Apa kita bisa menjadi teman?
Masa liburan sekolah telah usai. Harusnya Rere menikmati hari pertama sekolahnya ini dengan bersemangat. Mengingat jauh-jauh hari dia sudah gencar mempersiapkan keperluan sekolahnya untuk menyambut semester baru ini, tetapi apa yang sudah terjadi membuat Rere masih belum bisa berpikir jernih. Segala sesuatu tentang Raka dan Airin masih menggerayangi pikirannya.
Yang Rere tidak mengerti adalah Airin sama sekali tidak menceritakan tentang apa yang dilakukan oleh Raka padanya di hari itu. Selain itu Airin diam-diam juga sering berkirim pesan dengan Raka. Rere mengetahuinya saat tak sengaja melihat handphone Airin saat dia sedang ke kamar mandi.
“Raka itu ternyata baik ya, selama ini aku menyangka kalau dia itu bener-bener jahat. Tapi ternyata Raka nggak seperti yang aku pikirkan selama ini.”
Perkataan Airin tempo hari masih terngiang-ngiang di telinga Rere. Entah kenapa senyuman Airin saat bercerita tentang Raka membuat hatinya meringis. Rere tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa saat ini dia mulai tidak senang melihat Airin yang semakin dekat dengan Raka.
“Re... Kamu nggak pulang?” suara Adit membuyarkan lamunan Rere.
Rere tersadar dan menatap ke sekelilingnya. “S-sejak kapan kelas ini udah kosong?”
Adit hanya tersenyum kecut. Dia sudah tahu penyebab Rere menjadi seperti itu. Adit berjalan pelan mendekati Rere kemudian duduk di sampingnya sambil menghela napas panjang.
“Lo nggak bisa nyalahin siapa-siapa... Karena semua ini terjadi karena ulah lo sendiri,” ucap Adit.
Rere tersenyum tipis. “Gue tau kok, Dit.”
“Terus kenapa lo masih murung?”
“Gue Cuma—”
“Apa sekarang lo cemburu ngelihat mereka berdua menjadi lebih dekat?” Adit kembali bertanya sebelum Rere sempat menjawab.
“Udah ah, gue lagi males ngebahas itu. Kita pulang sekarang, yuk,” kilah Rere.
“Hmm....” Adit hanya merespon singkat dan juga bangun dari duduknya menyusul Rere yang sudah duluan melangkah.
_
Setiba di rumahnya, Rere terkejut melihat Raka dan Airin yang sedang mengobrol di depan teras rumah Rere. Airin langsung melambaikan tangan padanya, sementara Raka hanya tersenyum kecut kemudian langsung membuang muka.
“Rere...!” pekik Airin.
Rere hanya tersenyum kemudian menghampiri mereka berdua dengan langkah ragu.
“Kamu pulangnya lama banget sih, Re,” ucap Airin.
“Eh iya, tadi gue mampir dulu ke toko buku bareng Adit,” jawab Rere.
Raka tergelak sebentar, kemudian menatap Rere penuh sangsi. "Elo pergi ke toko buku?"
Rere hanya tersenyum, lalu menyembunyikan sebuah buku yang ada digenggamannya ke belakang punggung.
“A-ada apa?” Rere beralih menatap Airin.
“Nggak ada apa-apa. Aku cuma pengen main ke sini aja. Tapi ternyata kamunya belum pulang sekolah... Pas aku mau pulang, eh ada Raka dateng nyamperin aku,” jawab Airin.
“Hmm... Begitu.” Rere mengangguk tanda mengerti.
Rere mendadak linglung dan tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya, ementara Airin dan Raka kini saling pandang kemudian mengangguk pelan. Rere pun memangkap reaksi tidak biasa itu dan menatap keduanya secara bergantian dengan alis bertaut.
“A-ada apa, Rin?” tanya Rere.
“J-jadi gini Re...” Airin terlihat ragu untuk berbicara.
“Apa?” Rere menatapnya lekat-lekat.
“Sepertinya aku mutusin buat kembali dekat sama Raka... nggak apa-apa, kan?"
Hening.
Rere merasa separuh jiwanya melayang meninggalkan raga. Airin masih berucap panjang lebar, tetapi telinga Rere mendadak tuli dan tidak lagi mendengar suara Airin. Rere benar-benar syok dan tidak mengerti. Kalimat Airin barusan seakan memojokkannya. Seolah Rere adalah hambatan bagi hubungan mereka berdua.
“Kok lo diem?” sergah Raka.
“Eh... I-iya,” jawab Rere.
“Gue nggak bakalan jahatin Airin, kok. Jadi lo nggak usah khawatir.” Raka berkata serius.
“G-gue—” Rere berucap terpatah-patah.
“Gue ngerti lo mungkin khawatir gue bakalan nyakitin Airin... Tapi gue janji sama lo, gue bakalan ngejaga dia baik-baik. Gue juga sebenernya dilema saat tau kalau Airin itu adalah sahabat deket lo. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi... nggak salahnya kan?”
Rere hanya mengangguk pelan dengan d**a yang sudah bergemuruh.
“Gue pikir karena Airin kedepannya kita bakalan sering bertemu dan bersama-sama. Gue harap kita bisa ngelupain apa yang udah terjadi di masa lalu dan memulai lembaran baru sebagai teman.” Raka mengulurkan tangannya.
Perasaan Rere buncah melihat Raka yang tersenyum. Kemudian tatapannya beralih ke tangan Raka yang masih mengawang. Rere pun menjabat tangan itu dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Hangatnya tangan Raka membuat pupil matanya bergetar. Dia menatap Airin yang kini hanya menunduk. Bola mata Rere sudah terasa panas. Dia segera menarik tangannya dan berusaha menahan air matanya yang hampir menetes.
“Oke... Nggak masalah, kok. Gue masuk dulu ya, kebelet nih.” Rere buru-buru masuk ke dalam rumah dan menutup langsung menutup pintu itu rapat-rapat.
Dia menyandarkan tubuhnya ke pintu itu sambil memejamkan mata sejenak. Tidak lama kemudian bahunya mulai bergetar siiringi suara isak tangisnya yang tidak bisa dibendung lagi. Rere menangis sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Tidak pernah sedikit pun terlintas di benaknya bahwa semua akan menjadi seperti ini. Semuanya semakin rumit dan membuat hatinya kian terbelit.
Rere beranjak ke kamar dan segera merebahkan tubuhnya. Tiba-tiba handphone di dalam tasnya berdering. Rere mengernyit setelah menatap layar handphone-nya itu. Ada sebuah pesan masuk dan itu dari Airin. Rere pun kembali duduk dan membuka pesan itu dengan perasaan was-was. Bibirnya pun bergetar saat membaca pesan yang menyesakkan dadanya itu.
Maafin aku Re...
Aku tahu kamu terkejut. Aku tahu kamu membenci ini...
Tapi aku juga ingin merasa bahagia walau hanya sebentar saja...
_
Bersambung...