Alfiansyah

1297 Kata
Tubuh Alfiansyah bergetar dengan hebat. Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu baru saja kembali dari luar negeri. Rasanya ia tidak sanggup masuk ke dalam rumah yang memiliki banyak kenangan tentang keluarganya. d**a Alfi terasa sesak sekali. Rasanya ia tidak sanggup untuk bernafas lagi. Tapi ia tidak mungkin hanya berdiri didepan pintu seperti sekarang. Sudah 4 tahun, Alfi tidak masuk ke dalam rumah ini. Sejak Kakak dan Papanya meninggal dunia. Mereka pergi meninggalkan Alfi dibulan yang sama. Hanya berjarak tujuh hari saja. Setelah itu, Alfi memilih hidup di luar negeri. Kehidupan kosong, tanpa arah dan tujuan. Berulang kali ia berdiri di tepi jembatan, berulang kali juga ia memegang pisau. Tapi sampai sekarang Alfi masih sanggup untuk bertahan. Alfi merasa hidupnya tidak adil. Kenapa dia harus hidup sendiri di dunia yang luas ini? Apa guna dia memiliki pekerjaan yang baik serta gaji yang tinggi? Bagi Alfi tidak berguna sama sekali. Dia terlihat hidup tapi sebenarnya tidak hidup sama sekali. Meskipun sudah empat tahun tidak pernah masuk ke rumah ini, tapi rumahnya tampak bersih dan terawat. Jelas saja karena Alfi mempekerjakan saudara jauh yang ia punya untuk membersihkannya. Bunga tampak bermekaran di depan rumah. Bunga yang dulu dibeli oleh Kakaknya saat kembali ke rumah ini. Ternyata bunga mawar itu masih hidup dengan baik. Seharusnya bunga itu yang mati, bukan kakaknya. Sampai sekarang Alfi belum bisa menerima kematian Kakak dan Papanya. Ia masih berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi semata. Bahkan sampai sekarang, Alfi berharap di dalam rumah masih ada kakak dan Papanya. Perlahan-lahan, Alfi membuka pintu setelah ia memutar kunci. Kosong, tidak ada siapapun di dalamnya. Alfi memegang dadanya sendiri. Rasanya sangat sakit sekali. Bahkan air mata mengalir begitu saja. Alfi terduduk di ruang tamu. Dia menangis melampiaskan rasa sakit yang masih sama seperti 4 tahun yang lalu. Sulit sekali berdamai dengan keadaan. Siapapun yang melihat Alfi sekarang, maka mereka akan tahu betapa hidup Alfi tidak baik-baik saja. Isak tangis yang terlihat dan terdengar sangat menyakitkan sekali. Alfi memanggil Papa dan Kakaknya. "Tolong kembali," ujarnya sambil menangis. "Aku nggak sanggup hidup lagi, Kak." "Bawa aku, Pa. Tolong..." Mental Alfi tidak baik-baik saja. 4 tahun yang lalu, semua terjadi begitu cepat. Dia baru saja diterima bekerja di perusahaan yang ada di Singapura. Baru tiga hari disana, tiba-tiba dia mendapat kabar tentang kematian sang kakak. Polisi mengatakan bahwa Kakaknya meninggal karena bunuh diri. Hidup Alfi terasa sangat hancur sekali. Apalagi sang Kakak yang mengantar dirinya ke bandara. Selama ini, Alfi tidak melihat kehidupan sang kakak yang memiliki banyak tekanan. Bahkan Kakaknya selalu tersenyum. Alfi merasa gagal menjadi adik. Kalau dia tahu Kakaknya mengalami tekanan yang berat, maka dia akan langsung membawa kakaknya untuk pergi ke tempat dimana tidak ada yang mengenal mereka. Polisi sudah melakukan penyelidikan. Tidak ditemukan bukti-bukti terjadinya tindak pembullyan di perusahaan tempat sang kakak bekerja sehingga Alfi tidak bisa berkata apa-apa lagi. Entah apa yang membuat sang kakak memutuskan untuk mengakhiri hidup. Tidak lama setelah sang kakak (Ariani) meninggal, Papa ikut menyusul. Bukan hanya Alfi yang merasa syok dengan kematikan Ariani, Papanya juga begitu. Kesehatan Papanya menurun dan 7 hari setelah kematian Ariani, sang papa juga menghembuskan nafas terakhir. Kehidupan Alfi benar-benar langsung hancur. Dia hanya memiliki Kakak dan sang papa. Mama sudah lebih dulu pergi saat melahirkan dirinya. Alfi menganggap bahwa dirinya adalah sebuah kesialan untuk keluarga. Jika saja dia tidak lahir, maka Mamanya pasti masih hidup. Mamanya hidup, maka Mama akan lebih mengerti tentang kondisi yang dihadapi oleh Ariani. Rasa bersalah menumpuk, kebencian pada diri sendiri semakin menjadi-jadi. Hal ini membuat Alfi tampak hidup tapi sebenarnya dia tidak hidup sama sekali. Alfi menangis sampai matanya terpejam. Perjalanan yang panjang untuk sampai ke rumah ini. Apalagi gaya hidupnya sangat tidak sehat sama sekali. Tubuhnya menjadi lebih kurus dari sebelumnya. *** "Bukannya Bang Alfi sudah pulang?" "Iya, sudah." "Terus kenapa Ibu tetap ke sini?" "Tidak usah banyak tanya." Tampak raut wajah khawatir dari wanita yang berusia empat puluh lima tahun tersebut. Perasaannya sedikit tidak enak sehingga kembali datang ke rumah yang sudah dibersihkan beberapa jam yang lalu. Dia adalah Desi, saudara jauh Alfi dari pihak Ibu. Motor Desi sudah berhenti didepan rumah keluarga Alfi. Anak laki-laki di belakangnya tampak tidak suka karena sang ibu tiba-tiba mengajaknya ke sini saat dirinya sedang asik bermain games di ponsel. Desi turun dari motor. Dia membuka gerbang yang tidak terkunci sama sekali. Desi mengucap salam dengan suara yang cukup kuat. Dia bahkan melihat dari jendela tentang keadaan di dalam. Tidak ada jawaban. Rasa khawatir Desi semakin menjadi-jadi. Dia kembali memanggil Alfi sambil menggedor-gedor pintu. Alfi yang tadinya tidur karena kehabisan tenaga langsung membuka mata. Kepalanya sedikit terasa berat. Siapa yang memanggil dirinya? Alfi langsung berdiri dan melangkah ke pintu depan. Pintu terkunci dari dalam sehingga Desi tidak bisa masuk sama sekali. "Ada apa, Tante?" tanya Alfi. Desi menghela nafas lega. "Kamu ngapain saja?" tanyanya tergesa-gesa. Alfi tersenyum tipis. "Tidak perlu khawatir, Tante. Saya tidak akan bunuh diri." Mata Desi langsung melotot. "Tolong jangan bicara seperti itu, Alfi!" Memang benar, Desi datang dengan terburu-buru karena takut Alfi melakukan tindakan gila seperti kakaknya. Meskipun saudara jauh, Desi sudah menyayangi Alfi seperti anaknya sendiri. Apalagi dulu keluarga Alfi sangat membantu keluarganya. "Saya hanya tidak ingin Tante khawatir." Desi tidak tahu harus mengatakan apa lagi. "Apa kamu sudah makan?" "Sudah." "Tante sudah mengisi kulkas, ada buah-buahan dan roti juga." "Terima kasih, Tante." Desi tidak bisa berlama-lama. Apalagi anaknya sudah merengek minta pulang. "Kamu tidak sendiri didunia ini. Ada Tante." Alfi kembali tersenyum. "Iya, Tante. Terima kasih." "Kalau disini sunyi, kamu bisa tinggal dirumah Tante." "Tidak perlu, Tante. Saya hanya beberapa hari disini." Alfi langsung menolak. Dia hanya pulang sebentar saja. "Baiklah. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Tante." Alfi mengangguk. Setelah motor Desi tidak terlihat lagi, Alfi masuk ke dalam rumah. Dia menghidupkan semua lampu. Termasuk lampu kamar sang Papa. Tampak rapi dan bersih. Alfi tidak bisa berlama-lama di kamar tersebut karena mengingatkan pada sang Papa. Selanjutnya Alfi membuka kamar sang kakak. Masih ada barang-barang sang kakak. Lebih baik Alfi memberikan kepada orang lain daripada tetap berada disini. Setidaknya ada pahala yang mengalir. Meskipun polisi menganggap Ariani bunuh diri, tapi Alfi tidak terlalu percaya. Kakaknya tidak mungkin melakukan hal gila seperti itu. Tapi dia juga tidak punya petunjuk. Alfi mulai membuka lemari. Sepertinya Tante Desi menyusun barang-barang milik Kakaknya. Setelah penyelidikan kematian Ariani selesai, semua barang-barang langsung diantarkan ke rumah ini. Kakaknya memang bekerja di pusat kota, dia tinggal di kontrakan. Alfi tidak ingin menangis. Tapi saat menyentuh pakaian Ariani, dia mengingat bagaimana sang kakak selalu tersenyum dan tertawa padanya. Meskipun dengan air mata mengalir. Alfi tetap mengeluarkan semua pakaian sang kakak. Dia memasukkan ke dalam kotak dengan rapi. Alfi membongkar lemari. Sampai dia bertemu ponsel lama milik sang kakak. Ponsel yang dibelikan oleh Papa pertama kali saat sang kakak diterima di kampus terbaik. Alfi tersenyum penuh kepedihan. Apa yang ada di dalamnya? Alfi sedikit penasaran. Setidaknya ada kenangan yang tersisa. Alfi mencari charger ponsel itu. Dia mencari sampai ke segala sudut kamar. Ternyata Alfi menemukan charger di dalam kotak yang ada di atas lemari. Alfi langsung mencolokkan charger. Daya terisi dan Alfi meletakkan begitu saja di atas meja. Kotak yang berisi barang-barang yang tidak terpakai lagi. Bahkan Alfi menemukan album foto. Kakaknya selalu tersenyum di foto tersebut. Foto dari zaman kuliah sampai bekerja tersimpan di album. Kakaknya terlihat baik-baik saja dilingkungan kerja. Alfi melihat sampai ada satu halaman yang kosong. Kemana fotonya? Alfi mencari sampai ke dasar kotak. Kali saja terlepas dari album. Alfi mengerutkan kening. Ada potongan kertas yang ia temukan. Alfi mengambil satu persatu dan menyusunkan menjadi satu foto. Foto yang berisi enam orang. Kakaknya berada ditengah. Kenapa sang Kakak mengoyak foto tersebut? Bahkan ada tanda silang besar berwarna merah di foto tersebut. Alfi tidak ingin banyak pikiran, tapi dia tetap membongkar seluruh barang-barang sang kakak. Mungkin ada hal lain yang bisa dia temukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN