Pertengkaran suami-istri

1081 Kata
Alangkah kagetnya Rima, ketika keesokan paginya dia terbangun pada pukul 07.00 pagi. Padahal, dia ingat, bahwa kontrak kerjanya masih berjalan dan dia harus berangkat sangat pagi. Kesal bukan main dirinya saat itu. Dia berlari ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya, dan terburu-buru mengenakan pakaian. "Rima, kau masih perlu istirahat! Jangan pergi dulu!" Teriak Antoni saat Rima berjalan cepat ke arah mobilnya lalu melajukan mobil dari garasi dengan cepat. Dia tidak mempedulikan lagi ucapan Antoni itu, yang terpenting sekarang adalah, bagaimana dia harus sampai ke tempat kerjanya secepat mungkin. Belum sampai dia ke lokasi tempat kerja, jalanan macet sudah menghadangnya, membuatnya ingin menjerit kencang. Dia memencet klakson berkali-kali kepada mobil yang ada di depannya, berharap agar mobil tersebut mau jalan walau di depan mobil itu hanya ada jarak sedikit. Tetapi hal itu justru membuat pengemudi lain marah dan berteriak-teriak padanya, karena suara klakson yang berisik. "Sudah tahu macet! Malah protes! Terbang saja kalau bisa!" Kata salah satu pengemudi yang sebal mendengar suara klakson mobil Rima. Rima memukul setir mobil dengan frustasi. Siaalll!! Ini semua gara-gara insiden kemarin! Gumamnya dengan kesal bukan kepalang. Menyesali bahwa insiden pertengkaran Rayhan dan ibunya bisa berbuntut panjang dan begitu merugikan dirinya. Dia merasa hidupnya rumit sekali setelah menikah dengan Antoni, karena membuat ibunya lebih mengawasi dia lewat Antoni. Belum lagi sifat Antoni yang sok mengatur itu, tidak mematuhi kesepakatan awal yang mereka buat, bahwa mereka akan menjaga privasi dan tidak ikut campur urusan masing-masing. Andai saja aku tidak perlu bertemu dan menikah dengan si orang asing yang bawel itu! Andai semua bisa kukendalikan...! "Aaarrghh!" Rima mendesah dengan kesalnya karena dia belum juga sampai ke tempat tujuannya, padahal sudah tiga puluh menit lebih dia terjebak oleh kemacetan. Entah apa yang terjadi selanjutnya, setelah dia sampai di lokasi tujuan. Sekitar satu jam kemudian, mobil yang dikendarai Rima baru sampai di lokasi, yaitu di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dia segera menaiki lift untuk menyelesaikan urusan yang pastinya rumit tersebut. Sementara Antoni yang sudah berada di tempat kerjanya, sejak mobil Rima keluar dari garasi tadi, telah berusaha menelepon istrinya tersebut berkali-kali, dan tidak ada jawaban samasekali, bahkan diangkat pun tidak. Alhasil, batinnya kembali dijejali rasa dongkol sekaligus khawatir, dan itu membuat pekerjaannya kurang maksimal, rekan-rekan kerjanya bisa melihat raut ketidakfokusan di wajahnya hari ini. Karena hal itu, salah seorang temannya berinisiatif untuk menggantikan tugasnya sementara, dan menyuruhnya menenangkan diri terlebih dahulu. "Aku tidak bisa melakukannya, ini akan sangat tidak profesional." Jelas Antoni menolak atas tawaran pergantian tugas oleh kawan kerjanya tersebut. Tetapi kemudian, Erlangga yang merupakan teman dekatnya berkata, "Akan sangat tidak profesional jika hasil masakanmu mengecewakan para pembeli, Bung!" Seraya menepuk pundak Antoni yang kokoh dan tegap itu, lalu tersenyum meyakinkan kawannya. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, Antoni setuju untuk digantikan tugasnya. Dan dia pun lebih memilih duduk di teras belakang restoran yang tergolong bersih dan rapi. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan meremas topi koki di kepala, atau mengusap wajahnya, sebagai ekspresi atas perasaannya saat ini. Dia merasa kecewa pada dirinya sendiri, karena telah gagal melaksanakan pekerjaan hari ini. Tidak seperti biasanya, perasaan yang dirasakannya terhadap Rima sampai membuatnya gagal melakukan tugas pekerjaan. Karena di kebanyakan hari ketika dia bersitegang dengan istrinya, dia tetap bisa fokus melakukan pekerjaan, dan justru pekerjaannya-lah yang menjadi obat saat dia habis berseteru dengan Rima atau orang lain, kadang-kadang. Apa karena ada sesuatu yang berbeda yang terjadi? Mungkinkah sifat Rima yang sudah keterlaluan terhadapnya? Ah, bagaimana mungkin dia berpikir begitu, sementara dia merasa sifat Rima yang menyebalkan itu masih dalam batas "wajar", "normal", dan "standar"? Entahlah, dia sendiri tak bisa menilai. Dia ingat bahwa Rima semalam habis mabuk dan berkelahi, juga mengalami luka di bagian wajah. Lantas, apa yang terjadi dengannya sekarang, di tempat kerja? Apa semua urusannya akan lancar saja seperti biasa? Karena penasaran, akhirnya Antoni kembali merogoh telepon genggam di saku celananya, untuk kemudian menghubungi Rima, orang yang menjadi penyebab bad mood-nya hari ini dan kebanyakan hari lainnya. Satu kali, dua kali, bahkan yang ketiga kalinya, tetap tak ada jawaban. Ponsel Rima sepertinya sedang dimatikan, dan...apa dia sedang sibuk? Jika iya Rima sedang sibuk, Antoni akan merasa bersyukur. Tetapi...apa benar begitu? Semoga saja begitu. "Ada apa denganmu hari ini?" Erlangga sudah membawa dua piring olahan nasi khas suku Padang dengan lauk yang berbeda, ke hadapan meja tempat dia dan Antoni menyantap makan siang di ruang makan para karyawan restoran. Tetapi Antoni yang tadinya sedang melamun, tentu saja merasa kaget dengan kedatangan dan suara kawannya tersebut, membuat tersentak dan juga membuat Erlangga tertawa. "Makanlah dulu, melamunnya ditunda dulu, ok?" Tambah Erlangga, seraya menyuap menu makanannya dengan tangan. Antoni pun segera ikut menyuapkan makanan ke mulutnya, karena walaupun dia sedang banyak melamun hari ini, tetap saja perutnya protes minta diisi. Dia memperbanyak suapan tersebut karena menyadari menu makanannya yang terasa begitu lezat. "Hati-hati, Toni! Cara makanmu mengerikan!" Erlangga menatap ngeri Antoni yang dengan lahapnya memasukkan dua suapan besar nasi ke mulutnya, dia khawatir pemuda itu tersedak. "Rasanya enak sekali," ujar Antoni setelah volume nasi berseta lauk di mulutnya berkurang. "Memang enak, kau kemana saja selama ini? Sampai tidak sadar dengan makanan yang kau santap sehari-hari?" Belum juga Antoni membuka mulut untuk menjawab ucapan Erlangga, pemuda itu sudah berkata lagi, "Anyway, ada apa denganmu hari ini? Sampai tidak fokus bekerja? Apa kau sedang broken heart akibat istrimu? Ah, dasar pengantin baru, hanya menggoda saja!" Antoni mendengus sebal, melihat ekspresi wajah temannya itu. Alih-alih bertanya, Erlangga malah tertawa cengengesan meledeknya. Antoni ingin mengatakan bahwa tebakan yang terkandung dalam ucapan Erlangga barusan, memang ada benarnya. Lebih tepatnya dia memang patah hati karena Rima, istrinya yang tidak mencintainya itu, dan antoni sendiri pun memang belum memiliki perasaan suka pada gadis yang menurutnya menyebalkan tersebut. Sikap Rima yang begitu sulit diatur, membuatnya sedikit stres dan emosional akhir-akhir ini. Tetapi, tentu saja Antoni enggan menceritakan lebih detail tentang masalah rumah tangganya yang baru berusia satu bulan tersebut. Karena menurutnya, itu adalah privasi yang harus dijaga. "Biasa lah, masalah rumah tangga pasti selalu ada," jawab Antoni dengan santai, seraya melahap menu makanannya untuk suapan kelima. Perasaannya terasa membaik setelah menikmati menu makanan siang ini. "Kau yakin, tidak mau cerita Toni?" Ujar Erlangga lagi, mengerutkan dahi melihat temannya yang malah tampak santai sekarang, menghabiskan makanan. Antoni hanya menggeleng. "Setidaknya kalau cerita, kau akan merasa lega," "Tidak. Perasaanku sudah lebih baik setelah memakan makanan ini." Erlangga kembali mengerutkan dahinya, "Hah? Sejak kapan makanan jadi obat kegundahan hatimu?" "Sejak hari ini," Ujar Antoni seraya tertawa pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN