Hati Yang Meragu
“Emangnya kita bakalan pergi ke mana sih, Dit?” Rere kesulitan membantu Adit menaikkan sebuah ban serap ke dalam bagasi mobil.
“Ke villa gue,” jawab Adit.
Kedua mata Rere membulat. “Serius?”
“Iya.”
“Terakhir kali lo bilang sama gue kalo lo nggak bakalan ngajakin gue ke sana lagi,” sindir Rere.
Adit menghela napas sambil menutup bagasi mobiknya. “Itu karena lo norak... Pecicilan ke sana ke mari, heboh sendiri, tiap sebentar nyemplung ke kolam renang,” jawab Adit.
Rere yang tersentil pun kini tertunduk dengan wajah memerah. “Gue cuma kagum aja kali... Ya maaf kalau gue norak.”
Adit tersenyum geli melihat Rere yang kini merajuk. Dia melangkah mendekati Rere, lalu juga menundukkan dan memiringkan wajahnya untuk melihat wajah Rere.
“Lo jelek kalo lagi ngambek,” ucap Adit.
Napas Rere pun tertahan karena wajah Adit begitu dekat dengannya.
“Semua barang-barang yang tadi udah dimasukin, kan?” Adit menarik wajahnya kembali.
“U-udah,” jawab Rere.
Adit beralih menatap arlojinya. “Tapi si Airin kenapa belum nongol juga, sih?”
Rere menelan ludah dan menatap heran. “A-Airin?”
Adit pun menangkap reaksi Rere yang sedikir terkejut itu. “Iya... Gue juga ngajak Airin... Nggak apa-apa, kan?”
Rere terdiam sebentar. Setelah beberapa saat kemudian barulah dia menjawab. “Ah... O nggak apa-apa kok.”
“Hai...!!!” suara Airin tiba-tiba terdengar nyaring.
“Panjang umur tuh anak,” ucap Adit.
Adit dan Rere kompak menoleh pada Airin yang kini menyeringai lebar, namun kemudian tatapan keduanya terpaku pada sosok Raka yang ada di sebelahnya.
“R-Raka....” Rere bergumam pelan.
Adit pun menelan ludah, kemudian melangkah lambat menghampiri Airin dan Raka.
“Halo Bro,” sapa Raka dengan santai.
Adit tidak menjawab dan beralih menatap Airin. Sorot matanya membuat Airin langsung bersuara.
“M-maaf ya, Dit... Tapi nggak apa-apa kan, kalo aku juga ngajak Raka?”
Adit memejamkan matanya sejenak. Dia berusaha menahan diri. Padahal tujuannya mengajak Rere dan Airin adalah untuk memperbaiki hubungun pershabatan mereka bertiga.
“Gimana, Dit?” tanya Airin.
Adit tidak menjawab dan beralih menatap Rere yang sudah bersembunyi di belakang punggungnya.
“Gimana, Re?” tanya Adit.
“Jadi Rere ketua geng kalian?” Raka tiba-tiba saja ikut menyela. “Gue boleh ikutan gabung kan, Re...? Kita kan, sekarang udah jadi temen.”
Rere terhenyak dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Setelah cukup lama terdiam, barulah dia mengangkat wajahnya dan tersenyum menatap Raka.
“Ikut aja! buat gue nggak masalah, kok,” jawab Rere.
_
Mobil mulai melaju menuju villa milik keluarga Adit yang terletak di pinggiran kota. Rere duduk di bangku depan bersama Adit. Sementara Airin dan Raka duduk di bangku belakang.
“Ahahaha kamu ini apaan, sih?” Airin kembali tertawa setelah Raka memperlihatkan sesuatu di handphone-nya.
“Lah... Katanya tadi lo nggak bakalan ketawa,” sergah Raka.
Keduanya terus bercanda dan asik mengobrol. Hanya suara Raka dan Airin yang terdengar. Sementara Adit dan Rere diam membisu. Rere hanya menatap Airin dan Raka dari pantulan kaca di depannya. Raut wajahnya berubah murung. Rere pun membuka kaca jendela mobil dan membiarkan angin menerpa wajahnya.
“Nanti lo bisa masuk angin, Re,” ucap Adit.
“Nggak apa-apa kok,” jawab Rere.
Obrolan singkat itu ternyata ampuh untuk membuat Raka dan Airin terdiam. Airin dan Raka sama-sama terpaku melihat pemandangan di depan mata mereka. Adit melepas jaket levisnya, kemudian memberikannya pada Rere. Tidak hanya itu saja, Adit juga mengatur kursi Rere agar dia bisa beristirahat dengan nyaman.
“Kalo ngantuk sebaiknya lo tidur aja,” ucap Adit.
Rere hanya mengangguk pelan dan kembali menatap pemandangan di luar kaca jendela mobil.
“Kalian udah berteman sejak kapan?” pertanyaan Raka membuat Rere kembali membuka matanya.
“Udah dari bayi,” jawab Adit ketus.
“Pantes.” Raka mengangguk pelan.
“Mereka itu beneran sahabat yang solid, ya,” timpal Airin. “Aku selalu iri sama kedekatan mereka berdua,” lanjutnya.
“Maksud lo apa Rin, ngomong kayak gitu?” sergah Adit sambil menatap Airin melalui pantulan kaca di depannya.
“Yah... Gimana ya, maksudnya jarang ada temen cowok yang perhatian seperti itu sama temen ceweknya,” jawab Airin.
“Perlakuan gue ke Rere sama ke elo kurang lebih sama,”bantah Adit.
“BEDA!” Suara Airin sedikit meninggi.
Adit langsung menginjak pedal remnya sehingga membuat semua yang ada di mobil itu terkejut. Adit mendesah pendek, kemudian menatap Airin dengan mata tajam. Sementara Raka yang duduk di sampingnya juga terdiam menatap Airin dan Adit secara bergantian.
“Please Rin... Kita udah pernah ngebahas ini, oke,” ucap Adit pelan.
“A-ada apa sih, Dit?” Rere pun tidak mengerti dengan situasi itu.
Adit tidak menjawab dan kembali memacu mobilnya. Suasana pun berubah canggung. Tidak ada lagi satu pun yang bersuara. Langit di luar sana juga mulai mendung hingga kemudian menjatuhkan rintik-rintik hujan secara perlahan.
Raka tersenyum menatap tetesan hujan di luar kaca jendela. Tepat di depannya, Rere kini juga sedang melakukan hal yang sama.
“Kenapa harus hujan, sih,” dengus Airin sebal.
Raka pun tersentak mendengar perkataan Airin. Bibirnya mulai terbuka hendak bersuara, namun tiba-tiba Rere menoleh ke belakang menatap Airin, kemudian tersenyum pelan. “Emangnya apa yang salah dengan hujan? Buat gue hujan itu menenangkan dan bisa menghanyutkan perasaan gundah,” ucap Rere.
Kedua mata Raka bergetar mendengar kalimat itu. Sebuah perasaan aneh segera menyergap dirinya. Raka menatap Rere dalam-dalam. Mata gadis penyuka hujan itu kini terlihat berbinar. Sudut bibirnya terus terangkat. Raut wajah Rere benar-benar menyiratkan betapa dia menyukai hujan.
_
“Apa sebaiknya kita berhenti dulu buat nyari makan?” suara Rere memecah keheningan.
“Oke,” jawab Adit.
Adit pun melihat keadaan sekitarnya mencari tempat untuk makan dan beristirahat.
“Itu ada yang jual sate kacang.” tunjuk Airin. “Kita makan sate kacang aja, kamu suka sate kacang, kan?” tanya Airin pada Raka.
Raka tergagap. “G-gue—”
“Kita makan yang lain aja.” Rere langsung menyela.
“Kenapa Re...? Biasanya lo kan, paling suka sate kacang.” Adit menatap heran.
“G-gue... Ooo... Pencernaan gue agak bermasalah sekarang,” jawab Rere.
“Ya udah deh, kita makan yang lain aja.” Airin mengangguk setuju.
Rere tersenyum senang. Sebelum memutar kepalanya kembali, Rere sempat menatap Raka. Rere pun terkejut karena tatapan Raka padanya terlihat berbeda. Rere segera memalingkan wajahnya, lalu menatap lurus ke depan dengan jantung yang kini berdegup kencang.
“Padahal sate kacang itu kan, enaaak.” Airin masih merajuk. “Iya kan?” Airin memanyunkan wajahnya pada Raka.
“Rin... Lo lupa ya?” tanya Raka perlahan.
“Apa?”
“Gue kan, alergi kacang.”
DEG.
Airin tersentak. Rere dan Adit yang duduk di depan juga kompak saling menahan napas.
“Oh iya... Astaga aku beneran lupa. Ya ampun belakangan ini aku emang mudah lupa,” kilah Airin dengan wajah yang sudah terasa panas.
“Padahal dulu kamu selalu wanti-wanti dan juga selalu memastikan makanan yang kita makan bebas kacang,” ucap Raka dengan tatapan yang malah mengarah pada Rere.
“Maafin aku ya, Raka,” ucap Airin lirih.
“Hmm... Iya, nggak apa-apa kok.”
Mobil pun kemudian berhenti di depan sebuah lesehan pinggir jalan yang menjual soto ayam. Adit dan Rere segera turun, lalu berlari-lari kecil menembus hujan.
Raka juga bergegas turun dan menunggu Airin di luar mobil, namun dia merasa heran karena Airin belum turun-turun juga. Raka membuka pintu mobil kembali dan melihat Airin yang sedang sibuk merogoh isi ranselnya.
“Rin... Kenapa belum turun?” tanya Raka.
“Aku nyari payung dulu bentar,” jawab Airin.
Raka menelan ludah. "Cuma gerimis kok," ucapnya.
“Kamu duluan aja... Aku nggak suka kebasahan karena hujan.”
Raka terhenyak dan menutup pintu mobil itu dengan perasaan kalut. Tatapannya beralih pada Rere dan Adit yang kini sedang bercanda di bawah hujan. Adit sengaja menghentakkan kakinya di genangan air sehingga membuat Rere terciprat genangan air itu. Tak mau kalah Rere pun langsung membalas dengan melakukan hal yang sama. Suara derai tawa keduanya terdengar nyaring. Saat ini Rere sedang berputar-putar sambil menengadahkan wajahnya menghadap langit.
"Udah mainnya... Ayo kita makan dulu!" Adit langsung menyeretnya masuk ke dalam kedai pinggir jalan itu.
Rere beralih menatap Raka yang tidak jauh di belakangnya. “Ayo...! Lo juga buruan masuk,” teriaknya.
Raka tidak menjawab. Dia termangu di tempatnya berdiri dengan lelehan air hujan yang mengalir di wajahnya. Seketika dia merasa terlempar ke dalam dimensi lain yang membuatnya merasa gelisah. Perlahan tangan Raka terangkat hendak memanggil Rere, tetapi tangan itu kembali turun setelah Raka menyadari bahwa hujan kini tak lagi menyentuhnya.
Raka beralih menatap Airin yang kini memayunginya. Gadis itu tersenyum lembut, kemudian melingkarkan tangannya di lengan Raka. "Yuk kita masuk," ucapnya pelan.
_
Bersambung...