapat sanksi, dan dia pun bertanya. “Sanksinya berupa a—“ “Aku tidak menyuruh kamu bertanya, dan tidak boleh ada pertanyaan.” “Oh, baik.” Reyna menutupi kegusarannya. Dia mengambil kertas catatan berupa list peraturan dan apa saja yang harus dia kerjakan sebagai sekretaris dan asisten pribadi Dewa. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN