07 | Bosan dan Kesepian

2176 Kata
Aku mengkerut dibawah hujaman tatapan tajam Pandu seolah dari tatapannya itu Pandu berkata, 'apa aku bilang', sementara telingaku pengang mendengar rentetan omelan Ibu. Dasar aku yang bodoh. Ada salah satu tetanggaku yang ternyata belum ku-hide dari postingan statsu dan storiesku, sedangkan semalam aku membuat status candaan kenapa aku yang hamil tapi suami yang moody-an. Tetanggaku ini ternyata mengucapkan selamat ke Ibu sewaktu belaja di gerobak sayur keliling, dan lebih parahnya lagi Ibu juga tahu aku ikut bisnis MLM. "Kamu tahu gimana malunya Ibu, Nin?" tanya Ibu dramatis. "Ibu plaga-plongo nggak tahu apa waktu Ibunya Tika bilang kamu hamil." "Belum sempat bilang aja, Bu, bukannya nggak mau ngasih tahu. Gimana aku mau sembunyiin anak coba." "Belum sempat gimana? Tinggal telepon atau WA apa repotnya? Kamu bisa tuh bikin banyak status dagangan kamu. Itu aja sengaja kamu senbunyiin dari Ibu." "Ini lah kenapa aku nggak mau langsung cerita ke Ibu, Ibu akan ngomelin aku kayak begini." Hilang sudah kesabaranku. Ya, aku memang salah tidak mau terbuka pada Ibu. Aku takut Ibu lagi-lagi akan menyalahkan aku. "Makin pintar ngelawan Ibu sekarang kamu, Nin. Mentang-mentang udah punya keluarga baru, lupa kamu sama siapa yang ngebesarin kamu. Suami kamu pasti ya yang ngajarin." "Bu," aku ingin menangis mendengar tuduhan Ibu. "Kenapa Ibu selalu aja ngomong begitu?" aku melirih. Di sebelahku, Pandu memberi isyarat dia ingin bicara dengan Ibu. "Bu, ini Pandu mau ngomong." "Nggak usah," tolak Ibu. Seketika kulirik Pandu, dia bisa mendengar jelas suara Ibu karena telepon dalam mode pengeras suara. "Nggak ada yang mau Ibu omongin sama dia. Dia yang udah bikin kamu berani ngelawan Ibu dan bikin kamu hidup susah kayak sekarang. Setahu Ibu nggak ada tuh yang punya jabatan langsung bangkrut, kalah sama Erik yang cuma sopir pabrik pabrik. Mbok ya kalau punya uang itu jangan cuma ditabung tok. Belajar investasi kayak suami Mbakmu. Bikin kostan atau apa, atau kayak Fahri, Ibunya bilang dia baru beli rumah lagi dari main saham gitu katanya." Pandu tetap ingin mengambil ponselku tapi aku langsung menjauhkan diri ke kamar. Pandu sama sekali tidak pantas mendengar hinaan dari Ibu kandungku. Ibu tidak akan pernah mengerti meski sudah kuberitahu berulang kali bahwa justru Pandu lah yang membuat aku tetap waras hingga hari ini. "Ibu mau aku gimana sekarang?" tanyaku ingin tahu apa yang menurut Ibu benar, karena sepertinya semua keputusanku selalu salah di mata beliau. "Pulang ke Surabaya. Buat apa bertahan sama laki-laki nggak bisa ngapa-ngapain kayak dia." Ucapan Ibu sebenarnya sudah kuduga, tapi entah kenapa masih memberi efek kejut. "Aku hamil dan Ibu ingin aku pisah sama suamiku?" "Makanya Ibu bilang apa? Kamu jangan hamil dulu, Nindy..." Ibu semakin tidak masuk akal. "Bu, udah ya? Aku nggak akan bosan-bosan minta tolong banget Ibu menghargai pilihan aku. Aku nggak minta dibantu apa-apa, aku cuma minta didoain aja kok, Bu," ujarku susah payah karena harus menahan tangis. "Aku sama Pandu masih baik-baik aja. Ekonomi kita emang lagi seret, tapi kami nggak bangkrut. Pelan-pelan juga pasti pulih. Aku tutup, Bu, assalamualaikum." Langsung kututup telepon itu tanpa menunggu jawaban Ibu. Aku takut. Aku tidak ingin menjadi Ibu seperti Ibuku, aku tidak ingin anakku merasakan apa yang aku rasakan. Meskipun aku yang mengandung dan melahirkan dia, namun begitu dia lahir, kehidupannya adalah miliknya. Apa yang menurutku baik, belum tentu sesuai keinginannya. Aku ingin dia merdeka atas hidupnya sendiri. Dia tidak harus berterima kasih sudah kulahirkan dan kuberi kehidupan karena sesungguhnya kehadiran dia di dunia adalah kehendakku, maka sudah semestinya aku bertanggugjawab atas kehidupannya cukup sampai dia dewasa dan mandiri. Aku tidak akan menghitung dan menuntut balas atas apa yang sudah aku berikan padanya. Aku yakin, jika aku bisa mendidik dia dengan baik, dia akan bangga punya Ibu sepertiku, dia tidak akan membiarkan aku menghabiskan masa tua dalam penderitaan dan kesepian. Semoga pemikiran ini bisa benar-benar kupraktekkan agar anakku kelak tidak mempertanyakan, 'Ibu, memangnya aku minta dilahirkan oleh dirimu?' Pintu kamarku terbuka, buru-buru kuseka air mata meski Pandu tetap sempat melihatnya. Sesaat dia hanya menatapku di ambang pintu, aku berusaha tersenyum, yang mana itu malah membuatku semakin ingin menangis. Pada akhirnya, air mataku tidak bisa kubendung. Aku menangis sambil tersenyum, seolah meyakinkan diriku dan Pandu bahwa kesulitan ini tidak akan meruntuhkan kami. Pandu mendekat dan memelukku. "Maafin aku, aku selalu bikin kamu sama Ibu berantem." "Sebelum ada kamu, aku sama Ibu udah sering berantem." Aku sedih harus selalu mendengar Pandu minta maaf atas sesuatu yang bukan salahnya. "Malah aku yang harusnya minta maaf ke kamu, Ibuku belum juga bisa menghormati kamu." Pandu merenggangkan pelukan kami. "Yang diomongin Ibu kamu nggak sepenuhnya salah, aku emang nggak pinter ngelola uang. Jadinya ada kejadian begini, aku nggak punya pegangan lain selain kerjaan. Ditambah, kerjaan kita berhubungan sama wisata. Kalau nggak ada tamu masuk, ya kita nggak bisa berbuat apa-apa." "Berati aku juga salah kalau gitu. Aku terlalu bergantung sama kamu." "Mungkin dulu kita terlalu nyaman sama keadaan kita jadinya ngerasa aman-aman aja. Aku masih muda, kerjaan lumayan, rumah ada, mobil punya. Apa lagi yang perlu aku khawatirkan? Bodoh banget." Pandu memaki dirinya sendiri dengan senyum miris. Sesungguhnya aku pun lelah menyalahkan Corona. Seandainya pemikiran kami luas, kami akan menyiapkan lebih banyak dana darurat, alih-alih menghabiskan sebagian besar untuk sesuatu yang 'terlihat' hanya untuk mendapat pengakuan. Pengakuan dari Ibu utamanya, kupikir tidak ada yang bisa memuaskan Ibu selain harta benda. Setiap aku mudik ke Surabaya, aku memakai emas-emasan dan handphone terbaru hanya untuk menunjukkan bahwa kehidupanku sangat baik di Bali. "Mau ke pantai nggak?" ajakku sekaligus ingin melupakan sejenak masalah ini. "Pantai mana? Emang udah buka?" "Sanur buka, kok. Yuk, Yang. Udah lama kita nggak jalan-jalan." Pandu nampak pikir-pikir. "Besok aja gimana?" Aku memberenggut kecewa. "Emang kalau hari ini kenapa?" "Besok aja, deh. Siang tadi lumayan rame, kayaknya hari ini bakal rame orderan." "Oh, ya udah, deh." Pandu mengelus kepalaku sambil berlalu keluar kamar. Di saat dia bisa keluar setiap hari, aku terkurung di rumah sendirian. Tidak bisa kemana-mana karena aku belum berani menyetir tanpa ada yang mendampingi. Membosankan sekali. *** Ibu pasti sudah mengadu pada Mbak Ririn. Sejak sejam teleponku dengan Ibu, Mbak Ririn mencoba menghubungiku, baik lewat chat atau telepon. Mbak Ririn pasti lagi-lagi akan menyuruhku mengalah karena di matanya, Ibu tahu apa yang paling benar dan selalu benar. Tumbuh dengan didikan dan doktrin sama tak lantas membuat aku san Mbak Ririn sepemikiran. Sejak kecil Ibu menekan kami agar bisa masuk sekolah negeri, bagaimana pun caranya. Dalam pilihan karir, Ibu sedikit berbaik hati dengan memberi kami dua pilihan, mau jadi PNS atau tenaga medis entah itu bidan atau perawat. Dokter tidak masuk hitungan karena biaya pendidikannya tidak terjangkau bagi Ibu yang hanya seorang guru berstatus PNS di sebuah sekolah dasar. Saat masih di SMP, Mbak Ririn sudah tahu dirinya harus masuk jurusan IPA saat di SMA nanti, lalu melanjutkan kuliah kebidanan. Sedangkan aku? aku baru panik mikir lanjut kuliah jurusan apa saat Ibu dan guru BK terus-terusan mengejarku. Akhirnya aku putuskan daftar fakultas ekonomi saja, jurusan netral dan bisa kemana saja, pikirku. Ibu sudah yakin aku akan menjadi seorang PNS, Ibu mencekokiku dengan buku-buku tebal persiapan ujian CPNS. Lambat laun aku menyadari, aku tidak menginginkan semua itu. Aku benci melihat warna seragam mereka yang aneh, aku menikmati olokan stigma buruk PNS di mata masyarakat, aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka. Namun aku memaksakan diri tetap ikut tes CPNS segera setelah lulus dan seperti dugaan, aku tidak lulus. Ibu sangat kecewa dan menyuruhku mulai mempersiapkan diri untuk seleksi periode berikutnya. Tak mau melihat aku menganggur di rumah, Ibu minta bantuan kakaknya untuk memasukkan aku ke perusahaan tempatnya bekerja. Dan di sana lah pengalaman bekerjaku dimulai. Tanpa ada drama sebar lamaran, deg-degan interview, ditolak, dan sebagainya. Sangat mulus hingga aku tidak tahu apa yang harus kucintai dari diriku. Ibu selalu menekankan pentingnya seorang perempuan tetap produktif dan berpenghasilan meskipun sudah berkeluarga. Mengurus rumah tangga bisa dilakukan sembari jadi wanita karir. Agar kalau suami kita nakal atau meninggal, kita bisa melanjutkan hidup kita tanpa takut kelaparan. Ibu membuktikannya sendiri. Bapakku meninggal saat aku masih kecil, Ibu bekerja sendirian untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Pagi sampai siang mengajar di sekolah, sore hingga malam jualan Rujak Cingur di teras rumah. Ibu membesarkan aku dan Mbak Ririn seperti putri raja, tugas kami hanya belajar dan belajar. Ibu tidak pernah sekali pun mengizinkan kami memegang ulekan warung, padahal kami ingin membantu meringankan pekerjannya lantaran saat tengah malam, Ibu sering kali masih terjaga untuk mengoreksi tugas murid-muridnya atau menyiapkan soal-soal dan bahan ajar. Jika tidak ingat bagaimana perjuangan Ibu membesarkanku, aku pasti sudah memilih untuk mengundurkan diri jadi anak beliau. Tadinya, kalau sampai sore Mbak Ririn masih meneleponku, aku akan menjawabnya. Berhubung dia tidak telepon lagi, aku berencana akan hubungi balik besok saja. Telepon masuk dari Pandu masuk ke ponselku, kebetulan aku ingin tanya dia akan pulang jam berapa. Segera saja aku menjawabnya, "Yang-" "Handphone kamu kenapa?" tanyanya memotong sapaanku. "Hah? handphone aku kenapa?" "Mbak Ririn telepon aku katanya kamu nggak bisa dihubungi." "Hah?" Aku belum sepenuhnya terkoneksi dengan apa yang terjadi. "Udah tahu hubungan kamu sama Ibu lagi nggak baik, sama saudara kandung jangan juga, dong," desah Pandu terdengar kesal. Diantara suaranya, aku bisa mendengar suara kendaraan-kendaraan. "Dia ngiranya aku nggak bisa jadi penengah antara kamu sama Ibu dan malah ngasih pengaruh buruk ke kamu." Aku menudukkan pandangan meski Pandu tidak melihatku, aku sadar sikapku pada Mbak Ririn kekanakan. "Iya, habis ini aku telepon dia. memang Mbak Ririn ngomong apa aja ke kamu?" "Kamu kira-kira aja sendiri. Nin, aku menikahi kamu bukan untuk menjauhkan kamu sama keluarga kamu. Jangan terlalu ngebela aku kalau itu cuma bikin Ibu makin kesal." "Tapi Ibu ngomongnya udah kelewatan banget. Kalau aku nggak benerin, nanti dikira kamu memang begitu." "Ya tinggal aku tunjukin kalau aku nggak begitu," sahut Pandu. "Kalau cuma ngotot pakai kata-kata mana ada yang percaya, apalagi kondisinya sekarang aku kayak begini. Aku memejam pedih. Diam salah, melawan pun salah. "Iya, Ndu, Iya, aku telepon Mbak Ririn sekarang." "Udah nih, Yuk." Sontak mataku membuka. "Kamu lagi di mana, Yang?" "Kerja. Udahan dulu teleponnya," Pandu memutus sambungan lebih dulu. Mendadak aku gelisah. Suara samar perempuan di ujung sana terdengar femiliar dan bukankah terlalu akrab untuk ukuran driver dengan penimpang? Aku menggelengkan kepala, agar pemikiran itu tidak membawaku berpikir kejauhan. Suara kenalpot dan sahutan klakson tadi cukup meyakinkan bahwa di luar sana Pandu sedang bekerja. *** Seperti yang kuduga, Mbak Ririn menyuruhku meminta maaf pada Ibu besok, sembari mengingatkan aku bagaimana Ibu sangat memikirkan kenyamanan kami sejak kecil dulu. Bahkan, kalau bisa, aku disuruh pulang bulan depan saat sepupuku melangsungkan pernikahan. Hitung-hitung menebus absennya aku saat lebaran Idul Fitri kemarin. Keenggananku untuk pulang diartiakan Mbak Ririn karena aku tidak punya uang, dia dengan enteng menyanggupi akan membayarkan dua tiket pesawat pulang pergi, sekaligus biaya swab test dan segala macamnya. Sekalipun berlimpah uang, aku tetap belum mau pulang. Sekalian saja pulangnya saat lebaran tahun depan. Akhirnya kujawab dengan bijak bahwa aku akan lihat situasi dan kondisinya nanti. Terlebih aku sedang hamil jadi tidak bisa sembarangan terbang. Deruman suara motor Pandu membuatku segera beranjak ke luar, kepulangan dia adalah saat yang aku tunggu-tunggu karena akhirnya aku ada teman di rumah. Aku membuka pintu lebar, ingin sekali langsung memeluk Pandu sebenarnya, tapi dia baru dari luar seharian. Tidak tahu ada berapa banyak virus di tubuhnya. Selagi aku menyiapkan makanan, kalau Pandu belum makan di luar, Pandu akan langsung mandi. "Malem banget pulangnya, Yang, aku tungguin dari tadi." Pandu sepertinya sangat lelah sampai-sampai senyum pun seperti tidak ikhlas. "Udah makan, belum?" tanyaku lagi. Pandu berbalik mengunci pagar dulu sebelum menjawabku, "udah." "Kamu makan malam di luar terus," keluhku lemas. Kami cuma punya kesempatan makan bersama di siang atau pagi hari saja, padahal aku selalu menyisakan lauk, jaga-jaga kalau Pandu akan makan malam di rumah. Saat aku mendongak aku baru sadar Pandu sedang menatapku aneh. Sebelum aku bertanya, dia lebih dulu mengalihkan pandangannya, fokus membuka sepatunya. "Tadi jadi telepon Mbak Ririn?" Hah, bukannya berbalik tanya apa aku sudah makan, malah itu yang dia tanyakan duluan. "Udah, kok. Beres. Besok tinggal telepon Ibu." "Besok mending ngalah aja sama Ibu, nggak ada menangnya kita sama orang tua." "Iya," jawabku tidak mau membantahnya sebab aura Pandu malam ini sangat dingin. Masih ada yang ingin kukatakan tapi Pandu keburu masuk ke rumah duluan. "Yang," aku memanggilnya. "Hm?" "Kamu marah?" tanyaku berhati-hati. "Mbak Ririn tadi nggak ngomong macam-macam, kan?" "Aku biasa aja. Jangan overthinking." Mudah sekali Pandu mengatakan itu. Dia langsung pergi setelah berkata itu saja makin membuatku overthinking. Baiklah, mungkin memang aku terlalu berlebihan menghubung-hubungkan diamnya Pandu dengan masalah Ibu, padahal mungkin sebenarnya dia cuma capek saja. Aku hendak menutup pintu, ketika mataku menangkap kunci motor Pandu masih menyantol di motor. "Haduh, kebiasaan, deh," keluhku. Luar biasa Pandu tidak lupa mencabutnya saat di luar. Apa ini? Aku mengambil botol berlekuk dari ceruk dashboard motor. Kali ini aku tidak bisa mencegah diriku overthinking. Pasalnya botol ini adalah botol minuman yang tidak diperuntukkan untuk diminum semua orang, terlebih laki-laki. Kenapa di dashboard motor Pandu ada botol Kiranti?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN