Mata Untuk Raka - 11

2859 Kata
Amarah dan Dendam Adit melengkah gusar memasuki gerbang sekolah. Pangkal gerahamnya beradu kuat. Kedua tangannya juga mengepal dengan bola mata yang sudah memerah. Anak-anak yang lain pun ikut heran dengan ekspresi Adit hari ini. Tidak ada lagi senyuman hangat. Tidak ada lagi sapaan ramah. Mereka pun kemudian berbondong-bondong mengikuti langkah Adit. Semua penasaran akan apa yang terjadi hingga membuat tampak begitu beringas hari ini. “Kalian liat Raka?” tanya Adit sesaat setelah menghentikan gerombolan siswa yang sedang berjalan. “D-dia ada di kantin,” jawab siswa itu. Adit segera mempercepat langkahnya menuju kantin. Setiba di sana dia langsung mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Raka. Hingga kemudian dia melihat Raka sedang asyik mengobrol bersama kerumunan siswi yang mengelilinginya. Adit menghembuskan napas pelan lalu lekas menghampirinya. “Ada apa?” Raka menatap Adit yang kini berdiri di hadapannya. “Ada apa? Lo nanya ada apa?” Adit tertawa sinis. Raka berdiri dari duduknya dengan santai lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana. Setelah itu dia tersenyum tipis lalu kembali menatap Adit. “Kenapa? lo marah karena gue udah ngasih pelajaran sama cewek tengil itu?” tanya Raka. “Apa lo bilang? cewek tengil?” emosi Adit makin tersulut.   “Emang gue salah? Seluruh sekolahan juga tau siapa Rere. Seluruh sekolah sekarang juga berterima kasih sama gue karena udah ngasih Rere pelajaran berharga,” ucap Raka. “Tapi apa harus lo berbuat sejauh itu?” Adit masih berusaha meredam emosinya. “Nggak boleh? Kalo lo nggak bisa nerima, harusnya sebagai temennya lo itu ngingetin dia biar nggak semakin semena-mena di sekolah ini!” bentak Raka. Adit terhenyak. Kerumunan anak-anak yang lain juga berbisik-bisik menyetujui perkataan Raka. Kepalan tangannya kembali kendor. Seperti kehilangan taringnya, Adit tidak bisa berkata-kata lagi. Padahal tadi dia begitu emosi dan bermaksud untuk menghajar Raka yang sudah menyakiti Rere. “Apa ada lagi yang mau lo omongin?” Raka kembali bersuara. “G-gue ....” “Apa yang gue lakuin ke Rere itu belum setimpal sama apa yang dirasain sama anak-anak yang lain. Udah berapa kali Rere ngehancurin hidup orang lain? Udah berapa banyak yang harus keluar dari sekolah ini karena dia? Lo pasti tau lebih jelas karena lo adalah temannya.” Raka menekankan ujung kalimatnya. “Iya itu bener!” “Rere emang pantas nerima itu semua!” “Dia emang harus diberi pelajaran supaya sadar!” “Aku bahkan nggak kasihan sama sekali ngeliat cewek beringas itu!” Komentar sumbang tentang Rere silih berganti terdengar. Adit menautkan bibirnya rapat-rapat. Dia sadar tidak ada gunanya dia membela Rere di tengah-tengah kerumunan masa yang membencinya. Jemarinya bergetar menahan amarah yang memuncak. Sementara Raka hanya tersenyum tipis, lalu menepuk-nepuk pundak Raka dengan pelan. “Lebih baik lo kasih saran ke temen lo itu supaya dia pindah dari sekolah ini. Karena kalo dia masih di sini ... gue akan ngehancurin dia lebih jauh lagi.” . . . . Adit dan Airin masih terpaku di depan pintu kamar Rere yang masih terkunci. Sudah lama keduanya menggedor-gedor dan meminta Rere untuk membuka pintu. Mereka sudah mencoba berbagai cara. Mulai dari membujuk, menghardik, bahkan sampai mengancam Rere. Namun Rere masih saja bungkam di dalam sana. “Rere masih belum mau buka pintunya?” Revan yang baru muncul juga terlihat gelisah. “Belum,” jawab Adit. “Apa Rere baik-baik aja di dalam sana?” Airin mulai khawatir. Revan menghela napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. “Re ... buka pintunya sekarang!” teriak Revan. “Please Re, buka sebentar aja,” bujuk Adit. “Re ... kamu nggak kenapa-napa kan?” Airin bertanya dengan suara serak. Hening. Tetap tidak ada jawaban dari dalam sana. Mereka bertiga kini mulai putus asa. Airin terduduk sambil memeluk lututnya. Adit menengadahkan kepala sambil memikirkan solusi yang lain. Sementara Revan yang biasanya jutek, kini terlihat begitu khawatir pada adiknya itu. “Rin ... gue mau lo rahasiaan semua ini dari Mama ya. Kalau Mama nanya apa permasalahannya, bilang aja kalo lo nggak tau apa-apa,” pinta Revan. “Iya, tenang aja,” sahut Airin.   “Dit, tolong bujuk Rere lagi ya. Gue mau ke bawah dulu buat nenangin Mama yang masih kebingungan.” Revan menatap Adit dengan wajah penuh harap. Sepeninggal Revan, Adit dan Airin kembali mencoba mengetuk pintu. Mereka terus menggedor pintu itu tanpa henti. Hardikan dan teriakan silih berganti terdengar. Hingga akhirnya Adit menjadi gusar dan melangkah mundur. Sesaat setelah itu dia langsung menghantam pintu itu dengan tubuhnya. Airin beranjak mundur dengan raut wajah cemas. Sementara Adit terus mendobrak pintu itu dengan sekuat tenaga. “RERE!” keduanya kompak berteriak melihat Rere tergolek lemah di lantai kamarnya. Adit dan Airin segera menghambur dan mendekati Rere. Keduanya semakin panik setelah melihat ada kepingan pil berwarna putih yang berceceran di lantai. “Re ... kamu kenapa Re? Ayo bangun Re ... ayo bangun!” Airin berucap dengan derai air mata. “Re ... bangun Re! Ayo bangun!” Adit menggoncang-goncangkan tubuh Rere dengan kuat. “Apa sebaiknya kita telepon ambulan aja?”usul Airin. Adit mengangguk cepat, lalu segera mengeluarkan handphonenya. Di tengah kepanikan itu tiba-tiba Adit dan Airin mendengar suara yang sedikit aneh. Keduanya mengernyitkan alis lalu menatap Rere dengan heran. Adit kemudian mendekatkan telinganya lebih dekat ke wajah Rere. Sementara Airin juga mulai menajamkan pendengarannya. “Ya elah ...,” Adit mendengus sambil menghela napas lega. “K-kenapa? ada apa?” tanya Airin. “Dia itu lagi tidur. Denger deh suara dengkurannya,” ucap Adit. “Serius? Jadi suara aneh itu emang suara dengkuran Rere?” Airin masih belum percaya. “Iya, denger aja baik-baik,” jawab Adit. “Terus kenapa dia nggak bangun-bangun juga?” tanya Airin. “Rere kalau udah tertidur lelap emang begitu.” “Terus gimana sekarang?” Airin menatap bingung. “Bentar.” Adit segera beranjak keluar kamar. Tak berapa lama kemudian dia kembali dengan membawa segayung air. Dia menatap Airin dengan tersenyum geli. Airin pun segera menjauh dan menutup mulutnya untuk menyambut kehebohan yang akan terjadi. Perlahan Adit mengangkat gayung itu ke atas, lalu mulai menuangkannya secara perlahan ke wajah Rere. “Woaaaaa ...!!! apa ini? apa ini? banjir? Tolong! Tolong ada banjir.” Rere langsung terbangun dan berteriak histeris. Sejenak dia bertingkah heboh hingga akhirnya Rere menyadari kehadiran Adit dan  “K-kalian ada di sini?” tanya Rere. Adit hanya menghela napas. Sementara Airin langsung memeluknya erat. _ Telinga Rere sudah panas karena ceramah Adit dan Airin yang sudah berlangsung selama dua jam non-stop. Keduanya silih berganti memarahi, menasehati, juga mengejek Rere yang sudah jatuh ke dalam skenario buatan Raka. Selama itu juga Rere hanya tertunduk lesu. Karena hingga detik ini dia sendiri masih belum memercayai sosok Raka tega berbuat seperti itu padanya. “Dari awal gue udah ngerasa ada yang nggak beres sama si keceobong sawah itu,” dengus Adit. “Tapi dari cerita Rere, Raka itu kayaknya anak yang baik,” sela Airin. “Kalo dia baik, apa mungkin dia ngelakuin semua ini?” tanya Adit. Airin langsung menggeleng pelan. Kemudian Tatapan Adit kembali tertuju pada Rere. Raut sedih jelas tergambar di wajahnya. Adit belum pernah melihat Rere sesedih ini sebelumnya. Sepertinya kejadian itu benar-benar mengguncang jiwanya. Berbagai lelucon dan lawakan bahkan tak juga membuat Rere tersenyum. “Udahlah, semua udah terjadi,” desah Adit. “Iya Re, kita ambil hikmahnya aja,” sambung Airin. Rere mamaksakan bibirnya itu untuk tersenyum. “Gue masih belum percaya aja kalau dia—” ucapan Rere terhenti karena genangan air matanya. “Nangis aja Re ... nggak apa-apa. Lepasin semuanya, biar kamu jadi ngerasa lega.” Airin kembali memeluk Rere kemudian menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Rere pun terisak dalam pelukan Airin. Adit terkesiap dan menatap Rere tanpa berkedip. Entah kenapa pemandangan itu terasa menyakitkan hatinya. Adit mencoba untuk tetap tenang. Namun sedetik kemudian dia langsung menyambar topinya lalu bergegas pergi dari sana. “Kamu mau ke mana Dit?” Adit tak menghiraukan pertanyaan Airin dan terus melangkah pergi. _ Adit berusaha mengatur napas sambil memegangi lututnya. Lelehan keringat masih membanjiri sekujur tubuhnya. Adit butuh waktu untuk mulai berbicara. Sementara sosok Raka masih menatapnya sambil menyilangkan tangan. Dia mendengus kesal kemudian menghardik Adit dengan gaya angkuhnya. “Euy! Ngapain lagi lo manggil gue ke sini?” tanya Raka. “G-gue mau—” napas Adit masih tersengal-sengal.” “Apa lo masih belum puas dengan pembicaraan kita tadi siang di sekolah? Oke deh, cepeta ngomong. Waktu gue nggak banyak.” Adit tertawa pelan mendengar ucapan Raka. Dia tersenyum tipis kemudian langsung melayangkan pukulannya tepat ke wajah Raka. “ANJ**** ...! APA-APAAN SIH LO!” Raka segera bangun setelah terhuyung karena pukulan Adit. Bukannya menjawab, Adit kembali mengayunkan tinjunya. Kali ini Raka bisa menepisnya dan balas memukul Adit. Keduanya terlibat baku hantam yang cukup sengit. Malam sudah semakin sepi. Tidak ada seorang pun yang lewat untuk sekedar melerai mereka. Baik Raka mau pun Adit sudah sama-sama dibakar api emosi. Keduanya terus melakukan aksi saling serang dan balas. Tiga puluh menit sudah berlalu. Kini hanya terdengar suara deru napas Adit dan Raka yang terdengar berat. Keduanya sama-sama terkapar di tanah dengan luka lebam di sekujur tubuh mereka. Mereka telah sampai pada titik menyerah. Tidak ada lagi energi yang tersisa bahkan untuk sekedar bangun dari tempat itu. “Kenapa sih, lo jadi segila ini?” Raka bertanya dengan suara lirih. “Bukan urusan lo!” “Gimana bisa cewek gesrek itu bisa ngebikin sosok Adit yang kalem dan tenang bisa berubah gini?” Raka masih tersenyum dengan wajah yang sudah hancur. Bibirnya terasa perih saat dia mencoba tertawa. Dia terus berceloteh tiada henti. Penat bermain fisik, Raka pun mulai memancing Adit dengan beradu argumen. Namun Adit hanya diam sambil menatap langit malam. Setidaknya saat ini dia sudah merasa lebih lega. Setidaknya dia sudah membalaskan rasa sakit yang sudah di rasakan Rere. Adit perlahan bangun sambil menahan perih. Dia melangkah tertatih meninggalkan Raka yang masih tergolek di sana. “Lo suka kan, sama Rere?” Langkah Adit terhenti mendengar pertanyaan Raka. Dia memejamkan mata sebentar, tersenyum kejut, kemudian kembali melangkah tanpa menjawab pertanyaan itu . . Dendam Sejak kejadian itu pamor Rere sebagai murid yang paling ditakuti di sekolah mulai memudar. Rentetan peristiwa malam itu menjadi topik panas dan bahan ledekan seluruh warga sekolah. Mereka bahkan tidak lagi segan dan takut untuk balik mengerjai Rere. Meski begitu Rere berusaha bersikap seperti biasa. Dia bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa di depan mereka semua. Namun saat sendiri dan tidak ada yang melihatnya, dia menangis. “Apa-apan sih lo,” Raka menepis tangan Rere yang berusaha menyeretnya pergi. “Gue mau ngomong sama lo sebentar,” jawab Rere. “Yaudah ngomong aja!” bentak Raka. Rere menghela napas panjang. Sementara murid-murid lain mulai mengerubungi mereka berdua. Segala sesuatu menyangkut Rere tampaknya kini menjadi santapan menarik bagi mereka semua. Rere manatap kerumunan murid yang kini menatapnya tajam. Hal itu membuatnya merasa enggan untuk meneruskan pembicaraan dengan Raka. Tapi di sisi lain Rere juga tidak bisa lagi menahan perasaannya. “Kenapa lo masih aja gangguin gue? Apa lo belum puas setelah mempermalukan gue malam itu?” tanya Rere. “Puas ...?” Raka tertawa sinis lalu menatap tajam. “Nggak akan ada kata puas buat ngebikin lo sengsara!” “Kenapa? Kenapa lo segitu benci sama gue? Oke, gue emang bandit sekolah. Gue emang tukang bully, tukang palak, tapi gue nggak pernah ngelakuin itu semua sama lo!” Suara Rere mulai terdengar serak. “Lo emang nggak ngelakuin semua itu ke gue. Tapi gue benci melihat teman-teman gue menjadi korban kebiadaban lo selama ini,” jawab Raka. “Jadi itu alasannya lo deketin gue?” tanya Rere. “IYA ...! Dan satu lagi, nggak cuma gue yang benci sama lo! Tapi semua murid-murid di sekolah ini benci sama kelakuan b***t lo itu!” Raka menekankan ujung kalimatnya. Rere terhenyak. Ada pedih mulai terasa menjalar di hatinya. Sebenarnya dia bisa saja melampiaskan amarahnya. Dia bisa saja menghajar Raka sampai babak belur. Dia bisa saja berkata kasar. Dia bisa membalas semua penghinaan itu. Tapi dia tidak sanggup karena sosok yang melakukan itu adalah Raka. Rere memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Sementara anak-anak yang lain mulai menertawainya. Dia mengangguk pelan mengisyaratkan bahwa dia mengerti akan semua perkataan Raka. Rere bermaksud untuk pergi. Tapi begitu dia berbalik, Raka kembali bersuara.    “Sebaiknya lo pindah dari sekolah ini! Karena selama lo masih ada di sini... gue bakalan pastiin lo menderita!” ucap Raka. “Huuuu RIP Ratu Bully!” “Kesiaaaan banget dah ... sekarang udah nggak punya nyali lagi!” “Akhirnya sekolah kita bisa aman, damai dan sentosa!” “Husss ... buruan pindah dari sekolah ini!” Sorak sorai ledekan dan cacian mengiringi langkah Rere. Dia segera menyeka air matanya  yang jatuh sebelum yang lain sempat melihatnya. Sedetik kemudian dia kembali menoleh dan tersenyum. Sementara Raka masih dengan raut wajah yang sama. Dia hanya mendelik kemudian pergi di ikuti oleh anak-anak yang lainnya. _ Ancaman Raka ternyata bukan bualan belaka. Hari-hari Rere di sekolah berubah bagai di neraka. Dia menjadi bulan-bulanan setiap harinya. Ada-ada saja cara mereka untuk mengerjai Rere. Seperti menyiramnya dengan air ketika keluar pintu toilet, menungkai kakinya saat berjalan, melemparnya dengan bola saat melintas di lapangan dan berbagai keusilan lainnya. “Kenapa hari ini kamu belum mau juga masuk sekolah? Kemaren alasannya sakit, tempo hari kamu bilang majelis guru rapat dan ternyata itu bohong,” ucap sang mama. “Rere nggak mau lagi sekolah di sana,” jawab Rere. “Kamu kepengen ngeliat Mama sakit? Kamu mau ngeliat mak mati karena semua perangai dan tingkah laku kamu?” Rere terdiam. “Mama udah capek dengan semua kenakalan kamu. Mama pengen kamu berubah! Mama nggak mau kamu bernasib sama seperti Mamamu ini. Karena itulah Mama berusaha keras untuk menyekolahkan kalian!”   Air mata Rere menetes. Tapi bibirnya tetap terkatup rapat. Dia tidak mau mengatakan alasan yang sebenarnya. Rere enggan menceritakan apa yang sudah terjadi. Revan abangnya juga membisu di depan pintu. Dia juga menatap Rere dengan raut wajah kecewa. _   “Jadi sekarang satu sekolahan kompak ngebully dan ngerjain kamu habis-habisan?” Airin setengah berteriak. “Ssst...! jangan keras-keras.” Rere takut mama dan abangnya Revan ikut mendengar. “Ini nggak bisa dibiarin gitu aja! kamu harus ngomong sama Mama dan Abang kamu!” ujar Airin. “Udahlah biarin aja.” Rere menjawab lesu. “Terus apa Adit juga tau?” tanya Airin. “Belakangan ini dia selalu ngawasin gue. Tapi saat Adit nggak ada, gue kembali di kerjain abis-abisan,” jawab Rere. “Kamu kenapa sih Re? Ini bukan seperti kamu yang biasanya. Mana Rere yang dulu?” tanya Airin. “Mungkin ini udah jadi hukuman buat gue,” jawab Rere. “Kenapa kamu nggak ngebales perbuatan mereka? Kenapa kamu cuma diam aja?” tanya Airin. Rere hanya tersenyum tipis. “Apa karena Raka?” tanya Airin. RERe menelan ludah, dia terpekur dan tak berani menatap Airin. “Kamu masih suka sama cowok b******k itu?” tanya Airin lagi. “Ya Tuhan Rere ... setelah semua ini kamu masih ...” Ucapan Airin terhenti begitu Rere mendongakkan kepalanya. Rere tersenyum dengan lelehan air mata yang kini mengalir di pipinya. Airin menghela napas panjang. Kemudian dia memeluk Rere perlahan. Dalam pelukannya, isak tangis Rere kembali pecah. Dia menangis tersedu-sedu meluapkan semua rasa sakit yang terasa menyiksa batinnya. _   Sudah seminggu lamanya Rere bolos ke sekolah. Dia tidak memedulikan amarah mama dan abangnya. Mereka bahkan tak lagi menegur atau bicara padanya. Seisi rumah kini mendiamkan Rere. Hal itu menambah rentetan kesedihan yang dirasakannya. Bujukan Adit dan Airin juga tak lagi mempan. Rere benar-benar berada di titik terjenuh dalam hidupnya. Bahkan untuk sekedar bangun dari tempat tidurnya saja dia enggan. Nafsu makannya juga patah dan Rere lebih suka memilih untuk mengurung diri di dalam kamarnya. Rere menatap bayangannya di cermin. Semua kenangan saat pertama kali Raka mendekatinya kembali teringat. Bagaimana mula Raka menyapanya, terus mengikutinya, mengaku cinta padanya, hingga membuka tabir bahwa semua hanya settingan belaka. Bola mata Rere perlahan memerah. Semua kenangan itu mulai menyulut bara dendam dalam hatinya. “Bodohnya gue,” bisiknya pelan. Bagai ada sesuatu yang merasukinya, sorot mata Rere langsung berubah. Dia menyambar jaket denimnya dan bergegas pergi dengan jemari mengepal kuat. Sepanjang perjalanan Rere terus mengingat semua perbuatan Raka padanya. Raka harus merasakan akibat dari perbuatannya. Raka harus membayar apa yang telah dilakukannya.   “Lo mau ke mana Re?” tanya Revan. “Gue mau keluar bentar,” jawab Rere. “Iya. Tapi ke mana?” desak Revan. Rere tidak lagi mengacuhkan pertanyaan itu dan segera mempercepat langkah kakinya. _ Lapangan parkir sekolah terlihat sepi. Tidak ada seorang pun terlihat di sana. Memang saat ini para siswa sedang belajar di dalam kelas. Setelah memasang tudung jaketnya, Rere mulai mendekati barisan sepeda yang terparkir rapi. Matanya dengan lihai menatap sepeda-sepeda itu hingga akhirnya dia tersenyum setelah menemukan mana yang dia cari. Rere kembali melirik keadaan sekitar sebelum melanjutkan aksinya. Dia mengeluarkan sebuah gunting lalu memotong tali rem sepeda Raka. Rere melakukan aksinya itu dengan d**a berdebar kencang. Sesekali dia kembali mendongakkan kepala memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah selesai, Rere beranjak pergi sambil tersenyum puas. Dia tertawa membayangkan bagaimana nanti Raka akan terjatuh. Dia tidak sabar menunggu kabar itu. Dia tak sabar ingin meledek Raka. Dia ingin Raka mendapatkan ganjarannya. . . . Bersambung …      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN