Dengarkan aku!

1398 Kata
Keesokan harinya, Rima bisa melihat sikap Antoni yang berubah terhadapnya. Berbeda dengan sikap sebelumnya yang begitu cerewet mengatur ini dan itu, mengatakan begini dan begini, sekarang Antoni lebih banyak diam. Seperti ketika mereka berada dalam satu ruangan, yaitu di dapur, Antoni diam seribu bahasa, bahkan melihat kepada Rima pun tidak. Dia hanya mengambil apa yang dia perlukan di sana, lalu pergi ke ruangan lain seolah menghindar dan tidak ingin bersama Rima dalam waktu lama. Rima sendiri pun agak heran dengan perubahan sikap laki-laki itu, dia bahkan tidak menyangkanya. Lalu Antoni kembali ke dapur untuk membersihkan piring bekas makannya. Dia tetap diam, tidak berbicara pada Rima yang sedang duduk di meja makan menghabiskan sarapannya. Lalu berlalu begitu saja, dan beberapa menit setelah itu, Rima mendengar suara sepeda motor di halaman depan yang menandakan bahwa Antoni telah berangkat untuk bekerja. Rima terdiam sejenak dan menerka-nerka... Apa dia sudah menyerah dengan semua ini? Atau... Tetapi tiba-tiba ponsel di kamarnya berbunyi, menandakan adanya panggilan telepon yang masuk. Dia segera berlari untuk menjawabnya. Rayhan, dia menelpon pagi-pagi sekali hari ini. "Rima, pagi," suara Rayhan menandakan bahwa dia sedang tersenyum di seberang sana. "Pagi, Rey. Tumben kau menelpon sangat pagi? Ada apa?" Rima sengaja memanjakan suaranya, untuk menggoda kekasihnya tersebut. Dia selalu senang jika mendengar suara Rayhan ketika di telepon. "Aku ingin membawamu pada kenalanku, di luar kota. Dia adalah salah satu pemilik agensi permodelan khusus busana untuk departemen store. Jika kau mau, aku bisa membicarakan ini dengannya, sayang," Rima diam sejenak, mencerna kata-kata yang diucapkan Rayhan barusan. Dan dia hampir kegirangan, apakah dia tidak salah dengan apa yang didengarnya tadi? "K-kau...serius, Rey?!" "Hmm," Rayhan bergumam di seberang sana, tanda mengiyakan. Tetapi dia juga tidak menyangka dengan reaksi kekasihnya yang akan sesenang itu, "Hanya model busana, apa tidak masalah Rima?" Tanyanya, untuk meyakinkan gadis itu. "Tidak masalah, Rey. Aku sangat senang! Terima kasih atas bantuanmu, sayang!" Namun, tiba-tiba Rima teringat sesuatu, yaitu soal image-nya yang sedang jatuh, "Tapi, citra diriku sebagai model sudah jatuh, Rey..." "Tenanglah Rima, itu bisa diatasi," Rima berteriak kegirangan lalu selanjutnya menutup telepon dengan suara kecupan untuk Rayhan. Mungkin hari ini adalah salah satu hari terbaik baginya, ketika dia sedang jatuh, lalu ada seseorang yang mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit dari keputusasaan. *** "Kau seperti sedang memikirkan sesuatu?" Rima tersentak ketika suara Rayhan menyadarkannya ke dunia nyata. Rupanya tanpa disadari, dia tengah melamun ketika mereka sedang menunggu orang agensi permodelan yang diceritakan Rayhan tiga hari yang lalu, di salah satu restoran di daerah Pluit, Jakarta Utara. Rayhan tidak mengulur waktu untuk membantu kekasihnya yang baru kehilangan pekerjaan, dan itu juga sebagai bentuk perhatian kecil padanya. "Aku hanya...berpikir...kenapa sikap Antoni berubah ya?" Ujar Rima dengan jujur mengutarakan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya. Sontak saja, ucapannya membuat Rayhan mengangkat alis, terheran, sekalipun Rima tidak menyadari bahwa kata-kata tadi begitu sensitif bagi kekasihnya, "Berubah? Bagaimana maksudnya?" "Dia menjadi cuek." "Lalu?" Rayhan terlihat mengerutkan dahinya sekarang, tak sabar menunggu ucapan Rima selanjutnya. "Yaa...biasanya dia cerewet. Apapun yang kulakukan dia pasti berkomentar hingga membuat kepalaku pusing," Rima mengaduk jus nangka miliknya dengan santai, dia belum juga menyadari ekspresi Rayhan yang terlihat kurang baik si sana. Rayhan sedikit terbakar dengan ucapan Rima. "...Apa kau keberatan jika dia acuh padamu?" Ujar Rayhan, dengan nada datar. Rima hanya menggedikkan bahu dan berdecak, "Itu kabar bagus bagiku. Karena aku tidak perlu pusing mendengar ocehannya setiap hari," Mendengar ucapan barusan, Rayhan langsung merasa lega dan tenang, karena apa yang dipikirkannya tidak terjadi. Syukurlah. Dia menghela napas begitu samar. "Tidak perlu dipikirkan soal itu, Rima," timpalnya, seraya tersenyum lembut. Rima lalu memasang wajah cemberut, merajuk pada laki-laki di depannya. "Andai kau suamiku, Rey. Bukan dia!" "Ssst," Rayhan berbisik dengan lembut, seraya tersenyum, "Aku akan berusaha supaya bisa menjadi suamimu, sayang. Doakan saja, ya." Degan gemasnya Rayhan mencubit pipi gadis jelita yang sedang bersamanya itu. Lima menit kemudian, orang yang mereka tunggu pun datang. Ternyata dia adalah seorang wanita paruh baya yang berpakaian cukup sopan. Dia mengenalkan Rima pada beberapa brand busana yang biasa mengontrak mode dari pihaknya, kebanyakan busana dari para brand-brand itu adalah busana berjenis kasual, feminim dan tomboy yang kebanyakan cukup tertutup. Sangat berbeda dengan brand busana yang dikenalkan oleh agensi Rima sebelumnya yang kebanyakan menawarkan brand busana terbuka dan pemotretan untuk majalah dengan busana sexy. Hanya satu jam mereka berbicara, dan setelah itu pula, Rima langsung menerima tawarannya. Dia tidak ingin melewatkan peluang di depannya ataupun menyia-nyiakan usaha dari Rayhan. "Dia sangat cantik. Pasti hasil pemotretannya akan bagus," Ujar si wanita, tersenyum memuji Rima. "Jangan memujinya, nyonya. Atau hidungnya akan terlepas dari tempatnya dan terbang!" Timpal Rayhan seraya tertawa bersama wanita itu. Sementara Rima mencubit lengan Rayhan dengan gemas. "Baiklah, aku menunggumu hari senin ya," "Siap, terima kasih banyak," Wanita itu segera pamit, meninggalkan Rima dan Rayhan di restoran. "Terima kasih banyak Rey. Kau yang terbaik!" Rima melompat ke arah Rayhan dan mencium pipinya, dia lupa bahwa mereka sedang berada di tempat umum, sehingga beberapa orang menoleh pada mereka, di antara mereka juga ada yang berusaha menahan tawa karena melihat kelakuan gadis itu. "Aku lupa kita sedang di restoran..." Rima tertawa cekikikan melihat mata Rayhan yang terbelalak kaget karena ciuman darinya dan wajah yang memerah. Rayhan hanya tersenyum dengan wajah tersipu, seraya memegang pipinya, "Tidak apa-apa, aku suka " *** Rima pulang pada pukul 17.01 sore. Sebenarnya dia malas pulang karena ini hari minggu, dia pasti harus bertemu dengan Antoni, si suami palsunya lebih lama. Dia lebih suka jika menghabiskan waktu lebih banyak bersama Rayhan. Tetapi, perubahan sikap Antoni padanya, menurutnya terasa lebih baik dari sebelumnya. Lebih acuh dan tidak cerewet. Karena biasanya Rima akan mendengar ocehan dan pertanyaan ala wartawan dari Antoni, jika sehabis pulang berpergian. Namun, ketika dia masuk ke rumah, lampu-lampu masih belum menyala. Apa dia keluar? Batinnya. Lalu beranjak melangkah menuju teras. Baru saja dia hendak membuka pintu, terdengar suara motor dari arah belakang yang membuat dia menoleh. Ternyata itu Antoni, dia juga baru pulang entah darimana. Karena Rima tidak sadar bahwa dia tertegun terlalu lama, maka dengan cepat Antoni sudah berjalan ke arahnya, hendak masuk juga. Namun laki-laki itu hanya diam, tanpa berbicara sepatah katapun, ataupun bertanya tentang darimana Rima. Dia berdiri di belakang Rima, menunggu gadis itu membuka pintu, lalu setelah pintu terbuka, dia masuk dengan cepat, dan berjalan menuju kamarnya. Rima hanya mengerutkan dahi melihat tingkahnya barusan. Dia sudah menebak bahwa Antoni memang sedang marah padanya. Tetapi, kenapa dia harus peduli? Namun, ada perasaan aneh ketika itu. Perasaan ketika laki-laki itu benar-benar acuh. "Akh!" Dia mengibaskan tangannya dan menghembuskan napas dengan kasar, berusaha mengusir pikiran-pikiran dan perasaan aneh yang berseliweran, lalu segera menuju kamar tidur untuk kemudian pergi membersihkan diri. Rima kembali bertemu di dapur saat ingin membuat menu makan malam, tetapi Antoni tetap tidak bicara padanya. Bahkan dia ingat kapan terakhir Antoni berbicara padanya, yaitu sekitar enam hari yang lalu. Antoni sedang mencuci gelas saat itu dan Rima hendak mengambil piring di rak yang jaraknya dekat wastafel tempat Antoni mencuci. Dengan terpaksa Rima harus mrngambil piring dengan cepat, tetapi ketika sedang melakukan tujuannya, tiba-tiba air keran dari wastafel itu sedikit menciprati wajah dan tangannya, membuat dia kaget. "Aduh! Kau ini apa-apaan sih?!" Ujar Rima dengan jengkel. Antoni hanya menoleh tanpa bersuara, lalu meneruskan kegiatannya. Hal tersebut justru membuat Rima naik darah. "Kenapa kau diam saja?! Kau bisu?!" Teriak Rima dengan kesalnya. Antoni tidak menanggapi, dia sedang mengeringkan tangannya dengan serbet kecil. Rima yang sudah terbakar emosi pun, menghentakkan kaki seraya berjalan cepat ke arahnya, mendekat lalu memaki lagi, "APA KAU BISU?!" Usahanya berhasil, karena sekarang Antoni sedang membalikkan badan secara perlahan, lalu menatapnya dengan air muka yang datar. "Apalagi? Begini lebih baik kan? Jika aku tidak berbicara padamu?" Ujarnya, dengan nada suara yang sama datarnya. "Tapi tadi kau melakukan kesalahan! Kenapa diam saja?! Aneh se-" "Kau bilang aku pengganggu kan?" Antoni mencondongkan tubuhnya ke arah Rima, "Jadi aku memilih diam saja, tidak perlu berbicara padamu ataupun peduli padamu, anggap saja kau tidak bisa melihatku dan aku tidak melihatmu! Okey, nona?" Mata Rima melotot sejak tadi karena kesalnya. "Kau itu-" Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil dari halaman depan yang membuat Rima tidak meneruskan ucapannya. Sebaliknya, dia terdiam menatap antoni beberapa saat karena mereka menyadari siapa yang datang, yaitu bu Ana. Rima lalu membuang pandangan ke arah lain, seraya menghembuskan napas dengan kesal. Ini sungguh merepotkan baginya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN