Hukuman
Mama dan Revan menatap Rere dengan penuh rasa curiga. Gadis tengil itu tiba-tiba saja sibuk merawat dirinya. Setelah selesai memasang masker bengkoang yang membuat wajahnya terlihat seperti hantu, kali ini Rere sibuk menata kepingan mentimun yang sudah di potong-potong kecil di wajahnya. Dia berbaring manis di sofa sambil terus bersenandung ria.
Revan menatap Rere sambil mengusap-usap dagunya. Sementara mama yang tadi asyik memotong sayur juga menghentikan pekerjaannya. Kemudian tatapan ibu dan putranya itu mulai beradu. Keduanya kompak berdiri dan langsung bergegas menghampiri Rere.
“Lo ngapain jadi bertingkah sok cantik gitu,” dengus Revan.
Rere membuka matanya dan langsung tergelinjang kaget melihat wajah mama dan abangnya yang begitu dekat.
“Mama sama Abang ngapain sih? Tuh, kan ... mentimunnya jadi berantakan,” rengek Rere.
Rere bangun dari tidurnya dan membuang sisa mentimun yang masih menempel di wajahnya dengan gusar. Dia merasa kesal karena mama dan Revan sudah mengganggu ritual sakralnya. Rere menatap mama dan abangnya dengan mata tajam. Namun bukannya pergi, kedua sosok itu kini malah duduk di sisi kanan dan kirinya. Rere manatap bingung pada sikap mama dan abangnya. Keduanya mengapit Rere lalu menatapnya lekat-lekat
“A-ada apa sih?” tanya Rere.
“Re ... kamu jawab jujur sama Mama, kamu punya pacar ya?” tanya sang Mama.
“Eiih ... nggak mungkin ada yang mau sama Rere,” bantah Revan.
“Atau ada seseorang yang kamu suka saat ini?” selidik mama lagi.
“Bisa jadi Ma ... tapi mustahil kalo dia juga suka sama Rere,” protes Revan.
Mama terus memberondong Rere dengan berbagai pertanyaan. Sebanyak itu juga Revan membantah dan terus memojokkan dirinya. Rere mulai habis kesabaran. Kedua kupingnya mulai terasa panas. Dia meniup poni keritingnya dengan gusar, lalu bangkit dari duduknya.
“Lo itu juru bicara gue atau apa sih, Bang?” Rere berkacak pinggang menatap Revan.
“M-maksud gue bukan gitu.” Revan mulai menciut.
“Mama juga! Emangnya salah kalo aku ngerawat diri aku sendiri?”
“Bukan begitu Re ... Mama malah seneng ngeliat kamu tiba-tiba berubah menjadi lebih baik.” Sang mama berusaha mengatur kosa katanya. “Cuma karena kamu berubahnya terlalu mendadak, tentu semuanya menjadi tanda tanya,” lanjut sang mama.
“Iya ... pasti ada sesuatu yang ngebuat lo tiba-tiba berubah kayak gini,” timpal Revan.
“Nah, kami itu pengen tau apa penyebabnya itu?” tukas sang mama.
Rere terdiam sejenak. Dia merasa ragu untuk menceritakan tentang Raka pada mama dan abangnya. Sang mama dan Revan masih menunggu jawaban dengan gelisah. Sementara Rere malah sibuk senyum-senyum sendiri sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir.
“Lo ngapain Re?” tanya Revan.
“Ehem.” Rere kembali tersadar dari lamunannya. “Oke deh aku kasih tau. Tapi jangan kaget ya,” ucap Rere dengan nada suara sok manja.
Sang mama dan Revan pun mengangguk kompak.
“Sebenarnya ... aku ....” Rere menghentikan ucapannya dan terkikik menahan tawa.
“Sebenernya kamu apa sih?” Revan mulai gusar.
“Sebenernya aku ... udah PUNYA PACAR! Kyaaaaa ....” Rere berteriak histeris lalu segera lari menuju kamarnya.
Sementara sang mama dan Revan kini masih membatu. Keduanya masih belum memercayai pendengaran mereka. Pasangan ibu dan anak itu pun kompak menggelengkan kepala. Kemudian tatapan mata mereke kembali bertemu.
“Ma ... aku takut kalo Rere jadi ngehalu,” ucap Revan.
“Mama juga cemas. Dia punya teman khayalan sewaktu kecil. Apa sekarang dia juga punya kekasih khayalan?” tanya sang mama.
_
Rere segera melambaikan tangannya ke arah Raka di ujung sana. Raka pun tersenyum dan membalas lambaian itu. Rere menepuk-nepuk pakaiannya dari debu dan merapikan rambutnya selagi Raka berlari menghampirinya. Setelah itu keduanya pun melangkah beriringan dengan senyum sumringah.
“Lo udah nunggu lama, ya?” tanya Raka.
“Nggak kok. Gue juga baru nyampe.”
“Kita pergi sekarang?” Raka meraih tangan Rere dan menggenggamnya erat.
Rere terdiam dan tak beranjak dari tempatnya. Raka pun kembali menoleh ke belakang dan menatap Rere dengan wajah memerah.
“M-maaf gue refleks barusan.” Raka kembali melepaskan tangan Rere.
“Eh ... o ... nggak apa-apa kok,” jawab Rere sambil tersenyum malu.
Keduanya pun melanjutkan langkah menuju sebuah bioskop yang sudah di sesaki pengunjung. Setelah membeli tiket dan membeli beberapa makanan ringan, keduanya pun segera masuk ke ruang bioskop. Rere dan Raka sibuk mencari kursi duduk mereka. Selagi berjalan melewati penonton yang lain, berbagai komentar tentang keduanya pun kembali terlontar.
“Gila cowoknya cakep tapi ceweknya buluk.”
“Handsome and the beast.”
“Si cewek mungkin pake susuk.”
“Pasti si keriting itu main halus.”
Berbagai bisikan-bisikan miring itu mulai membuat senyum Rere surut. Dia kini merasa risih duduk di bangkunya. Tatapan-tatapan mata heran masih saja menganggunya. Rere mencoba menghiraukan semua gangguan itu. Dia mencoba fokus pada film yang sudah dimulai. Sementara Raka kini mulai mengepalkan tinjunya. Rere menyadari hal itu dan menggenggam tangan itu dengan pelan.
Film terus berlanjut, begitu juga bisik-bisik sumbang mengenai Rere. Tiga orang gadis yang duduk di belakang mereka masih saja sibuk bergosip dan mencemooh Rere. ketiganya asyik mencela dan membahas segala kekurangan Rere di mata mereka.
Rere pun menghela napas dalam. Dia sudah muak mendengar suara sumbang itu. Dia sudah berusaha menahan diri karena sedang berada dalam ruang bioskop. Rere tidak ingin menganggu pengunjung yang lainnya. Dia tidak ingin membuat keributan di sana, namun dia juga tidak bisa mengendalikan emosinya lagi.
“Kalian bisa diem nggak sih!”
Rere yang baru hendak berdiri terpaku melihat Raka yang tiba-tiba saja berdiri dan meneriaki ketiga gadis di belakangnya.
“Yang jadi pacarnya itu gue! Kenapa kalian semua yang sewot!” hardik Raka.
Seisi bioskop pun kini riuh mempertanyakan apa yang sedang terjadi. Rere yang merasa tidak enak mencoba menarik Raka untuk duduk kembali. Namun ternyata Raka malah menariknya untuk ikut berdiri di sampingnya.
“Emangnya ada yang salah kalau gue jatuh cinta sama dia?” tanya Raka sambil mengedarkan pandangannya ke semua penjuru.
Rere tertegun dan berbisik pelan, “Udah Ka, gue nggak apa-apa kok,” bisiknya.
“Kenapa sih semua orang lebih mentingin fisik dan menilai seseorang cuma dari penampilannya?” ucap Raka lagi.
Tatapan bengis Raka kembali mengarah pada ketiga gadis yang kini meringkuk ketakutan. Raka tersenyum sumbang lalu menunjuk wajah ketiganya secara bergantian.
“Liat deh mereka bertiga ini ... percuma punya wajah cantik dan fisik menarik tapi punya hati yang kotor,” dengus Raka.
“Buat apa cantik kalo nggak bisa ngejaga omongan dan bersikap yang baik.” Raka yang emosi terus saja meluapkan kekesalannya.
Kehebohan itu pun terhenti setelah petugas pengaman datang dan meminta Raka dan Rere untuk keluar dari ruangan itu. Saat petugas itu mencoba menarik Rere, Raka kembali mengamuk. Dia meraih kerah baju petugas itu lalu menatapnya tajam.
“Udahlah Ka ... lebih baik kita keluar aja.” Rere berusaha menenangkan Raka yang sudah semakin emosi.
Raka melepaskan petugas pengaman itu dan meraih tangan Rere. kemudian dia membawa Rere keluar dari sana dengan menggenggam erat tangannya. Pemandangan itu pun kembali membuat pengunjung heboh berkomentar. Namun kali ini kebanyakan komentar itu bernada iri. Mereka iri pada Rere karena bisa mendapatkan lelaki yang gagah berani seperti Raka.
_
Raka kini menekur menghadap tanah. Dia baru saja dimarahi Rere karena sudah membuat keributan di dalam bioskop. Wajah sangarnya kini berganti sendu. Dia mulai merasa bersalah karena sudah merusak rencana kencan mereka hari ini.
“M-maafin gue Re ...,” ulang Raka.
“Untungnya apa coba, lo teriak-teriak kayak tadi?” tanya Rere.
“Gue nggak suka mereka jelek-jelekin lo.”
“Semua yang mereka omongin itu emang bener. Kenyataannya gue emang jelek dan norak.
Raka mengangkat wajahnya dan menatap Rere lekat-lekat.
“Apa? Sekarang apa?” tanya Rere lagi.
“Maafin gue Re. Tapi gue nggak bisa nerima omongan lo barusan. Karena di mata gue lo itu cewek yang paling sempurna,” ucap Raka.
“Hahaha ... lo nggak perlu ngehibur gue kayak gitu juga,” cetus Rere.
“Gue serius Re ... bagi gue,lo itu beda. Lo itu istimewa. Lo nggak pernah jaim. Lo selalu jadi diri lo sendiri dan gue suka sama karakter lo itu.
Rere terdiam. Segurat senyum kini melengkung di wajahnya. Dia merasa tersentuh dengan penuturan Raka. Namun saat Raka menatapnya, Rere kembali pura-pura memasang wajah garang.
“Tapi lo nggak harus bikin keributan kayak tadi juga, kan?” bentak Rere.
“Iya deh iya ... gue minta maaf,” ucap Raka.
“Maaf aja nggak cukup. Lo itu harus dikasih hukuman.” Rere melipat tangannya di depan d**a.
“H-hukuman?” Raka menelan ludah.
“Iya hukuman,” jawab Rere.
“A-apa hukumannya?” tanya Raka.
Rere segera mendekat lalu mengayunkan tinjunya. Seketika itu juga Raka memejamkan mata dan bersiap menerima pukulan Rere. Namun kemudian mata itu kembali terbuka dengan tatapan nanar.
Jemari Raka kemudian terangkat dan menyentuh bagian keningnya. Sementara Rere kini tersenyum malu karena mendaratkan sebuah kecupan di kening itu.
Bersambung