Langkah Rere terhenti seiring matanya yang tersentak melihat sesosok Raka yang sedang berdiri di depan rumahnya. Rere mengusap matanya berkali-kali untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukanlah mimpi. Raka benar-benar sudah kembali. Dia sedang berdiri tegak dengan sebuah tongkat di tangannya. Rere pun mulai melangkah pelan mendekati Raka. Jantungnya kini sudah berdegup dengan kencang. Dengan senyum sumringah Rere pun terus mempercepat langkahnya.
“Raka...!” Rere menyapa Raka dengan wajah sumringah.
“Rere...!”
Deg.
Rere tersentak seiring Raka yang kini menatapnya dengan tajam.
“Ngapain lo di sini?” sergah Raka.
“L-lo—” Rere berucap terpatah-patah. Dia tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Bibirnya kini sudah berwarna pucat pasi. Keringat dingin mulai mengalir di belakang lehernya.
“Oh iya gue baru nyadar kalau rumah itu adalah rumahnya lo... pantes gue ngerasa familiar sama tempat ini.” Raka melirik rumah Rere yang berada di sebelah rumahnya.
“I-iya, g-gue tinggal di sana,” ucap Rere.
Raka berdecak pelan. Ekspresi wajahnya benar-benar menunjukkan rasa tidak sukanya kepada Rere. Raka tersenyum kecut, lalu kembali menatap Rere lekat-lekat.
“Jadi lo udah tau kalo gue tinggal di sini?” tanya Raka.
“I-iya... gue udah tau.”
“Terus kenapa lo nggak pernah nyapa gue sebelumnya?” Raka menatap heran.
“G-gue—”
“Lo pasti sengaja ya? Karena kalo gue tau... pastinya gue nggak bakalan mau tinggal di sini. Lo pasti seneng karena diem-diem bisa ngeliat penderitaan gue dari deket.” Raka menatap Rere dengan tajam.
Rere terhenyak mendengar tuduhan itu. Dia mengangkat wajahnya lalu menatap Raka sambil menggeleng tak percaya. Tidak ada lagi senyuman hangat. Tidak ada lagi sapaan ramah seperti yang didapatkannya ketika berperan sebagai Putri. Rere berusaha menahan dirinya. Kedua tangannya kini mengepal kuat. Ingin rasanya dia mengungkapkan apa yang terjadi selama ini. Ingin rasanya dia mengungkapkan perihal tentang Putri. Namun tatapan Raka langsung menyadarkankannya. Bahwa semua itu hanya akan semakin menyulut kebencian Raka padanya.
“Gue nggak sekeji tuduhan lo itu... satu-satunya alasan gue nggak nyapa lo adalah karena lo benci sama gue! lo bahkan ngelarang gue saat gue berkunjung ke rumah sakit waktu itu... jadi buat apa gue nyapa lo?” Rere akhirnya bisa mengusai dirinya kembali.
Raka pun terdiam mendengar jawaban itu. Raut wajahnya sedikit melunak. Rere pun sempat menaruh harap. Dia menduga Raka akan merasa bersalah dan memahami situasinya.
“Bagus deh, kalo lo sadar diri!”
Ucapan Raka terasa pedih. Rere tidak lagi menjawab dan segera melangkah pergi. Setetes bening sudah menetes di pipinya. Rere mempercepat langkahnya. Dia ingin segera menumpahkan sesak yang sudah tak tertahankan lagi.
“Huuui...!”
Langkah Rere terhenti karena teriakan Raka. Rere menyeka air matanya, lalu kembali menoleh ke belakang.
“Apa lagi?” tanya Rere.
Raka tersenyum sinis, lalu menghampiri Rere dengan langkah angkuhnya.
“Ya... inilah Raka yang sebenarnya. Beginilah sikap Raka sama lo Re... lo udah sadar, kan sekarang?” Rere berucap dalam hatinya sendiri.
“Apa lo kenal sama yang namanya Putri?” tanya Raka.
Rere menelan ludah. Dia menghindari tatapan mata Raka, lalu menjawab dengan nada yang terdengar canggung.
“P-Putri...? gue nggak kenal sama yang namanya Putri,” jawab Rere.
“Masa sih? Dia tinggal di kompleks ini juga kok,” ucap Raka.
“Terus apa gue harus kenal sama semua penghuni kompleks ini?” Rere berpura-pura acuh, lalu kembali melangkah pergi.
***
Rere meneguk air mineral kemasan itu hingga botolnya kosong dan mengerut. Setelah itu dia masuk ke kamar mandi dan langsung membasuh wajahnya berulang-ulang. Jemarinya bahkan masih saja gemetaran. Dia tidak menyangka bahwa Raka sudah bisa melihat. Rere menatap bayangannya sendiri di cermin dengan tatapan nanar. Dia hampir saja melakukan kesalahan besar.
“Lalu kenapa dia masih memakai tongkatnya...? apa dia ingin memberi kejutan sama Putri?” Rere berbisik pelan.
“Gila! sekarang apa yang harus gue lakuin?” Rere terus menggerutu.
“Re... lo ngapain sih, di kamar mandi? Gue udah kebelet nih.” Revan berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi.
“Iya sebentar,” jawab Rere.
Rere menyambar handuknya, lalu segera keluar.
“Mata lo kenapa merah gitu? Lo nangis?” tanya Revan.
“Nggak... mata gue kelilipan debu,” jawab Rere.
“Eh... temen lo itu udah balik ya?” Revan tersenyum menggoda Rere.
Rere tidak menjawab dan langsung masuk ke kamarnya dengan membanting pintu dengan keras. Revan yang tadinya sudah kebelet itu pun kini terpaku karena sikap Rere barusan. Dia kembali dilanda khawatir. Revan memang sudah mengenali watak Rere yang tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Revan tahu bahwa saat ini ada sesuatu yang sudah mengusik ketenangan adiknya Rere.
Sementara di dalam kamar, Rere kembali dilanda rasa khawatir dan cemas. Dia terus melangkah bolak balik sambil menggigiti kuku jari tangannya.Handphone miliknya yang terletak di atas meja kembali berdering. Sudah ada puluhan panggilan tak terjawab dan juga puluhan pesan dari Raka. Isi pesannya kurang lebih sama, yaitu menanyakan keberadaan Putri dan memintanya untuk segera bertemu. Rere kembali menutup telinganya dengan perasaan gelisah. Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa sekarang ini. Rere menatap layar handphonenya itu lekat-lekat, lalu segera mematikan handphone itu.
“Harusnya waktu itu gue nggak usah menemuinya lagi.” Rere mulai dilanda rasa penyesalan.
***
Siang ini Rere dilanda letih yang teramat sangat. Harusnya ini menjadi momen liburan semester yang menyenangkan. Namun nyatanya kepulangan Raka kini mulai mendatangkan bencana. Semalam Rere bahkan tidak bisa tertidur karena terus memikirkan cara untuk memutus hubungan Raka dan Putri. Meski terkesan aneh dan mencurigakan, Rere tidak punya pilihan lain selain menghilangkan segala tentang Putri secara tiba-tiba.
Rere sudah melepas kartu SIMnya. Dia sudah memutus satu-satunya akses Raka untuk menghubunginya. Setidaknya untuk saat ini dia sudah merasa sedikit aman. Bagaimanapun juga dia harus mengubur rahasia itu dalam-dalam.
Rere mengambil sebuah buku n****+ yang baru saja dibelinya, lalu beranjak ke ke halaman rumahnya. Dia membaca buku itu sambil duduk di ayunan yang bergerak pelan. Rere mulai terhanyut dalam cerita di dalam buku itu. Sesekali dia tersenyum dan tertawa. Rere begitu asyik hingga dia tidak sadar bahwa ada sepasang mata yang sejak tadi terus memerhatikannya.
Awalnya Raka terkejut karena mendengar suara tawa dari balik pagar. Dia meletakkan gitarnya, lalu mengendap-ngendap untuk mengintip ke balik tembok. Terlihat sosok Rere yang sedang asyik dengan buku bacaannya. Raka pun mengernyitkan dahinya. Dia tidak percaya bahwa mahluk seperti Rere bisa membaca buku.
“Ngapain tuh anak,” desis Raka dalam hatinya.
Raka berniat untuk pergi, namun pemandangan yang baru saja dilihatnya itu seakan menahan langkahnya. Senyuman Rere membuat Raka tersentak. Entah kenapa dadanya berdesir melihat senyuman itu. Sosok Rere yang sedang membaca buku di atas ayunan itu terlihat bagaikan tokoh dalam drama remaja di televisi. Rambutnya berkibar pelan di tiup angin. Terpaan cahaya matahari juga membuat wajahnya terlihat bersinar. Tanpa sadar Raka terus menatapnya lekat-lekat hingga kemudian seulas senyum terukir di wajahnya.
“Gila! ngapain gue barusan?” Raka menampar pipinya sendiri.
“Lo ngapain?” hardik Rere.
Tubuh Raka menggelinjang karena terkejut.
“Lo ngintipin gue?” Rere menutup bukunya lalu melangkah mendekati pagar pembatas.
“Ha...? gue ngintipin lo?” najis.” Raka memasang wajah sinis.
“Terus lo ngapain liat-liat ke sini?” tanya Rere.
“O... itu... ooo gue lagi nyari hamster gue yang lepas barusan.” Raka mulai mengrang indah.
“Emang hamster lo bisa terbang ngelompatin pagar yang tinggi ini?” Rere berdecak pelan.
“Hamster gue itu beda!” bentak Raka.
Rere tertawa pelan. “Oh... oke deh.” Rere berbalik menuju ayunannya kembali.
“Lo beneran nggak kenal sama yang namanya Putri?”
Pertanyaan Raka membuat Rere terperanjat.
“Gue nggak tau siapa dia.” Rere menjawab tanpa menoleh ke belakang.
Raka pun menatap heran. Dia juga sudah iseng-iseng bertanya pada beberapa orang yang ditemuinya di kompleks ini. Namun tidak ada satu orang pun yang kenal dengan yang namanya Putri. Disisi lain dia mulai menangkap reaksi Rere yang terkesan mencurigakan. Tanpa pikir panjang Raka pun langsung melompati pagar itu dan segera menarik lengan Rere dengan kasar.
“L-lo ngapain sih?” Rere terkejut setengah mati.
“Lo beneran nggak kenal sama yang namanya Putri?” Raka mengulangi pertanyaannya.
Rere menelan ludah. Tatapannya tertuju pada tangan Raka yang masih memegang lengannya.
“Lepasin tangan gue!” bentak Rere.
Raka tersadar, lalu melepaskan tangan Rere.
“Lo belum ngejawab pertanyaan gue,” ucap Raka.
Rere mendesah pelan. “Emangnya Putri itu siapa sih, gue bener-bener nggak kenal sama dia. Besok kalo gue dapet info tentang dia... gue bakalan ngasih tau lo.” Rere mengambil novelnya, lalu bermaksud lari ke dalam rumah.
“Putri itu orang yang berharga buat gue.”
Ucapan Raka membuat pupil mata Rere bergetar. Dia memeluk n****+ di dadanya lebih erat, lalu menoleh perlahan.
Raka menatapnya dengan sorot mata penuh harap. Tidak ada lagi tatapan sinis dan raut wajah yang menjengkelkan. Raka benar-benar terlihat sedih dan putus asa. Dia melangkah mendekati Rere, lalu menatapnya dengan mata sendu.
“Pokoknya gue harus ketemu sama dia! jadi kalo lo nemuin sesuatu tentang dia... please lo harus kasih tau sama gue,” ucap Raka.
***
bersambung...