Pesta Ulang Tahun
“Jadi malam ini kamu bakalan pergi ke pesta ulang tahunnya Raka?” tanya Airin.
“Iya,” jawab Rere.
“Terus buat apa kamu nyuruh aku ke sini?” Airin merasa jengkel karena ini adalah waktu baginya untuk tidur siang guna menjaga kualitas lemaknya yang sedikit itu agar tetap stabil.
“Gue butuh bantuan lo!” Rere memasang wajah sok imut.
“Bantu apa?”
“Oke... jadi hari ini lo bakalan berperan sebagai ibu peri yang bakal menyulap gue dari gadis biasa menjadi seorang putri yang cantik jelita,” jelas Rere.
Rere tersipu malu dan menyembunyikan wajah dibalik kedua telapak tangannya. Sementara Airin membeku dengan mulut terbuka. Rere mendesah pendek, senyum di wajahnya perlahan mengerut. Dia sadar bahwa otak Airin tidak mampu mencerna kata-katanya barusan.
“Lo nggak ngerti maksud omongan gue?” tanya Rere.
Hening.
Airin terdiam dengan mulut menganga lebar. Sedetik kemudian dia mulai menggeleng pelan. Rere meniup poninya lalu menatap Airin sambil berkacak pinggang.
“Beneran lo nggak paham maksud gue barusan?” tanya Rere lagi.
Airin menggeleng dengan raut wajah polos.
“Lo tau kan, kisah Cinderella?” tanya Rere lagi.
Lagi-lagi Airin menggeleng.
Rere mulai jengkel. “Masa sih, waktu kecil lo nggak pernah nonton film Cinderella?”
“Waktu kecil kan, kita Cuma nonton serial Power Rangers sama Ninja Hatori.” Jawab Airin.
Rere tergelak mendengar jawaban Airin. Sedetik kemudian tawa keduanya pecah. Rere segera merangkul sahabatnya itu dan menyeretnya pergi. Keduanya melangkah riang dengan suara tawa yang tak juga surut.
_
Kegiatan mereka dimulai dengan berburu pakaian pesta untuk dikenakan nanti. Airin begitu bersemangat memilihkan pakaian terbaik untuk Rere. Gelak tawa dan nyinyiran keras terdengar keras setiap kali Rere keluar dari bilik ganti. Sosok Rere yang selalu tampil Boyish memang terlihat konyol dalam balutan gaun yang feminim.
“Kalo yang ini gimana?” Rere kembali keluar dari bilik ganti untuk yang kesekian kalinya.
“Hello....” Rere kembali memanggil Airin yang kini terpana tak berkedip.
Tidak ada lagi derai tawa dan nyinyiran yang keluar. Airin menatap takjub melihat Rere yang kini terbungkus dalam Long dress warna merah dengan motif bunga mawar di lengannya.
“Gimana?” tanya Rere lagi.
“K-kamu kelihatan seperti perempuan,” jawab Airin.
Rere langsung mengayunkan tinjunya mendengar komentar itu.
“Kamu cantik banget pake gaun ini,” Airin mengelilingi Rere untuk melihat lebih jelas.
“Fix, jadi kita pilih yang ini aja?” tanya Rere.
Airin tersenyum dan mengangkat jempolnya.
_
Pesta ulang tahun Raka akan dimulai pukul 08.00 malam. Saat ini Rere sedang dirias oleh sosok ibu perinya. Bukan sebuah proses yang mudah, Airin sama sekali tidak ahli dalam menggunakan make up. Jemarinya tidak terbiasa memegang kuas dan pensil alis. Sama seperti Rere, jemarinya lebih bisa diandalkan untuk memegang balok dan parang.
“Gimana sih!” Rere mendengus saat Airin kembali menghapus riasan di wajahnya.
“Maaf tapi kayaknya kok nggak bagus ya,” patut Airin.
Sudah tidak terhitung berapa kali riasannya dihapus, dirias lagi dan dihapus lagi. Lantai kamar Rere bahkan sudah dipenuhi oleh tumpukan tisu yang menandakan gagalnya sang ibu peri dalam merias wajah.
“Apa sebaiknya kita ke salon aja?” Airin mulai putus asa.
“Nggak bakalan keburu lagi,” jawab Rere.
“Oke, kita ulangi lagi pelan-pelan,” ucap Airin sambil menyeka keringat di keningnya.
Waktu terus berjalan. Airin sibuk merias dengan ekspresi serius seperti Leonardo Da Vinci yang tengah melukis maha karyanya. Dia mengerahkan upaya terbaik mereka untuk mengcover Rere agar terlihat sempurna. Ritual panjang dan melelahkan itu selesai tepat 15 menit menjelang pukul 08.00 malam.
Rere menatap bayangannya di cermin sambil menelan ludah. Dia tidak percaya melihat bayangannya sendiri. Perlahan tatapannya beralih pada Airin yang tampak kelelahan. Ada linangan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Rere terharu dan tidak sanggup untuk berkata-kata.
“Apa sebaiknya kita coba lagi?” Airin berkata pelan.
Rere menghela napas sambil memejamkan mata sejenak.“nggak usah,”jawabnya.
Rere harusnya sadar bahwa Airin memang tidak bisa diandalkan. Dia menghela napas lalu melihat sekali lagi bayangannya di cermin. Lipstiknya menyebar melebihi garis bibirnya. Lelehan maskara terlihat seperti t**i lalat di bawah matanya. Lingkaran bulat berwarna merah di kedua pipinya membuatnya terlihat seperti pokemon. Tanpa bicara Rere segera menuju kamar mandi dan membasuh mukanya.
_
Airin melepas kepergian Rere dengan rambut raut cemas. Rere tidak lagi memedulikan penampilannya. Masih ada sisa-sisa make up yang belum bersih di wajahnya. Begitu melihat jarum jam, Rere langsung bergegas pergi memacu sepeda motor milik abangnya menuju rumah Raka. Dia bahkan tidak mendengarkan peringatan Airin untuk menarik gaunnya agar tidak kotor.
“Semoga dia baik-baik aja,” bisik Airin.
_
Rere akhirnya sampai di sebuah rumah yang besar dan mewah. Dengan langkah canggung dia mulai masuk ke sana. Kehadirannya langsung menarik perhatian. Puluhan mata kini menatapnya sinis disertai bisikan dan gelak tawa. Penampilannya benar-benar menggelikan. Rambut keritingnya semakin terlihat buruk setelah di terpa angin. Bagian bawah gaunnya juga kotor terkena percikan lumpur. Rere merasa malu dan berniat pergi, namun sebelum berbalik sebuah suara memanggilnya.
“Rere ...!” Raka langsung berlari mendekat.
Rere menundukkan wajah, dia merasa malu memperlihatkan wajahnya.
“Lo keliatan cantik malam ini,” puji Raka.
Bagai sebuah mantera sihir, ucapan Raka membuat kadar percaya diri Rere kembali muncul bahkan meluap-luap. Dia merasa senang dan bangga dengan pujian itu. Sorot mata yang masih mencibirnya tidak lagi membuatnya merasa terganggu. Raka langsung menuntunnya untuk duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya.
“Lo tunggu di sini sebentar ya,” ucap Raka.
Rere mengangguk pelan.
Malam ini Raka terlihat semakin tampan dalam balutan jas formal warna hijau tosca yang membuat dia kian bersinar. Saat ini Raka tengah berdiri di panggung untuk menyambut semua tamu undangan yang sudah berkenan datang. Pesta ulang tahunnya dihadiri oleh kumpulan siswa paling hits di sekolah. Hanya mereka yang memenuhi kualifikasi yang mendapatkan undangan untuk hadir di pesta ini.
“Oke, sebelumnya gue bilang makasih dulu karena lo semua udah berkenan hadir di pesta ulang tahun gue ini,” Raka menyapa dengan suara khasnya.
“By the way, pesta ulang tahun kali ini terasa lebih spesial karena gue udah menemukan sosok yang selama ini gue cari,” ucapnya.
Sorak sorai dan suara siulan langsung terdengar bersahutan.
“Ini serius!” Raka tersenyum lembut. Tatapannya beralih pada Rere yang kini tersipu malu. “Sejak ada dia, hidup gue terasa lebih berwarna dan jujur ... gue sangat sayang dan takut kehilangan dia.”
Rere tertegun mendengar kalimat itu. Dia tertunduk dengan perasaan buncah. Rere tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya malam ini.
Baiklah, tanpa basa basi lagi gue akan mengundangnya untuk naik ke panggung ini.” Raka menganggukkan kepalanya pada Rere mengisyaratkannya untuk maju ke depan.
“Beri tepuk tangan yang meriah, buat wanita pujaan hati gue ...”
Rere perlahan bangkit dari kursinya.
“SOFIA ...!”
Rere terkesiap mendengar nama itu. Seorang gadis berbalut busana berwarna senada dengan pakaian Raka maju ke depan. Sementara Rere masih berdiri di tempatnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Dia merasa bingung dan masih belum mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.
“Lo kenapa ikutan berdiri?” Raka kembali bersuara dan melihat ke arah Rere.
“Wuuuuu huuuuuu ...!!!”
Semua tamu undangan kini tertawa dan menyorakinya. Sambil menahan malu Rere kembali duduk. Tungkai kakinya melemah, sekujur tubuhnya kini terasa panas. Rere meremas jemarinya kuat-kuat. Saat ini perasaannya mulai terasa tidak enak.
“Kalian semua pasti pernah mendengar kalimat, lelaki yang baik hanya untuk wanita baik... begitu pula sebaliknya. So, kita berdua serasi bukan?” Raka menggenggam tangan gadis bernama Sofia itu.
Pertanyaan Raka langsung disambut tepuk tangan meriah. Siulan dan teriakan dukungan terdengar bersahutan. Rere menatap Raka lekat-lekat. Hatinya kini terasa bagai tercabik-cabik. Sementara di depan sana Raka balas menatapnya dengan tersenyum sinis. Tidak ada lagi senyuman manis. Tidak ada lagi tatapan teduh. Raka terlihat berbeda 180 saat ini.
“Hey tukang palak! Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu? Lo marah?” Raka kembali berbicara sambil berjalan turun dari panggung.
Air mata Rere mulai menetes.
Saat ini Raka sudah berdiri tepat di hadapannya. Kemudian dia meraih tangan Rere dengan kasar, lalu memaksanya untuk berdiri.
“Lo semua pasti kenal siapa dia?” tanya Raka lagi, masih dengan microfonnya.
“Siapa dia ...?”
“BIANG KEROK ...!”
“Sekali lagi, siapa dia?”
“BIAAANG KEROOOOK ...!”
Suara gelak tawa dan ledekan semakin riuh.
“Menurut lo semua, apa sosok seperti dia pantas untuk jadi pacar gue?” Raka tertawa pelan sambil menatap Rere.
“Sayangnya dia terlalu bodoh dan dengan mudah bisa terperdaya.”
Gemuruh suara tawa kembali pecah. Rere benar-benar telah dipermalukan. Cacian dan cibiran terdengar berduyun-duyun. Rere menangis terisak. Dia bermaksud pergi, tapi kerumunan tamu itu kini membentuk benteng dan tidak membiarkannya pergi. Saat mencoba menerobos, mereka mendorongnya kembali ke dalam lingkaran. Mereka semua tertawa diatas air mata Rere. Bagai ajang balas dendam, mereka silih berganti mengerjai Rere.
Danny salah satu siswa yang menjadi korban langganan Rere juga hadir di sana. Dia melampiaskan semua kekesalannya selama ini. Dia mendorong kepala Rere berkali-kali dengan telunjukknya sambil mengucapkan sumpah serapah. Setelah itu dia memaksa Rere untuk berdiri dan mendorongnya ke arah kerumunan siswa lainnya. Mereka terus menerus mengoper Rere ke sana – ke mari hingga akhirnya Rere tersungkur di tanah.
Rere menangis terisak. Dadanya kini terasa sesak. Kerumunan itu masih saja meneriakinya. Tatapannya beralih pada Raka yang kini tersenyum menatap padanya. Rere menatapnya dengan sorot meminta belas kasihan. Namun Raka hanya tersenyum sumbang lalu melangkah pergi. Pandangan Rere pun mulai terlihat buram. Riuh sorak suara tak lagi terdengar di telinganya. Perlahan semua mulai terlihat gelap, gelap, dan semakin gelap.
Bersambung