Mata Untuk Raka - 22

1540 Kata
Keganjilan . . . Rere membuka tirai jendela rumahnya pelan-pelan, lalu segera menutupnya kembali dengan cepat. Dia mendesah pendek sambil memijit keningnya. Rere ingin pergi ke rumah Airin, namun Raka masih saja bermain gitar di halaman rumahnya. Sudah dua hari ini Rere berusaha keras untuk menghindari Raka. Rere merasa ketakuan karena setiap bertemu Raka selalu menyerangnya dengan pertanyaan seputar Putri. Bahkan sekarang Raka terkesan sengaja menunggu dan menyergapnya begitu Rere keluar dari rumah. “Lo ngapain sih, dari tadi ngintip-ngintip terus,” sergah Revan. “Kamu mau ke mana Re,” timpal sang mama yang kini berdiri di sebelah Revan. “M-mau ke rumah Airin, Ma,” jawab Rere. “Terus kenapa kamu belum pergi juga?” tanya sang mama. Rere tidak menjawab dan hanya tersenyum canggung. Sang mama dan abangnya Revan saling pandang, lalu ikut mengintip ke luar kaca jendela. Mamanya yang terlihat mengerti alasan Rere hanya tersenyum, kemudian pergi ke dapur setelah mengelus kepala Rere dengan lembut. Sementara Revan kini menatap Rere dengan tatapan mengintimidasi. “Bukannya anak itu temen lo?”tanya Revan. “Apaan sih,” dengus Rere. “Apa kalian berantem?” selidik Revan. “Siapa juga yang berantem... jangan sok tau, deh,” bentak Rere. “Terus kenapa lo belum juga keluar?” Rere menggigit bibirnya. Dia benar-benar mati kutu sekarang. Tiba-tiba saja Revan membuka pintu itu, kemudian langsung mendorong Rere keluar rumah. Rere yang amat shock dengan perbuatan Revan itu pun hanya bisa terbelalak dan kembali menggedor pintu yang sudah terkunci. “Buka pintanya!” pekik Rere. Revan mencibir dari balik kaca, kemudian berlalu pergi. “Buka pintunya... ah dasar dedemit sialan,” umpat Rere. Rere terus menggerutu sambil menghentak-hentakkan kakinya. Lama dia bertingkah konyol di depan pintu yang tertutup rapat itu. Sampai akhirnya Rere tersadar dan merasakan ada hawa dingin yang membelai tengkuknya. Rere menelan ludah, kemudian menelan ludah. Benar saja, ternyata sosok Raka memang sedang melihat ke arahnya. Rere mencoba bersikap tenang. Dia berpura-pura sibuk memilih sepatu yang akan dikenakannya, lalu segera melangkah pergi tanpa menghiraukan Raka. “Hey... lo mau ke mana?” hardik Raka. Rere menatap sinis. “Bukan urusan lo!” sergah Rere. Rere mempercepat langkah kakinya, bersamaan dengan itu Raka juga mengiringi langkah Rere dari balik tembok pagar pembatas. Rere bermaksud hendak melakukan jurus lari 1000 bayangan. Namun langkahnya terhenti begitu melihat sekumpulan teman sekelasnya yang kini tersenyum kepadanya. “Rere...!” mereka berteriak serempak. Rere termangu dengan mulut menganga. Dia menatap heran dan bertanya-tanya kenapa anak-anak kelasnya bisa ada di sini. Ada Ayu, Danny, Jevin, Diana, Sigit dan juga Ibra. Pertanyaan itu pun terjawab ketika Raka juga keluar menyambut kedatangan mereka semua. “Kalian semua udah dateng,” ucap Raka. “Iya nih, gue bawain kue kesukaan lo,” ucap Ayu. “Ayo buruan masuk.” Raka mempersilakan teman-temannya untuk masuk. Namun Raka mengernyit ketika dia melihat teman-temannya malah mengerubungi Rere. Anehnya lagi, mereka malah tersenyum dan terlihat akrab. Bahkan Ayu yang sebelumnya membenci Rere kini bergelayut manja di lengan Rere. Pemandangan itu tentu saja membuat Raka terheran-heran. Tatapannya beralih pada sosok Danny yang sedang tertawa lebar. Padahal seingatnya Danny adalah korban Rere nomor wahid yang sudah banyak menderita karena kelakuannya. “Jadi lo tetanggaan sama Raka?” tanya Ayu. “Hmm... i-iya,” jawab Rere. “Ya udah kalo gitu lo harus gabung sama kita-kita.” Ayu segera menarik Rere untuk ikut bergabung. “T-tapi—” Anak-anak itu langsung menyeret Rere meninggalkan Raka yang masih mematung dengan sejuta tanda tanya yang kini berputar-putar di kepalanya. *** Rere merasa canggung dan gelisah. Dia benar-benar ingin melarikan diri dari sana. Rere terus menyeka peluh yang mengalir di wajahnya, lalu meminum jus jeruk yang telah disiapkan oleh mamanya Raka. Saat ini mereka semua sedang sibuk menanyakan berbagai hal kepada Raka. Ternyata mereka datang untuk melihat keadaan Raka saat ini. “Jadi apa lo bakalan balik ke sekolah?” tanya Jevin. “Nggak... gue kan udah ikut homeschooling,” jawab Raka. “Yaaahh....” semua kompak memasang raut wajah kecewa. Tatapan Raka pun beralih kepada Rere. Bagaimanapun juga dia masih belum mengerti dengan situasi saat ini. “By the way kalian udah akrab sama Rere?” tanya Raka. Ayu tersenyum tipis. “Kenapa? lo kaget ya?” Raka hanya tertawa pelan. “Rere itu udah berubah,” ucap Ibra. “Yaps... sekarang itu dia udah jadi kesayangannya sekolah,” sambung Diana. “Uhuuk... uhuk....” Raka menyemburkan jus jeruk yang baru saja disedotnya. “A-apa kesayangan sekolah?” “Iya... pokoknya Rere udah berubah 180 derajat.” Ayu mencubit pipi Rere dengan gemas. “Yang bener aja.” Raka amsih belum percaya. “Kemaren bahkan Rere juara satu lo, di kelas,” tutur Sigit. “APA...!?” Raka berteriak histeris. “Hahahaha...!” teman-temannya pun langsung tertawa lebar. Sementara Rere hanya terpekur. Sebenarnya dia sedikit merasa bangga. Namun Rere terus mengingatkan dirinya untuk tidak lagi menyimpan harap. Rere menatap ke arah Raka dan langsung terkejut. Ternyata Raka juga sedang menatapnya lekat-lekat. Anak-anak itu pun masih sibuk memuji-muji Rere. Sementara Rere dan Raka kini terhanyut dalam tatapan masih beradu. “Sejak kapan dia berubah?” Raka bertanya tanpa mengalihkan pandangannya. “Hmmm... kayaknya kalo gue inget-inget... Rere itu berubah saat lo pergi deh,” ucap Ayu. “Bola mata Raka bergetar mendengar jawaban itu. Semantara Rere langsung memalingkan wajahnya. “Pokoknya saat itu Rere jadi pendiem. Dia nggak pernah bikin rusuh lagi... dan lama kelamaan dia mulai menunjukkan sisi manisnya,” sambung Danny. “Iya betul.” “Bener banget.” “We love you, Re.” Rere hanya tersenyum tipis. Dia tidak berkata apa-apa dan terus menghindari tatapan Raka. Rere benar-benar sudah merasa tidak nyaman lagi. Dia melirik arloji yang melingkat di tangannya, lalu segera berdiri. “Maaf ya, tapi sepertinya gue harus pergi sekarang,” ucap Rere. “Yah Rere... padahal kita lagi asyik ngobrolnya. Ayu mencoba mencegatnya. “M-maaf ya, tapi gue udah ditungguin sama temen gue.” “Siapa? Adit ya?” tanya Danny. Rere hanya tersenyum. Bahkan untuk pergi dari sana saja terasa begitu sulit dan rumit. “Oh iya... gue denger waktu itu Adit nembak lo, ya?” tukas Diana. Rere tersentak karena tidak menyangka mereka akan membahas tentang hal itu. “Si Adit nembak dia?” Raka terlihat terkejut. Dia menatap Rere perlahan dengan binar mata yang terlihat berbeda. Cerita mengenai pengakuan Adit pun kini menjadi topik obrolan anak-anak itu. Rere menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Bagaimanapun juga rasanya mereka tak pantas menjadikan hal itu sebagai bahan candaan. Rere mulai terlihat kesal. Wajahnya kini sudah memerah. Sedetik kemudian bibirnya mulai terbuka hendak melampiaskan amarahnya. “Kalian bisa nggak sih, nggak ngomongin orang lain!” Semua diam setelah dihardik oleh Raka. Rere pun kembali mengatupkan bibirnya. Dia sendiri cukup terkejut karena sikap Raka itu. “Lo mau pergi, kan?” tanya Raka. “I-iya,” jawab Rere. “Ya udah... mendingan lo pergi sekarang.” Rere mengangguk dan dengan cepat melangkah pergi. “Tunggu Re...!” Ayu berteriak memanggil Rere kembali. “A-ada apa Yu?” “Kayaknya mainan tas kamu copot deh,” ucap Ayu. Rere terbelalak kaget. Seketika jantungnya terasa seperti akan melompat keluar. Rere segera kembali dan merebut mainan kunci itu dari tangan Ayu. Napasnya kini tersengal-sengal. Rere benar-benar terlihat panik dan hal itu tentu membuat teman-temannya menjadi heran. “Lo kenapa, Re?” tanya Sigit. “Aah.. g-gue nggak kenapa-napa, kok.” Rere pun kembali menelan ludah saat menyadari bahwa Raka sedang menatapnya dengan tatapan nanar. Rere menjadi semakin salah tingkah dan bermaksud memasukkan mainan kunci itu ke dalam kantongnya. Namun sayang tangan Raka bergerak lebih cepat menggenggam pergelangan tangannya. Raka menatap mainan kunci yang kini terjuntai ditangan Rere yang sedang digenggamnya dengan erat. Rere pun terhenyak dan tidak bisa lagi berkata-kata. “Dari mana lo dapet mainan kunci ini?” Rere terdiam. Teman-temannya yang lain pun ikut membisu karena situasi yang tiba-tiba berubah serius itu. Raka menggertakkan gerahamnya. “Gue tanya sekali lagi, di mana lo ngedapetin mainan kunci ini?” Raka menekankan ujung kalimatnya. “G-gue—” “Apa jangan-jangan Putri—” “BUKAN...! Rere langsung membantah dengan nada suara tinggi. “I-ini bukan punya gue,” jawab Rere. Raka menyipitkan matanya. “Terus punya siapa?” Rere yang sudah terpojok segera menarik tangannya dan langsung pergi dari sana. Raka pun tak tinggal diam dan langsung mengejarnya keluar. Rere mempercepat langkahnya sementara Raka masih berteriak-teriak memanggilnya kembali. “Re...!” “Rere... lo belum jawab pertanyaan gue.” Raka akhirnya menghadang langkah Rere. “Apa lagi, sih,” dengus Rere. “Gantungan kunci itu punya siapa?” tanya Raka. “P-punya temen gue.” Raka yang tak puas dengan jawaban itu terlihat semakin emosi. “Siapa temen lo itu?” “K-kenapa juga lo harus tau,” sergah Rere. “Lo mau main-main sama gue, ha?” Raka menarik lengan Rere kembali. “Aaakh....” Rere merintih kesakitan karena Raka menarik tangannya lebih keras lagi. “SIAPA TEMEN LO ITU...!?” Raka benar-benar terlihat marah. Rere semakin kelabakan. Sedangkan Raka masih menunggu jawaban dengan napas yang mulai memburu. “Ayo buruan jawab, Re!” bentak Raka. Rere menghela napas sejenak. Setelah itu dia memberanikan diri untuk menatap Raka. “Airin... gantungan kunci ini milik temen gue Airin,” jawabnya dengan suara lirih. - Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN