Kekesalan Rima

1538 Kata
"Terima kasih ya! Ibu akan urus pernikahan kalian berdua, beberapa minggu lagi," Bu Ana menciumi kening Rima dan Antoni secara bergantian, dengan bangga dan penuh suka cita. Walaupun isi perasaannya berbanding terbalik dengan perasaan kedua anak tersebut, yang merasa dongkol, ragu serta cemas, meskipun dari mulut mereka mengakui setuju dengan keputusannya. Rima menatap dengan sebal pada Antoni, sekilas, secara tersembunyi, sebelum dia pamit pulang dari rumah ibunya. Dan Antoni tidak heran dengan hal tersebut, dia tahu bagaimana perasaan Rima, apalagi terhadap dirinya. *** Rima melajukan mobilnya dengan berusaha tenang, dia harus mengendalikan perasaannya yang kacau, ketika sedang menyetir. Berkali-kali dia menarik napas berat, karena beban emosi dan pikiran yang sedang menggelayutinya saat ini. Dia terpikirkan tentang kekasihnya, Rayhan, bagaimana menjelaskan semuanya? Dia bahkan tidak yakin Rayhan akan mengerti dengan kondisi yang dialaminya. Tiba-tiba Rima terkejut, dan dengan spontan menginjak rem sedalam mungkin. Astaga. Dia hampir menabrak seseorang. Lantas, dia turun dari mobil, menghampiri orang yang hampir ditabraknya tersebut. Seorang gadis bertubuh mungil mengenakan kacamata, dan juga berseragam seorang pegawai-entah apa itu, mungkin kedai makanan. Meskipun dia tidak terkena mobil Rima, namun gadis itu terjatuh karena kaget hampir tertabrak, barang-barang yang berupa buah apel dan kopi sachet yang dibawanya, tampak berserakan. Rima dengan sigap memungutinya ke dalam wadah yang juga ikut berserak, dia berbicara pada gadis di depannya. "Kau, tidak apa-apa kan? Apa ada yang terasa sakit? Aku minta maaf, tadi aku sedang tidak fokus," "Tidak apa-apa kok, hanya kaget," gadis itu mengangguk dan tersenyum, dia juga membetulkan posisi kacamatanya. Beberapa orang terdekat menghampiri mereka, bertanya apakah semua baik-baik saja, dan mobil yang berlalu-lalang sempat melambatkan lajunya untuk melihat apa yang terjadi, tetapi mereka kemudian kembali melaju cepat, setelah tahu tidak ada hal fatal yang terjadi. "Sebentar," ujar Rima, seraya mengambil sesuatu dari dalam mobil. Ternyata beberapa lembar uang berwarna merah dan ponsel. Dia menyodorkan uang itu kepada gadis yang hampir trrtabrak tadi, dengan sedikit memaksa, karena gadis itu tampak tidak enak. "Eh? Buat apa mba? Aku tidak apa-apa kok!" Ujarnya dengan nada menolak. "Kau harus pergi ke klinik nanti. Periksa, meskipun tidak ada luka, jangan diabaikan. Namamu siapa? Aku boleh minta nomormu ya? Untuk berjaga-jaga?" Gadis itu tambah terkejut, mungkin karena cara bicara Rima yang tanpa basa-basi, dan sekarang Rima malah bersiap dengan ponselnya. Lantas, si gadis menjawab cepat, "Namaku Riri Aristanti," lalu menyebutkan nomor ponselnya yang kemudian disimpan oleh Rima ke dalam telepon genggam. "Aku akan mengantarmu menyeberang. Mari," Rima menyunggingkan senyuman, yang membuat gadis di depannya sedikit terbelalak karena sedari tadi dia hanya melihat ekspresi wajah Rima yang datar dan bercampur kecemasan. Lalu akhirnya Rima mengantar gadis itu hingga ke seberang jalan, setelah itu, barulah dia kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. Kali ini dia lebih memilih fokus untuk menyetir hingga sampai apartemen, karena kejadian barusan saja hampir membuat jantungnya terasa seperti meloncat keluar. *** Brukk Tas yang dikenakannya sedari tadi, dibanting ke kasur dengan perasaan jengkel. Hari ini terasa sangat berat bagi Rima, bagi batin dan pikirannya, keduanya sangat kacau. Lalu dia memutuskan untuk segera mandi, karena biasanya guyuran air dingin bisa membuat pikiran lebih tenang. Dan itu benar sekali, karena Rima merasa lebih rileks setelah mandi. Dia segera menyantap makan siangnya, tidak terasa perutnya sudah keroncongan sejak menyetir tadi. Dia lalu mengambil ponselnya, membuka media sosial, dan mencari akun seseorang, yang ternyata adalah akun orang bernama Antoni Wijaya. Dia segera memeriksa berandanya. Seorang koki? Pikir Rima. Tiba-tiba dia teringat, bahwa dia pernah melihat orang yang akan dijodohkan dengannya, satu kali saat dia pergi ke restoran ibunya. Tepatnya di bagian dapur, dia pernah melihat koki bertubuh tinggi-sedang yang mengenakan kacamata persegi. Rima mendesah kesal, dan melempar ponselnya ke kasur. Dia menyandarkan punggungnya ke tempat tidur. Bingung dengan situasinya saat ini. Dia harus segera mengabari Rayhan, bagaimanapun jawaban dan reaksinya nanti. Akhirnya dia mengajak Rayhan bertemu di tempat biasa mereka menghabiskan waktu, yaitu sebuah perpustakaan umum yang juga merangkap dengan kedai minuman sehat. "Menikah?" Rayhan terbelalak bukan main, setelah mendengar penjelasan dari Rima tentang perjodohan dengan karyawan restoran milik sang ibu. Rima sudah menduga reaksi kekasihnya tersebut, tetapi mau bagaimanapun, dia harus tetap jujur mengatakannya, dari pada disembunyikan. "Kau harus mengerti, ini permintaan ibu, aku sulit menolaknya, Rey. Dia sedang sakit..." "Buset dah! Berarti nanti aku jadi perusak rumah tangga orang dong!" Rayhan mendesah sebal, dia masih tidak percaya bahwa kekasihnya akan jatuh ke tangan orang lain, apalagi dalam ikatan hubungan yang lebih resmi dari hubungan mereka sekarang. Tetapi dia pun bingung, apa yang harus diperbuat olehnya sekarang? Dia merasa bersalah saat ini, karena belum mampu menikahi Rima. "Kau tenang saja." Rima menggenggam tangan Rayhan seraya tersenyum. "Aku punya rencana, Rey. Kita akan bisa berdekatan dan bersama meskipun aku sudah menikah nantinya. Percayalah, aku sama sekali tidak menginginkan lelaki asing itu," "Apa yang akan kamu lakukan?" Rayhan menaikkan satu alisnya, sama sekali tidak punya ide tentang maksud ucapan Rima barusan. "Lihat saja nanti, Rey. Aku akan mengaturnya," seraya tersenyum, Rima mengecup tangan kanan Rayhan. *** Dua minggu kemudian, bu Ana melaksanakan resepsi pernikahan untuk puterinya dan Antoni di sebuah hotel milik keluarga mereka, dengan adat tradisional budaya sendiri tentunya. Acara tersebut cukup meriah, para kerabat, teman, dan keluarga dari kedua belah pihak mempelai berdatangan untuk menyaksikan, menghadiri, memberi doa dan ucapan selamat bagi mempelai pengantin. Semua tampak meriah dan bahagia di acara tersebut, meskipun itu sangat berbanding terbalik dengan isi hati mempelai pengantinnya sendiri. Rima dan Antoni tidak saling berbicara, selain karena belum saling mengenal, yang utama karena mereka sama sekali (belum) ada rasa satu-sama lain. Bahkan Rima-lah yang paling jengkel dengan acara ini. Bahkan dia pun harus berbohong kepada sang ibu, untuk mengatakan bahwa hubungannya dengan Rayhan telah kandas akibat perjodohan ini. Ini adalah cara agar dia dan Rayhan bisa terus berdekatan dan bertemu, meskipun dia telah terikat dengan jalinan pernikahan dengan orang asing. Dan ini merupakan bagian dari rencananya. Di sela-sela acara, Rima tiba-tiba berbicara kepada Antoni, dan itu bukanlah pembicaraan yang menggembirakan bagi antoni, melainkan salah satu dari isi rasa cemasnya yang tidak terpikirkan oleh pemuda itu. "Setelah ini, kita harus membuat perjanjian, dan kau harus menyetujuinya. Tentang pernikahan kita yang terpaksa. Aku ingin kita menjaga privasi dan hidup masing-masing, tidak ada ikut-campur urusan satu sama lain. Kau mengerti?" Antoni mengerutkan dahi, sebelum akhirnya menjawab, "Terserah kau saja," Dia paham dengan maksud ucapan Rima, dan dia juga tidak menyalahkan gadis itu. Karena mereka menikah dengan terpaksa. *** Setelah acara pernikahan usai, Rima dan Antoni berpindah lokasi tinggal di sebuah rumah minimalis yang sudah disediakan bu Ana, sebagai bentuk hadiah pernikahan mereka. Antoni yang merasa sangat gerah dan lelah selepas acara pun, segera memutuskan untuk membersihkan diri, agar tubuhnya menjadi lebih segar setelah tersiram air dingin. "Aku ingin membicarakan hal yang tadi kubilang." Terlihat Rima sudah berdiri di belakang Antoni yang tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk di dalam kamar. Antoni memutar bola mata dengan malas, lalu mengikuti Rima ke ruang tamu, duduk di sofa. Masih tergambar jelas guratan kesal di wajah Rima yang meskipun nampak kelelahan karena acara mereka, tepatnya ekspresi kesal dan sedih sekaligus kecewa karena harus menikah dengan orang yang tidak dikenalnya dan dia juga merasa telah menghianati Rayhan. "Aku harus melakukan ini. Karena demi hidupku sendiri, kau sudah mengganggu kehidupanku, padahal aku masih memiliki seorang pacar!" Umpatnya, seraya menekan kepala dengan tangan, gaya orang frustasi. "Lalu apa maumu? Aku hanya mengabulkan permintaan ibumu, karena dia sudah berjasa banyak padaku. Jika aku bisa memilih untuk tidak menikahimu, aku pasti memilih itu," "Kenapa kau tidak mengarang alasan apapun?! Kenapa kau begitu bodoh, langsung berkata iya?!" Antoni langsung bangkit berdiri dari sofa, dia menatap Rima dengan tajam, itu karena perkataan Rima yang mengatakan kata "langsung" seolah dia tidak berpikir panjang atas keputusan pernikahan mereka. "Langsung katamu? Aku mempertimbangkannya satu bulan lebih! Sekarang cepat katakan apa maumu?" Lalu Rima ikut bangkit dari duduknya dan membalas tatapan Antoni dengan sorot lebih tajam. "Baik. Aku ingin agar kau menyetujui beberapa permintaanku. Pertama, kau dan aku tidak boleh ikut campur urusan satu sama lain. Kedua, meskipun kita menikah, bukan berarti kita akan sama seperti pasangan "normal" lain, karena memang pernikahan kita yang tidak "wajar". Kau pasti mengerti maksud dari bagian ini. Ketiga, meskipun statusmu adalah suamiku, tetapi kau sebenarnya bukanlah siapa-siapa bagiku. Kau adalah orang asing, jadi aku akan tetap menjalin hubungan dengan pacarku dan kau tidak boleh mencampurinya!" Sekali lagi Antoni memutar bola matanya dengan sebal, dia akan menyetujui dan harus dengan permintaan gadis di depannya sekarang. Meskipun rasanya dia sendiri ingin meluapkan semua emosi yang menggunung di kepala dan hatinya. Seraya mengusap wajah, Antoni berkata, "Terserah kau saja. Dan aku tidak akan bertanggung jawab jika orang tuamu tahu soal hal ini," ujarnya, berbalik badan, hendak menuju kamar. "kau mau ke mana?" Rima melotot lagi. "Tentu saja beristirahat, aku lelah!" "Kau tidak bisa tidur di kamar itu! Kamar itu akan menjadi kamarku, dan kita tidak mungkin tidur bersama!" Lalu Rima berjalan cepat memasuki kamar dan menguncinya dari dalam. Antoni sempat berusaha membuka pintunya, namun percuma karena sudah terkunci dari dalam. Jadilah dia tidur di kamar yang lain. Dia sudah lelah untuk protes dan marah-marah, karena menurutnya tidak ada yang perlu didebatkan, mengingat pernikahannya dengan Rima yang terpaksa. Apa yang terjadi berikutnya dengan hidupnya, dia pun tak tahu. Untuk apa terlalu dipusingkan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN