Bertemu Kembali

1002 Kata
"Udah tua tapi belum nikah," sindir Ayana kepada sang abang yang ingin masuk ke dalam mobil. "Emang kenapa?" Fajar merasa bahwa hidupnya baik-baik saja. Apalagi pernikahan bukanlah sesuatu yang diputuskan begitu saja. Banyak pertimbangan karena Fajar hanya ingin menikah sekali seumur hidup. "Nggak laku ya?" Ayana tersenyum dengan maksud tertentu. Fajar langsung tertawa. Dia memegang pundak sang adik dan berkata, "khawatirkan diri sendiri." Ayana langsung cemberut padahal dia yang mulai. "Aku masih muda," bantahnya. Fajar pura-pura berpikir. "Dua puluh tujuh tahun masih muda ya?" "Iyalah. Orang umur tiga puluh meninggal dibilang meninggal diusia muda kok." Ayana membela diri dengan argumen yang cukup kuat. "Ya ya ya. Terserah deh." Fajar sudah masuk ke dalam mobil. Jika berdebat dengan sang adik, bisa-bisa ia terlambat ke kampus. Apalagi hari ini Fajar memiliki kelas pagi. "Tawarin tumpangan kek," keluh Ayana setelah mobil sang abang pergi. Entah kenapa ia malas untuk naik motor sendiri. Tapi ia terlalu gengsi meminta tumpangan. Ayana memang sedikit aneh. Ayana mulai mengendara motor maticnya untuk keluar dari area perumahan. Dia menuju ke tempat bekerja. Kemacetan menjadi makanan sehari-hari. Tapi dia cukup menikmati. Sesampainya di perusahaan. Ayana langsung dihampiri rekan kerja yang kebetulan baru sampai seperti dirinya. "Abang Fajar mana?" tanya rekan Ayana bernama Lusi. Dia sudah sering melihat abang ketiganya itu. "Kerjalah." "Iya juga ya." Lusi menyengir. "Oh ya, kamu tau nggak kalau ketua divisi yang baru bakal masuk hari ini." Lusi memberi informasi yang cukup menghebohkan bagi divisi mereka. "Apa Pak Imran nggak bisa kerja lagi?" Ayana sudah merasa beruntung mendapat ketua divisi yang baik dan ramah seperti Pak Imran. "Kamu tau sendiri kalau kesehatan Pak Imran memburuk. Pak Imran fokus pengobatan jadi memilih keluar dari perusahaan." Ayana mendadak sedih. "Semoga aja Pak Imran kembali sehat." Lusi mengaminkan apa yang dikatakan oleh Ayana. Sepanjang jalan, Lusi membicarakan sosok ketua divisi mereka yang baru. Ayana sebenarnya tidak terlalu tertarik. Tapi dia juga tidak bisa mengabaikan informasi yang diberikan oleh Lusi. Berdasarkan penjabaran Lusi, ternyata sosok yang menjadi ketua mereka masih tergolong muda. Dia sudah bekerja selama 4 tahun di perusahaan yang cukup baik di luar negeri. "Pagi, semua." Ayana dan Lusi langsung menyapa rekan kerja setelah masuk ke dalam ruang divisi TI. "Pagi," balas rekan kerja yang sudah datang. Ayana langsung duduk ke meja kerjanya. Tapi Lusi malah menghampiri Mbak Tias. Mereka seperti membicarakan sesuatu yang heboh. Bahkan Pak Rohman juga ada disana. "Kamu kok nggak heboh kayak karyawan lain?" tanya Indra yang meja kerjanya memang berada disamping Ayana. Ayana mengerutkan kening. "Emang ada apa, Mas?" Indra menepuk dahinya sendiri. "Apa kamu tidak tau kalau kita kedatangan ketua divisi yang baru?" "Tau kok." "Nah itu yang bikin heboh." "Oh gitu." Ayana menganggukan kepala. Arsel tertawa karena tidak sengaja mendengarkan percakapan Indra dan Ayana. "Ayana itu beda, Indra. Lo kayak nggak tau aja." "Benar juga sih." "Beda apaan?" Ayana langsung menatap Arsel. "Kamu tidak akan tergiur oleh ketampanan seorang laki-laki. Kecuali kalau yang datang spek ustadz," jawab Arsel. "Mana ada." Ayana langsung membantah. Dia cukup sadar diri. Ayana tidak baik, dia hanya berusaha menjadi lebih baik saja. Indra dan Arsel tertawa. "Ada apa ini?" Lusi sudah kembali ke meja kerjanya. Dia mengeluarkan tas kecil yang berisi berbagai macam kosmetik. Brandnya juga milik perusahaan. "Mulai mulai." Arsel sudah menduga kalau Lusi ingin menghias sedikit wajahnya. "Nggak usah sirik," balas Lusi. Dia mulai mengoleskan lipstik ke bibirnya. Padahal dibibir Lusi masih menempel lipstik yang sama. "Kamu nggak mau dandan, Aya?" tawar Lusi. Dia punya segala macam kosmetik. Ayana menolak dengan sopan. Jujur saja, Ayana tidak terbiasa menggunakan make up. Dia merasa tidak cocok dengan alat-alat make up. "Nggak usah bawa Ayana ke jalan sesat," ucap Indra. Lusi langsung melotot. "Lo bisa diam nggak?" ujarnya. Jelas aja Lusi marah karena dia hanya menawarkan kosmetiknya. Tapi malah dianggap menunjukkan jalan sesat. Indra mengangkat kedua tangan tanda menyerah. "Oke ok. Jangan galak gitu." "Sudah sudah." Ayana menghentikan sebelum terjadi perdebatan yang lebih panjang. Apalagi jam juga sudah menunjukkan pukul delapan. Ayana mulai menghidupkan laptop milik perusahaan. Bekerja dengan laptop lebih nyaman dibanding komputer karena bisa dibawa kemana-mana. Suasana mulai sepi karena para karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak lama setelah itu pintu ruangan divisi TI terbuka. Ada empat orang yang masuk sehingga mata langsung tertuju kepada mereka. "Mohon perhatian semua," ujar salah satu diantara keempat orang itu. Semua karyawan berdiri. Mereka sudah mengerti tanpa adanya instruksi atau sejenisnya. "Ternyata memang ganteng," ujar Lusi dengan suara pelan. "Kita kedatangan ketua divisi TI yang baru. Silahkan, Pak." "Halo semuanya. Perkenalkan nama saya Alfiansyah. Saya akan menjadi ketua divisi TI yang baru. Mohon kerjasamanya." Perkenalkan singkat. Semua karyawan bertepuk tangan untuk menyambut kedatangan ketua yang baru. Beberapa orang mulai menyalami Alfiansyah. Berbeda dengan Ayana, dia seperti orang yang sedang berada di kutub saja. Tubuhnya membeku seketika dan tidak bisa bergerak sama sekali. "Ayana," panggil Lusi. Tidak hanya Lusi, Indra juga memanggil Ayana karena giliran Ayana yang harus mengenalkan diri. Ayana langsung tersadar. Dia membungkukkan tubuhnya sedikit sembari meminta maaf. "Pe-perkenalkan nama saya Ayana Zahira ." Semua orang menatap Ayana. Perkenalan Ayana sangat singkat sekali dibanding yang lain. "Selanjutnya," ujar Alfiansyah yang tidak menghiraukan perkenalkan Ayana sama sekali. Perkenalkan singkat sudah selesai. Alfi langsung masuk ke dalam ruangannya. "Kamu kenapa?" Indra penasaran sehingga bertanya. "Tidak apa-apa." “Kamu yakin?” Lusi juga merasa ada yang aneh dari Ayana. Tidak biasanya Ayana bertingkah tidak fokus. Bahkan saat menghadapi atasan mereka. “Iya, aku ke kamar mandi dulu.” Ayana buru-buru meninggalkan meja kerja. Dia masuk ke dalam kamar mandi. Pikirannya benar-benar kacau sekali. Ayana bahkan mencuci wajahnya berulang-ulang kali. "Mungkin aku salah lihat," ucapnya sambil menatap kaca. Tapi semakin Ayana membantah kenyataan tentang ketua Divisi yang baru, dia semakin merasa yakin bahwa ketua divisi yang baru memang sosok Alfiansyah yang ia kenal dibangku kuliah. Jantung Ayana berdetak cepat. Sudah empat tahun Alfi menghilang, tapi siapa sangka mereka dipertemukan kembali. Ayana bersyukur bahwa Alfi terlihat baik-baik saja walaupun tubuhnya lebih kurus dari sebelumnya. "Apa aku masih menyukainya?" ujar Ayana sambil menatap dirinya di kaca. Dia bahkan memegang dadanya yang berdebar-debar seperti masa kuliah dulu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN