Adit masih menatap Rere dengan tatapan tajamnya. "Lo itu bener-bener udah gila, Re... Sekarang lo malah ngelibatin Airin?"
“G-gue—”
“Gue bener-bener nggak ngerti sama isi kepala lo itu.” potong Adit.
Adit menjadi gelisah dan terus melangkah mondar mandir sambil menarik rambutnya sendiri.
“Maafin gue, Dit.”
“Diem...!" bentak Adit.” Lo tau sendiri kan, Airin itu orangnya kayak gimana? Dia itu selalu kikuk dan mudah baperan... sekarang lo malah nyuruh dia ngegantiin lo buat nemuin si b*****t Raka itu,” berang Adit.
Rere tidak lagi menjawab. Dia tertunduk dengan air mata yang tidak berhenti menetes. Keduanya kini terdiam dan tak lagi bersuara. Hanya terdengar suara isak tangis rere yang sesekali samar-samar terdengar.
Raka menatap Rere lekat-lekat. Rasa marah dan kasihan kini bercampur aduk di hatinya. Adit menghela napas panjang, kemudian melangkah pergi. Menyadari hal itu, Rere pun juga bangun dari duduknya.
“Lo mau ke mana, Dit?”
“ngejemput Airin,” jawab Adit.
“T-tapi, Dit....” Rere mencoba mencegah Adit.
“Lepasin gue!” Adit menatap tangan Rere yang kini memegangi lengannya.
“Gue ikut!” ucap Rere.
Adit tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam mobil diikuti oleh Rere yang sengaja duduk di bangku belakang. Adit memacu mobilnya dengan sangat kenjang menuju lokasi kafe tempat Raka dan Airin berada. Sepanjang perjalanan Rere hanya bisa menahan napas sambil berpegangan erat pada sabuk pengamannya.
Setelah memarkir mobilnya dengan tergesa-gesa. Adit pun bergegas keluar, sementara Rere hanya mengikutinya dengan langkah gontai. Rere benar-benar merasa bersalah saat ini. Dia terus melangkah dengan kepala tertunduk hingga tidak sadar ada Adit yang kini berdiri di hadapannya.
“K-kenapa?” tanya Rere setelah menabrak Adit yang berdiri mematung di hadapannya.
“Lebih baik kita pergi aja,” ucap Adit dengan wajah gelisah.
Rere mengernyitkan dahinya. Sikap Adit tiba-tiba berubah 180 derajat. Rere berusaha melongokkan wajahnya untuk melihat ke belakang punggung Adit, namun Adit juga langsung menggeser badannya untuk menghalanginya.
“Ayo kita pergi dari sini!” Adit segera meraih tangan Rere.
“Lo kenapa, sih?” Rere menatap heran kemudian menepis tangan itu.
Adit terus berusaha menghalangi langkah Rere. Namun tatapan tajam Rere membuat Adit mengalah dan membiarkan Rere melihat apa yang sedang di sembunyikannya. Adit hanya bisa menghela napas sambil memejamkan matanya, sementara Rere kini terpana melihat sosok Raka yang sedang memeluk Airin dengan erat di depan sana.
_
Rere turun dari mobil dengan mata yang masih sembab. Matahari sudah terbenam sepenuhnya. Di saat baru hendak melangkahkan kakinya ke dalam rumah, Rere melihat Raka dan Airin yang juga baru datang dengan sepeda motornya. Melihat hal itu Adit pun juga turun dari mobilnya.
“Rere!” Airin segera berlari menghampiri Rere.
“Oh... Lo baru nyampe?” tanya Rere.
“I-iya aku pengen singgah dan ngomong dulu sama kamu sebentar,” ucap Airin.
“Udah malem... mendingan sekarang lo pulang bareng gue aja,” sergah Adit.
Mendengar perkataan Adit, Raka yang dari tadi agak menjaga jarak, kini melangkah lebih dekat menghampiri mereka bertiga.
“Lo temenan juga sama dia?” Raka menatap Airin sambil menatap Adit dengan mengangkat dagunya.
“Mereka berdua itu sahabat gue,” jawab Adit.
Rere dan Airin saling pandang dan tidak bisa berkata apa-apa.
“Hahahah... Serius? Apa bisa laki-laki dan perempun itu menjadi sahabat?” Raka tertawa pelan.
Adit terdiam sebentar sebelum akhirnya bisa menguasai dirinya kembali. “Kenapa? Lo nggak suka?” bentak Adit.
“Ohoho... nyantai Bro. Jangan ngegas gitu dong.” Raka masih meledek Adit yang kini sudah menahan amarahnya.
“Ayuk Rin... Gue anter lo pulang.” Adit segera meraih tangan Airin, tapi secepat itu juga Raka ikut meraih tangannya.
Airin pun termangu melihat ketiga tangan yang kini saling bertaut itu. Rere yang berdiri tepat di depan mereka bertiga juga tidak kalah kagetnya, sementara Adit dan Raka kini saling tatap dengan pandangan sengit.
“Biar gue yang nganterin Airin,” ucap Raka.
“Emangnya lo itu siapa?” sergah Adit.
“Gue itu—”
“Re... Gue sama Airin pulang dulu, ya. Nanti kalo lo belum tidur gue bakalan nelpon lo sebentar.” Adit memotong pembicaraan Raka dan beralih menatap Rere.
“Ooh... I-iya,” jawab Rere.
Adit pun segera membawa Airin pergi dari sana. Rere pun masih termangu dengan apa yang baru saja terjadi. Untuk sejenak dia bahkan lupa bahwa masih ada sosok Raka yang berdiri menatapnya.
“G-gue masuk dulu,” ucap Rere kemudian.
“Tunggu!” Raka berucap pelan.
“A-ada apa?” Rere kembali balik badan.
Raka melangkah lebih dekat menatap wajah Rere. Hal itu pun membuat Rere gugup dan langsung mengalihkan pandangannya disertai dengan kaki yang reflek melangkah mundur.
“Lo nangis, ya?” tanya Raka.
Rere tersentak. “Nangis? Siapa yang nangis coba,” elak Rere.
“Terus kenapa mata lo bengkak kayak gitu?”
“I-ini karena gue sama Adit abis main di pantai... Angin di sana itu tadi kencang banget,” jawab Rere.
“Jadi lo ke pantai sama dia?” Raka mengangguk pelan.
“I-iya. Ya udah... gue masuk dulu.” Rere sudah tidak tahan ingin segera pergi dari sana.
Raka mengangguk pelan dan juga memutar tubuhnya, tetapi baru beberapa langkah berjalan, Raka kembali berbalik. “Apa lo suka sama Adit?”
Pertanyaan itu membuat langkah Rere terhenti.
"Kenapa lo diem?" desak Raka.
“Emangnya kenapa?” Rere menatap Raka lekat-lekat.
“Gue cuma mau mastiin aja... Adit kan, udah pernah nembak lo... Dia juga selalu baik sama lo. Kenapa lo nggak terima aja dia sebagai pacar lo?” tanya Raka.
Rere mengernyitkan dahinya. “Tujuan lo apa ngomong kayak gitu?”
“Gue nggak suka aja ngeliat sikap si Adit barusan. Gue nggak mau dia menjadi penghalang hubungan gue sama Airin,” jawab Raka.
Deg.
Rere tersentak. Hatinya sempat merajut harap. Dia hampir kembali salah menyangka. Rere hampir saja salah menduga. Dia sempat berpikir bahwa Raka bertanya seperti itu karena Raka merasa cemburu dan masih memiliki sedikit perasaan yang tersisa untuknya. Dia bahkan tidak sadar bahwa air matanya sudah menitik pelan.
“Re... Lo kenapa?” Raka menatap heran.
“Gue masuk dulu!”
“Tapi kenapa lo nang—”
Pertanyaan Raka terhenti. Rere tidak lagi menggubris pertanyaannya dan segera berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan Raka yang kini termangu dengan sejuta pertanyaan yang bergelayut di benaknya.
_
Bersambung...