Pada akhirnya aku menjadi tipe orang yang dulu paling kubenci, yaitu orang-orang yang menawarkan bisnis MLM dengan cara menyebalkan.
Setiap hari Ayu mengirimiku quotes motivasi, dari yang kubalas dengan kalimat semangat, sampai kini hanya kubalas dengan emoticon jempol. Maksudnya mungkin menjaga semangatku agar tidak kendor, tapi aku malah merasa seolah sedang dikejar-kejar.
Ya, aku mengerti, sebagai kakinya, pencapaianku juga berpengaruh padanya. Seminggu lebih bergabung, aku bahkan belum bisa menutup setengah dari poin yang harus kucapai.
Aku bukannya tidak berusaha. Aku meng-hide akun keluargaku di Surabaya hanya agar bisa posting foto-foto katalog tanpa khawatir ketahuan Ibu. Aku rajin sok asik mengomentasi setiap stories orang lain agar terjalin percakapan sehingga punya kesempatan menyampaikan tujuan sebenarnya aku menyapa mereka.
Aku berusaha tidak rendah diri dan sakit hati menerima setiap respon penolakan. Dulu aku pun seperti mereka, malah mungkin lebih parah karena aku tidak memberi kesempatan sama sekali untuk mereka menceritakan bisnis apa itu. Penolakan-penolakan yang kuterima masih 'baik' sebab mereka mendengarkanku lebih dulu, kemudian berlagak mempertimbangkan, baru setelah itu menolak.
Tidak apa-apa, itu yang selalu kusugestikan ke diri. Aku tidak boleh menyerah di sini, jalan yang kutempuh ini belum ada apa-apanya dibanding apa yang sudah dilewati orang sukses di luar sana.
Melihat notifikasi Ayu mengirim foto, aku sengaja tidak langsung membukanya meski di sana dia tahu aku sedang online di WA. Dia pasti mengirim templete quotes pantang menyerah lagi untuk kuposting. Gara-gara keseringan posting quotes dan katalog jualan, views storiesku terus berkurang. Teman-temanku mungkin sudah tidak tertarik dengan apa yang aku bagikan.
Ayu mengirimkan pesan lagi yang membuatku tergerak langsung membukanya.
Ayu Paramitha
Ini suami kamu bukan, sih? apa aku yang salah lihat
Pasti aku yang salah lihat. Nggak mungkin banget suami kamu ngojek
Maaf ya, Nin.
Segera kubalas pesan Ayu, atas foto driver ojek berjaket hijau yang tampak kerepotan menata banyak box makanan ke dalam tas kain. Lewat foto ini, akhirnya aku melihat Pandu memakai jaket hijau itu.
Nindya Sangdewi
Iya, itu memang suami aku. Lihat di mana, Yu?
Ayu Paramitha
Di Mie Kober Renon
Kok bisa dia ngojek sekarang, Nin?
Nindya Sangdewi
Ya kenapa enggak, Yu, yang penting halal
Ayu Paramitha
Kamu bilang dia store manajer, masa sekarang ngojek
Meskipun tempat kerjanya belum buka, masa dia nggak bisa cari kerja lain
Makin bagus posisi, harusnya dia punya banyak koneksi bagus juga kan
Apa-apaan ini, Ayu mengomentari terlalu jauh masuk ke dalam ranah keluargaku. Sebenarnya aku sudah kehilangan minat untuk menanggapi baik-baik, namun aku ingat, aku masih butuh Ayu untuk kelancaran usahaku.
Nindya Sangdewi
Iya, nggak apa-apa ngojek
Yang penting suamiku nggak nyuri hak orang
Ayu Paramitha
Nah, tahu sendiri jaman lagi susah
Jangan gengsi-gengsi kayak dulu
Semangat aja pokoknya terus tawarin produk kita
Jangan malu-malu atau ngaku nggak bakat jualan
Semua orang terkaya di dunia itu pebisnis
Yang namanya bisnis itu ya dagang, jualan
Aku membaca pesan Ayu sambil mengingat-ingat seburuk apa perlakuanku pada Ayu sebelumnya. Apa dia masih sakit hati beberapa kali kutolak saat menawariku join jadi downline-nya, apa dia tidak nyaman mendengar aku ikut seperti yang lain menceritakan pasanganku, apa dia sebenarnya diam-diam menganggapku sombong?
Nindya Sangdewi
Iya, Yu. Makasih semangatnya
Ayu Paramitha
Sama-sama, Nin. Yang sabar ya
Sungguh, aku sama sekali tidak berharap dia membalas ucapan terima kasihku, apalagi dengan kalimat terakhirnya. Seolah-olah kondisiku sudah sangat kritis hingga tidak ada yang bisa kulakukan selain bersabar dan berserah.
Tidak kubalas pesan itu, Ayu baru saja sukses membuat aku merasa rendah diri dan malu.
Aku akan menerima kata-katanya sebagai perwujudan putaran roda kehidupan.
Sebelumnya saat aku masih di atas, tanpa sadar aku mungkin memandang dia dan yang lain rendah. Aku akan menekan rasa sakit hatiku jika mereka ingin membalas sikapku yang dulu.
Aku akan mengingat rasa sakit ini, agar suatu hari jika aku dan Pandu kembali ditempatkan di puncak roda, aku bisa memperlakukan yang dibawah dengan lebih baik.
***
Pandu pulang lebih larut malam ini, jam sebelas dia baru sampai rumah, padahal dia berangkat dari pagi. Wajahnya kelihatan sangat lelah sampai-sampai aku tidak tega mengajaknya ngobrol.
Aku memberinya wedang jahe yang dia minta buatkan sebelum mandi tadi. Badannya pasti pegal-pegal di atas motor seharian, kena panas dan angin malam.
"Bener kamu udah makan?" tanyaku sekali lagi. Aku tidak mau dia tidur dalam keadaan perut kosong.
"Iya, udah." Pandu menyesap sedikit wedang hangat buatanku. Dulu Ibu selalu membuatkan aku dan Mbak Rini minuman itu setiap kami mengeluh meriang, tidak kusangka Pandu juga menyukainya.
Setelah meminum beberapa teguk, Pandu meletakkannya di meja samping tempat tidur. "Yang, kayaknya tadi ada teman kamu yang ngeh sama muka aku."
"Dia nyapa kamu?"
Pandu balas menatapku. "Kayaknya kamu udah tahu, jadi dia beneran teman kamu?" Aku menganggukkan kepala lemah. "Pantesan, dia diam-diam foto aku dari jauh. Aku udah kegeeran, kirain bakal dimasukin t****k driver ojek ganteng siapakah dia. Tuhan tolong aku, katakan padanya, nananana..."
Aku sontak tertawa, membayangkan foto Pandu yang Ayu kirimkan dengan latar musik lagu Bukan Salah Jodoh yang barusan Pandu nyanyikan sebagian potongan liriknya. Jadilah aku menyambung nyanyi lagu itu.
Saat sudah tidak ada lagi hal lucu ditertawakan, Pandu bertanya lagi dengan raut wajah serius, "kamu nggak apa-apa dia tahu suami kamu ngojek?"
"Panduuu, kan aku udah bilang, aku nggak peduli kata orang," jawabku geregetan. "Lagian dia nggak ngomong aneh-aneh, kok, dia maklum karena banyak teman sama saudaranya yang pulang pesiaran sekarang ngojek juga."
Tidak sia-sia aku berbohong, wajah Pandu terlihat lebih tenang setelahnya. Dia pasti sangat memikirkan reputasiku di mata teman-temanku.
"Kamu pasti capek, aku pijitin, ya."
"Nggak usah, kamu juga capek."
Pandu lantas mendekatkan kepalaku ke perutku. "Hari ini aku belum nyapa Lily, dia nggak rewel, kan?"
"Lily siapa?" Kubiarkan dia menciumi perutku.
"Anak aku lah."
"Lily? percaya diri banget anaknya lahir cewek, Pak."
"Percaya diri, dong, kan aku yang bikin," jawab Pandu asal-asalan. "Pokoknya nanti kalau lahir mau aku kasih nama Lily Putih Putri Arnata."
"Hah? Lily Putih banget?" Di pangkuanku, kepala Pandu mengangguk. "Yang bener aja dong, Yang, masa namanya Lily Putih. Lily kedengeran manis, sih, tapi Putihnya itu lho. Cari kek arti putih dari bahasa mana gitu." Aku terkekeh tak habis pikir. "Eh, tapi belum tentu juga cewek. Kalau ternyata cowok, kamu kasih nama apa?"
"Enggak, aku yakin cewek pokoknya. Aku nggak nyiapin nama lain. Nanti anak kedua aja kamu yang pilih nama, mau cewek atau cowok terserah," putus Pandu aneh dan keras kepala.
Apalah arti rendah diri dan malu, aku tidak butuh suami kaya raya, aku cuma butuh Pandu di titik rendah roda kehidupanku.
***
Ayu
Orang yang hari ini merendahkanmu, suatu saat akan membutuhkanmu
Saat mereka menyombongkan apa yang mereka punya, diam saja dan lihat itu akan bertahan berapa lama.
Lista
Ayu kenapa?
Dira
Hayo kata-katanya buat siapa itu?
Ayu
Hehe self reminder aja, kok, nggak buat siapa-siapa
Biar kita nggak lupa diri aja kalau lagi di atas
Kan sekarang banyak tuh orang-orang begitu
Dira
Siapa tuh?
Ayu
Ada lah pokoknya. Kamu jangan ngajakin aku gosip pagi-pagi dong, Ra
Dira
Kan kamu yang mulai. Spill dong, udah terlanjur penasaran ini
Ayu
Kamu kan udah tahu, Ra
Dira
Oh, yang itu. Ya maklum lah ya, dia dari kampung, kaget sama perkotaan
Jadinya suka pamer buat cari pengakuan biar punya teman
Ayu
Yang dipamerin punya lakinya lagi
Itu pun nggak tahu deh lakinya bisa sukses gimana ceritanya
Dira
Ada orang dalam, semuanya beres
Ayu
Haha iya bener juga
Aku tidak sanggup membaca itu lagi, aku mendorong ponsel Lista yang disodorkan di depanku.
"Kemarin dia juga kirim foto suami kamu, lho."
Sontak aku menatap Liata lagi. "Ke grup itu?"
"Iya, ini, lihat." Setelah mengutak-atik ponselnya sebentar, Lista menunjukkan apa yang terpampang di layar padaku. Benar itu adalah foto yang kemarin Ayu kirim ke aku. Di bawahnya ada tulisan, mirip suami Nindy nggak sih?
Hah, memang dasar ular. Dia sudah mendapat konfirmasi dariku bahwa itu memang Pandu, kenapa tidak beritahu sekalian.
Aku tadi sempat sangat kaget saat mendengar informasi itu dari Lista, bahwa Ayu membuat grup chat anak-anak frontline hotel tempat kami bekerja tanpa menyertakan aku. Saat ada yang bertanya kenapa aku tidak diundang, dia menjawab aku lah yang tidak mau. Padahal dia tidak pernah bertanya sekali pun padaku.
Lista menatapku prihatin, "kok Ayu begitu banget ya, Nin?"
Aku memaksakan diri tersenyum. "Iya, aku kira grupnya akan berisik, jadi aku nggak mau pas dia tanya. Nanti dikira gimana-gimana lagi kalau aku nggak pernah ikut nimbrung," bohongku.
"Masa, sih? Kamu aja tadi kelihatan kaget pas aku tunjukin grup itu."
"Nggak kaget itu, Lis, cuma penasaran aja sama isi grupnya sampai kamu bela-belain jauh-jauh ke rumahku."
Aku tidak tahu apa maksud Lista memberitahu semua itu padaku. Jika boleh memilih, aku sebaiknya tidak mau tahu. Salah-salah bisa terlihat seperti ingin adu domba. Kalau pun aku tahu, apa yang dia harap akan aku lakukan? Melabrak Ayu tidak mungkin, aku tidak mau bermasalah secara terbuka dengan teman bisnisku.
Yang ada sekarang malah aku kepikiran, apa aku dulu memperlakukan Ayu seburuk itu sampai-sampai saat aku jatuh seperti sekarang, dia menari-nari dengan penghasilan 9 juta per bulan dari bisnis MLM yang dulu kuremehkan.
Atau, kemungkinan terburuknya, Ayu bukan satu-satunya orang yang senang melihatku jatuh.
Kutatap Lista. Jangan-jangan Lista adalah salah satunya. Aku ingat tahun lalu aku pernah menolak ajakannya ngekos bareng karena aku memang tidak bisa ada orang lain di kamarku, terlebih Pandu seringkali mampir ke kosku.
"Tapi, emang bener suami kamu ngojek ya, Nin?" tanya Lista bernada hati-hati.
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. "Iya." Tidak ada yang perlu kututup-tutupi. Pekerjaan Pandu mungkin tidak keren, tapi juga tidak hina.
Lista manggut-manggut. "Oh... ya nggak apa-apa harusnya. Padahal suami Ayu sendiri nggak jelas kerjaannya apa dari dulu, untung si Ayu pinter cari uang."
Itu lah yang kukagumi dari Ayu, dia tidak gengsian, apa saja bisa dia jadikan uang. Saat masih kerja dia sering membawa entah itu kripik usus atau jajanan lain untuk dijual ke anak-anak hotel. Dia sangat pandai bicara dan mengambil hati orang lain agar join member MLM-nya.
"Udah dengar belum, Nin, suaminya kan pernah ketahuan selingkuh. Tapi masih dimaafin sama Ayu karena baru banget mereka nikahnya. Cuma karena nggak ada yang bongkar aja makanya nggak ada yang tahu. Lagian usil banget dia ngurusin hidup orang."
"Keluar aja dari grupnya kalau emang isinya cuma gosip."
"Nggak dulu, aku masih mau lihat sejauh mana Ayu nyindir-nyindir kamu. Beraninya di belakang kamu doang. Nanti kalau keterlaluan banget, aku pasti kasih tahu kamu."
Aku menahan senyum, sekarang semakin jelas tujuan Lista kemari dan memberitahukan apa yang seharusnya tidak perlu aku tahu. Jika dia pikir aku akan termakan umpannya, dia salah. Aku tidak mau membuang energi untuk menambah masalah.
***
Bohong sekali jika aku bilang aku baik-baik saja mendengar orang lain berkata buruk di belakangnya, padahal di depanku di masih baik dan tersenyum. Sabar sangat tidak mudah, terlebih di posisiku yang serba terjepit. Aku tidak bisa melampiaskan kemarahanku dengan melabrak Ayu, sehingga aku cuma bisa menangis di rumah.
Sebenarnya aku tidak mau Pandu tahu masalah ini, tapi dia tiba-tiba pulang saat aku sedang nangis. Aku cuma punya waktu kurang lebih dua menit untuk menghapus air mata, namun jejaknya masih ada. Pandu mendesakku untuk cerita yang mana itu membuat tangisku makin menjadi-jadi. Aku pun menceritakan semuanya, kecuali bagian foto dia juga dibagikan di grup itu.
Rahang Pandu tampak mengetat, jelas sekali dia tidak terlihat senang dengan apa yang didengarnya barusan.
"Kalau Ayu nggak bisa menghargai kamu, batalin aja membership kamu di MLM-nya."
"Nggak bisa gitu, Yang, belum juga sebulan aku gabung."
"Memangnya ada kontrak kamu nggak bisa berhenti kalau nggak sanggup?"
Aku menyudut air mata dengan ujung jari-jariku. "Ya nggak ada, tapi masa belum apa-apa aku udah nyerah. Sayang banget usaha aku kemaren-kemaren." Aku seketika ingat penolakan demi penolakan dan rasa malu yang mesti kutekan hanya agar ada yang mau join member atau setidaknya bembeli satu produkku yang harganya termurah.
"Masalahnya, kamu nggak dihargai di situ, Nin. Kalau kamu berhasil pun itu nggak akan bikin dia baik ke kamu. Ada banyak bisnis lain. Mending usaha sendiri, daripada bergantung ke orang begitu."
"Kamu pikir usaha sendiri itu gampang?"
"Nggak gampang, kalau gampang dan pasti sukses, semua orang nggak perlu cari kerja."
"Kok jadi kamu yang lebih kesel daripada aku?"
Pandu mengembuskan napas gusar. "Istri aku direndahkan sama orang lain, kamu pengen aku kayak gimana? Aku nggak punya apa-apa buat nutup mulut mereka. Jadi yang paling masuk akal sekarang, kamu menjauh dari orang-orang seperti mereka," katanya tegas.
"Iya iya, aku bakal keluar habis tutup poin. Minimal aku bisa dapat bonusnya bulan ini. Kalau mundur sekarang aku yang rugi, nggak dapat apa-apa."
"Bonus apa? uang? berapa?"
Enteng sekali Pandu saat menyebutkan kata berapa, seolah dia punya ratusan kali lipat nominalnya. "Set panci."
"Itu aja?"
"Yang kamu bilang itu aja, buat aku lumayan banget, tahu. Kamu nggak tahu rasanya--" seketika aku mengatupkan bibir, untung saa aku berhasil mengerem sebelum semuanya terucap. Tadinya aku mau bilang, Pandu tidak tahu bagaimana rasanya bersikap tidak tahu malu merayu-rayu orang agar membeli barangku. Karena pastinya Pandu juga punya kesulitannya sendiri di pekerjaannya.
Namun terlambat, Pandu sepertinya bisa menebak apa yang ingin aku katakan. Dia beranjak dari sebelahku dengan hanya satu kata, "terserah."
Aku mengerti Pandu kesal karena aku tidak menurutinya, tapi nanti dia akan lihat sendiri kenapa aku kekeh menahan diri.
"Oh ya, Nin." Teringat sesuatu, Pandu berbalik badan lagi. "Kamu belum bilang ke Ibu tentang kehamilan kamu?"
Gelengan kepalaku membuat wajahnya makin tertekuk. "Mau aku aja yang ngomong?"
"Jangan," cegahku spontan. Di keluargaku, Ibu adalah orang yang paling sulit ditanggani. Aku belum siap mendengar apa pun yang keluar dari bibirnya jika mengetahui aku hamil, padahal belum lama beliau mewanti-wanti agar aku jangan hamil dulu. Terlebih lagi dengan sentimen negatifnya terhadap Pandu.
Seandainya Ibuku sebaik Ibu Pandu, beliau akan tahu kabar ini di hari yang sama dengan mertuaku itu. Ibu Pandu sangat senang sewaktu kukabari kalau aku hamil, beliau jadi semakin perhatian, sedikit-dikit tanya kabar. Kalau tidak ada mertua dan kakak iparku, aku pasti hanya mengandalkan buku untuk belajar menjadi Ibu.
"Nanti aja pas udah 8 minggu," tambahku kemudian.
Sesaat Pandu hanya menatap aku dengan tatapan sulit diartikan, aku melihat ada lelah dan kesal. Aku menyengir agar suasana tidak terkesan serius. "Aku nggak mau ada drama lagi kalau sampai Ibu dengarnya dari orang lain ya, nanti dikira kita nggak menghormati dia," ujarnya bernada memperingatkan.
Aku mengangguk mantap agar dia percaya padaku. "Iya, suamiku yang paling ganteng tapi ngambekan. Istri yang hamil, tapi kayaknya kamu yang mood-nya naik turun," candaanku berakhir garing karena Pandu tidak menanggapi.
Begitu Pandu menghilang di balik pintu kamar, hilang juga cengiran di wajahku.
Gila ya, kupikir saat aku pindah ke Bali 5 tahun lalu saat umurku 22 tahun adalah saat dimana aku tahu bahwa dunia ini kejam, ternyata apa yang aku alami dan rasakan dulu tidak ada apa-apanya dibanding sekarang. Kalau dulu masalahku hanya merasa terkurung dengan keotoriteran Ibu, sekarang masalahku lebih kompleks.
Pekerjaan, pertemanan, masa depan, keluarga, sampai rumah tanggaku dengan Pandu pun sepertinya tidak ada yang berjalan lancar. Aku mengelus perut pelan, anakku pasti akan tumbuh jadi anak kuat karena dia menemaniku menghadapi masa-masa berat.