Ayana Zahira

1112 Kata
Ayana Zahira, perempuan berusia dua puluh tujuh tahun. Usia yang membuat orang-orang mempertanyakan kenapa ia belum menikah. Bukan keinginan Ayana untuk belum menikah sampai saat ini? Tolonglah para saudara-saudara yang baik hati serta tetangga dari blok A sampai Z untuk tidak menanyai kapan Ayana menikah. Terkadang pertanyaan itu membuat jiwa dan batin Ayana keluar dari orbit aslinya. Tidak tahukah mereka jika Ayana juga ingin menikah. Melihat teman-teman sudah mulai menikah, bahkan ada yang sudah memiliki anak membuat jiwa perempuan Ayana meronta-ronta. Ingin rasanya ia menangis dipojokkan karena selalu dianggap pilih-pilih. Padahal Ayana tidak pilih-pilih, tapi tidak juga asal pilih. Pokoknya begitulah. Ayana membuka mata yang terasa sangat berat. Wajar saja karena ia kurang tidur. Tubuhnya hanya mendapatkan waktu 3 jam untuk istirahat. Ayana sudah berbuat zalim pada tubuhnya sendiri. Mau bagaimana lagi karena pekerjaan sedang banyak-banyak. Melelahkan tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Perusahaan dimana ia bekerja sedang membuat aplikasi penjualan sendiri. Tentu saja mereka melakukan banyak inovasi sesuai perkembangan zaman. Apalagi sudah banyak produk kosmetik yang yang dihasilkan oleh perusahaan. Perusahaan tempat Ayana bekerja bernama Green Cr Group. Perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik. Produk yang dihasilkan juga bagus. Kalau masalah gaji, lumayan dibanding perusahaan Ayana bekerja sebelumnya. Makanya banyak yang ingin bekerja diperusahaan ini. Ayana tidak langsung bergerak ke kamar mandi. Dia duduk sebentar sembari melihat dinding kosong. Sekitar sepuluh menit, barulah Ayana bangkit dari ranjang. Dia sedikit menguap karena masih mengantuk. Ayana keluar dari kamar. Mencari keberadaan sang ibu yang entah dimana. "Bu..." panggilnya. "Kenapa?" Bukan Ibu yang menjawab melainkan ayah. "Ibu mana, Yah?" "Kenapa nyari Ibu?" Ayah terus saja merasa heran. Kenapa anak-anaknya setelah bangun tidur atau pulang ke rumah, hal yang mereka lakukan adalah mencari ibu. "Nggak apa-apa. Ibu mana?" Ayah menghela nafas panjang. Kemudian dia menjawab, "Ibu ke rumah tante Resti." "Ngapain?" Ayana mengerutkan kening. Masih pagi, kenapa ibu ke rumah tante Resti? Ayana tidak terlalu dekat dengan tantenya itu. Mulutnya bikin Ayana selalu mengucap istigfar. Tante Resti adalah adik ibu satu ayah. "Setahu Ayah, Nia mau nikah, jadi Tante minta bantuan Ibu." Ayah menjelaskan sembari membuka kulkas. "Oh gitu." Ayana tampaknya tidak tertarik dengan pernikahan Nia. Kalau diingat lagi, Nia belum wisuda. Akhir tahun ini baru dia wisuda. Kalau sudah bertemu jodoh, maka tidak perlu ditunda-tunda lagi. Ayana saja yang belum bertemu dengan jodohnya. Ayah menyuruh Ayana untuk segera membersihkan diri. Apalagi sekarang sudah pukul enam lewat. "Nanti aja, Yah." Ayana duduk di meja makan. Tampak sekali ayahnya tengah sibuk membuat sarapan. "Nanti kamu terlambat." Ayah mengingatkan. Apalagi kalau pagi hari jalan menuju ke perusahaan Ayana macet. "Nggak kok. Aku udah mempertimbangkan waktu dengan baik." Ayah hanya bisa geleng-geleng kepala. "Ayah, Bang Fajar mana?" Ayana tidak melihat keberadaan abang ketiganya itu. Dirumah ini hanya ada empat orang yaitu Ibu, Ayah, Bang Fajar dan Aya. Dua abang Ayana yang lain sudah menikah dan tinggal di rumah sendiri. "Lari pagi." "Ha?" Ayana sedikit kaget. Bagaimana mungkin abang satunya itu berlari pagi? Sedikit mustahil. Kebiasaan abangnya sedikit buruk yaitu tidur setelah shalat subuh. "Katanya mau merubah gaya hidup," jelas Ayah. Ayana langsung tertawa. Ia yakin sang abang tidak akan mempertahankan gaya hidup sehat yang ia inginkan itu. Dia terlalu malas. "Kenapa ketawa?" "Lucu aja, Yah. Apalagi Bang Fajar pemalas." Ayana langsung-langsung saja. "Siapa yang kamu bilang pemalas?" Suara bariton tiba-tiba saja muncul dari arah belakang Ayana. "Nggak tau." Fajar mendengar apa yang dikatakan sang adik. Dia langsung saja mencubit kedua pipi Ayana dari belakang. Ayana sampai meringis kesakitan. "Sakit!" teriak Ayana saat cubitan itu lepas. Fajar menjulurkan lidahnya. Dia seperti mengejek sang adik. "Ayah, Bang Fajar julurkan lidah." Ayana mengadu. Tentu saja Ayah langsung marah. Hal seperti itu tidak baik. Ayana sedikit menang karena pada akhirnya Fajar harus meminta maaf. Meskipun umur mereka sudah dua puluh lima ke atas, tapi tetap saja tingkah mereka kalau sedang bersama keluarga terlihat seperti anak-anak. Fajar hanya dua tahun lebih tua dari Ayana. "Pangadu," sindir Fajar. Dia duduk di kursi yang berada di samping Ayana. "Biar." Ayana menampilkan ekspresi penuh kemenangan. "Ayah mau aku bantuin nggak?" Ayana menawarkan diri untuk membantu sang ayah membuat sarapan. Kalau ibu tidak ada atau sedang tidak mood membuat sarapan, maka ayah yang menggantikannya. Tenang saja, abang disampingnya juga terbiasa masak. Jadi memang dari kecil mereka dididik mengerjakan semuanya sendiri meskipun laki-laki. Beruntung sekali perempuan yang menikah dengan abang-abangnya. "Nggak usah. Ayah cuma buat nasi goreng aja." Ayah menolak. Kalau waktu kecil mungkin Ayah akan setuju untuk dibantu sebagai bentuk pembiasaan untuk anak-anaknya. Kalau sekarang tidak lagi. Membuat sarapan sendiri lebih cepat. Ayana menyibukkan diri dengan membuat jus saja. Ada beberapa buah-buahan di dalam kulkas. "Ayah mau jus nggak?" tawar Ayana. "Nggak, Nak. Ayah sudah buat kopi." Selera Ayana dan ayahnya jelas saja berbeda. "Aku nggak ditawarin?" Ujar Fajar. "Emang mau?" "Buatin kopi," jawabnya sambil tersenyum. Lebih tepatnya memaksa diri untuk tersenyum. "Nggak usah senyum gitu. Jelek!" Fajar langsung tertawa. Meskipun Ayana mengomel, dia tetap membuatkan Kopi untuk sang abang. Setelah itu ia meletakkan gelas yang berisi kopi panas di atas meja makan. Nasi goreng yang dibuat ayah juga sudah selesai. Sayurnya tampak lebih banyak. Tapi rasanya dijamin enak. "Tadi malam tidur jam berapa?" tanya Ayah. "Jam dua belas." "Nggak usah bohong!" Fajar langsung angkat bicara karena pada kenyataannya sang adik tidak tidur di jam yang ia sebutkan. "Sok tau." "Emang aku tau. Jam dua lewat, lampu kamar kamu masih nyala." Fajar memberikan penjelasan yang tidak bisa dibantah oleh Ayana. Kamar mereka saling berhadapan. "Hari ini jangan bawa motor dulu, bahaya." Ayah tidak ingin hal buruk terjadi pada anak bungsunya itu. "Kok gitu?" Ayana sedikit tidak terima. "Pokoknya hari ini kamu di antar sama Bang Fajar." Ayah sudah menunjukkan ketegasan sehingga Ayana tidak bisa protes sama sekali. "Apa kamu dengar nggak apa yang Ayah bilang?" tanya Ayah lagi. "Iya, Ayah. Aku dengar kok." Ayana menatap abangnya dengan tatapan sinis. Tapi sang abang membalasnya dengan santai. Setelah sarapan, Ayah lebih dulu meninggalkan rumah untuk bekerja. Ayah Ayana bekerja sebagai guru di sekolah tingkat menengah atas yang tidak jauh dari rumah. Sedangkan Ayana dan Fajar akan berangkat pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Fajar bekerja sebagai dosen. Letak kampusnya juga satu jalur dengan tempat kerja Ayana. Hanya saja Ayana tidak ingin berangkat bersama. "Lama amat," komen Fajar. Hal ini yang membuat Ayana malas sekali berangkat bersama sang abang. Dia terlalu diburu-burukan. Ayana tidak bisa seperti itu. "Ya udah, nggak usah antar," balasnya setelah masuk ke dalam mobil. "Ck, nggak ada bersyukurnya." Ayana langsung mencubit lengan sang abang. Dia kesal sekali. "Sakit, Dek!" Fajar terkejut. Dia mengusap lengan yang sudah menjadi keganasan sang adik. "Biar." Ayana membuang muka. "Sabar Fajar... Adek kamu memang agak gila. Jadi yang waras ngalah." Fajar bermonolog sendiri. Sedangkan Ayana pura-pura tidak peduli. Mobil mulai meninggalkan area perumahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN