Binar Mata Yang Berbeda
Raka mendesah kemudian meletakkan gitarnya. Dia beralih mengambil bola basket dan mulai memantul-mantulkannya perlahan. Tetapi beberapa detik kemudian Raka membiarkan bola itu berguling menjauhinya. Tatapannya beralih pada rumah Rere yang terlihat sepi. Raka menatap pintu rumah itu lekat-lekat, kemudian dia beranjak masuk ke dalam rumahnya.
Sudah beberapa hari ini Raka sering bergabung bersama tiga sekawan itu. Mereka banyak menghabiskan waktu untuk bermain dan berkumpul bersama. Selama itu juga Raka mulai terusik dengan sosok Rere. Entah kenapa dia merasa ada yang ganjil setiap kali melihat sikap Rere padanya. Rere terkesan begitu mengenalnya dengan baik. Dadanya terasa sesak setiap kali Rere melakukan hal-hal yang tidak terduga.
Seperti kemaren, Rere dengan sigap merampas es krim kacang sebelum sempat menyentuh bibirnya. Sikap Rere itu tentu membuat Raka tersentak. Meski Rere berdalih itu adalah es krim kesukaannya, namun Raka menangkap ada hal yang berbeda. Dia selalu merasa bahwa Rere sedang melindunginya.
Suara dering handphone membuat Raka tersadar dari lamunannya. Dia menjangkau handphone itu dan langsung tersenyum melihat nama yang tertera di layar handphone itu.
“Halo... Iya Rin, lo udah pulang praktek lapangannya?” tanya Raka.
“Hmmm... Iya nih aku baru aja pulang. Rasanya badan aku remuk semua,” jawab Airin dengan suara lesu.
“Ya udah sebaiknya lo sekarang mandi, makan malam, terus langsung istirahat okey,” ucap Raka.
“Hmm... Maafin aku ya, Raka.” suara Airin terdengar lirih.
“Buat apa?” tanya Raka.
“Karena aku nggak bisa pergi nonton sama kamu malam ini,” jawab Airin
Raka tertawa pelan. “Nggak apa-apa kok.”
“Sekali lagi maaf ya... I love you...”
Raka tertegun dan tidak langsung membalas.
“Halo... Raka?”
“Rin...” panggil Raka pelan.
“Iya, ada apa?”
“Gue pengen manggil lo lagi dengan nama Putri.”
“Eh... Tapi kenapa tiba-tiba?” nada suara Airin sedikit terkejut.
Raka menelan ludah. “Gue rindu aja sama Putri,” jawab Raka.
“Ya udah... Kalo gitu aku akan jadi Putri lagi.”
Raka tersenyum. “I love you, Put.”
“I love you too...”
“Night...”
“Night...”
_
Raka menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 08.00 malam. Tangannnya masih memegang dua lembar tiket bioskop yang sudah dipesannya tadi siang.
“Apa gue pergi sendiri aja?” gumamnya pelan.
Setelah meragu beberapa saat, Raka pun mengambil jaket kulitnya. Malam ini dia merasa suntuk dan butuh hiburan. Raka memakai topinya, kemudian mengambil kunci motor yang tergantung di dinding. Dia melangkah dengan tergesa-gesa agar tidak terlambat masuk ke bioskop.
Langkah Raka terhenti disaat dia melihat Rere yang juga baru saja keluar dari rumahnya. Rere pun juga melihat ke arah Raka dan langsung mengalihkan pandangannya. Rere bermaksud kembali masuk ke dalam rumah, namun Raka langsung menghardiknya.
“Lo mau ke mana?”
Rere berbalik pelan. Sementara Raka meletakkan helm-nya dan langsung menghampiri Rere dengan melompati pagar pembatas.
“Mau ke mana?” ulang Raka.
“Oo... G-gue mau ke mini market,” jawab Rere.
“Ya udah bareng gue aja.”
Rere terbelalak. “Nggak usah! Gue udah mesen gojek kok... Bentar lagi juga nyampe.”
“Batalin aja.”
Rere mulai berkeringat dingin. “Sebenernya gue itu nggak mau pergi ke mini market.”
“Terus ke mana? Tadi lo bilang mau ke mini market.”
Rere mengeluarkan sehelai tiket bioskop dari dalam saku jaketnya.
“Lo juga mau nonton film itu?” Raka berteriak histeris. “Kebetulan banget, gue juga udah beli tiket film itu.”
Rere terpana. Maksud hati ingin melarikan diri, malah sekarang dia semakin terjebak dan tidak bisa lari lagi.
“L-lo mau pergi nonton film ini juga?” tanya Rere.
“Iya.”
“Sama Airin?”
Raka menggeleng. “Dia nggak bisa ikut. Padahal gue udah beliin tiket buat dia.”
“Lo sendiri... Lo pergi sama Adit?”
“Adit nggak kebagian tiket. Film ini kan booming banget,” jawab Rere.
Tatapan Rere beralih pada dua lembar tiket yang ada di genggaman Raka. Rere mengulum senyum sebelum menjentikkan jarinya. “Kebetulan banget... Dari pada mubazir mending tiketnya suruh ganti aja sama Adit,” ucap Rere antusias sambil mengeluarkan handphone-nya untuk menghubungi Adit.
Raka menatap Rere perlahan, kemudian langsung menepis tangan Rere yang hendak mengirimi Adit sebuah pesan.
Rere pun tertegun melihat Raka yang kini mengambil dan mengantongi handphone miliknya.
“A-apa maksud lo?” tanya Rere.
“Kita nonton berdua aja.” Raka menatap Rere lekat-lekat.
Rere menelan ludah. Dia tidak sanggup berlama-lama menatap mata Raka. Hati Rere mulai bergemuruh dengan perasaan aneh yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya.
“T-tapi kayaknya kita bakalan telat deh... gue nggak jadi pergi deh.” Rere bermaksud untuk kabur ke dalam rumah, namun Raka langsung mencegat tangannya.
“Lo kenapa selalu ngehindarin gue?” tanya Raka.
Rere terdiam dengan sorot mata tertuju pada lengannya yang masih dipegangi oleh Raka
“Apaan sih!” Rere langsung menarik tangannya.
“Apa lo masih punya perasaan sama gue?”
Deg.
Pupil mata Rere bergetar mendengar pertanyaan itu. Sejenak dia membatu dengan napas tertahan. Hingga akhirnya Rere kembali bisa mengusai dirinya dan langsung menjitak kepala Raka dengan cukup kasar.
“Sembarangan lo kalo ngomong... Hahahaha.” Rere tertawa canggung.
“Kalo gitu nggak ada alasan buat lo nolak ajakan gue.”
“T-tapi—”
Rere hendak mengelak lagi, namun sorot tajam mata Raka membuat mulutnya mengatup rapat. Raka pun tersenyum tipis dan langsung membawa Rere pergi dengan menyeret tudung jaketnya.
_
Rere menikmati angin malam yang terasa sejuk di wajahnya. Di tatapnya punggung Raka yang kini sedang fokus menyetir sepeda motornya. Rere tersenyum pelan dengan perasaan yang berkecamuk. Dia melekatkan wajahnya ke punggung Raka perlahan, kemudian memejamkan matanya. Rere menghirup aroma tubuh Raka yang khas. Bagai terlempar ke masa lalu, tanpa sadar dia melingkarkan tangannya ke pinggang Raka.
Raka pun tersentak. Laju sepeda motornya sedikit meliuk-liuk. Rere pun tersadar dan langsung menarik tangannya kembali.
"M-maaf... Gue takut jatoh. Lo jangan ngebut dong," kilah Rere.
"Ooh... Oke." suara Raka ditelan bunyi desau angin.
Laju sepeda motor pun melambat. Rere menelan ludah dan menampar jidatnya sendiri karena sudah melakukan hal bodoh. Sedetik kemudian sorot matanya berubah sayu. Rere kembali dijerat rasa sesak yang kembali menyeruak. Memaksanya untuk mengoyak luka lama dan kembali merasakan pedihnya.
Bibir mudah berkata tidak. Ego mudah mengucap benci. Diri ini terus berkeyakinan bahwa segalanya telah berakhir. Semua sudah berbeda. Sudah melupa. Sudah merelakan. Sudah melepaskan. Tidak lagi sama. Tidak akan terulang dan tak akan kembali. Akan menghapus segala tentang kita, lalu menutup pintu hati.
Namun ternyata semua masih sama. Hati ini masih saja berdebar. Diri ini masih belum bisa merelakan. Khayal ini masih saja terus bermimpi tentang akhir yang indah untuk kita berdua....
Segala kenangan masa lalu masih saja menyapa dalam bilik rindu. Jangankan menatap wajahmu, mendengar namamu saja sudah membuat hati ini berdesir sejadi-jadinya. Memandangmu di kejauhan saja sudah membuat jiwa ini bergolak. Lalu bagaimana saat kita sedekat ini? Tanpa sekat yang membatasi. Berdua menembus malam yang terasa berbeda. Binar matamu masih saja menyentakkan jantung. Tutur katamu tetap saja menggetarkan diri yang rapuh ini.
Akhirnya diri ini pun tersadar bahwa.... hati ini memang masih milikmu sepenuhnya...
Raka....
“Re... Rere...!” Raka mengguncang bahu Rere yang masih melamun.
“Ah... I-iya.” Rere terkejut dan menyeka sisa air mata yang masih melekat di pipinya.
“Kita udah sampai.”
“Oh... Udah sampai, ya.” Rere terlihat kebingungan.
Raka menatap Rere perlahan. Kedua mata gadis itu masih memerah. Bulu mata lentiknya masih basah. “Lo nangis, Re?”
Rere tersentak. “Nangis? Ngapain gue nangis,” elak Rere.
“Terus kenapa ma—”
“Mata gue itu kelilipan debu... Lo itu bawa motornya ngebut banget tau nggak sih.” Rere langsung memotong pembicaraan dan mencoba bersikap santai.
Raka masih tertegun menatap Rere. Dia tahu Rere sedang berbohong. Diperhatikan gadis yang sedang melepaskan helmnya itu tanpa berkedip.
“Ini bukan pertama kalinya, Re...” ucap Raka pelan.
“M-maksud lo?”
“Ini bukan pertama kalinya lo tiba-tiba nangis kalo deket-deket sama gue.”
Rere menelan ludah. “Ah apaan sih... Perasaan lo aja kali,” elak Rere.
“Sebenernya gue sadar kalo lo diem-diem merhatiin gue. Saat kita main bareng, saat kita semua jalan bareng dan yang jadi pertanyaan di benak gue adalah.. Kenapa binar mata lo selalu terlihat beda saat menatap gue? setelah itu lo jadi murung dan kemudian nangis?”
Rere terdiam sebentar.
“Aduh Raka... Lo ngomong apa sih. Lo itu salah sangka. Waktu main itu gue nangis karena tangan gue keinjek Adit. Terus gue juga nangis gara-gara film yang kita tonton itu sedih. Terus juga gue nangis kare—”
“Oke! Mungkin emang gue yang salah sangka.” Raka tersenyum pelan diiringi helaan napasnya yang terdengar berat.
Rere pun menutup bibirnya yang masih menganga. Raka melangkah gontai meninggalkannya Rere yang masih terpaku. Hati Rere terasa pedih melihat Raka yang melangkah dengan wajah tertunduk di depan sana. Rere pun lekas menyusul dengan wajah ditekuk.
“Re...!” Raka tiba-tiba berbalik dan memanggil Rere yang berada cukup jauh di belakangnya.
“Apaaa?” jawab Rere setengah berteriak.
“Gue bakalan nunggu sampai lo siap untuk bercerita!”
Hening. Hanya suara desau angin yang terdengar pelan. Rere terpaku dengan mata melotot. Raka juga diam di tempatnya dengan napas yang kini memburu. Raka tersenyum lega seakan baru saja melepaskan beban yang sudah lama di tahannya. Rere pun terhenyak mendengar perkataan Raka yang menyentakkan jiwanya. Keduanya saling tatap dari jauhnya jarak yang kini membentang. Seolah saling menunggu entah siapa yang akan mengalah dan segera datang.
_
Bersambung …