Airin menghentikan langkahnya dan menatap Rere dengan nanar. Bagaimanapun juga dia tidak ingin terlibat dengan sosok Raka. Lebih jauh lagi dia merasa kesal karena Rere telah melibatkankannya dalam drama kebohongan ini. Airin berniat putar badan, namun Rere langsung mencegatnya dengan wajah memelas.
“Please Rin... lo harus bantuin gue,” pinta Rere.
Airin menghela napas sebentar. “Aku nggak bisa ngelakuin ini Re.” Airin melangkah kembali menuju kamar Rere.
“Rin... gue mohon sama lo.” air mata Rere mulai berlinang.
“Aku nggak bisa Re. Aku nggak mau pura-pura jadi Putri dan nemu—”
“Cuma lo yang bisa nyelamatin gue.” Rere langsung memotong pembicaraan.
Airin pun terdiam melihat air mata Rere yang sudah menitik. Dia pun akhirnya mengangguk lemah untuk menyanggupi permintaan Rere. Airin menelan ludah dan menatap Raka di luar sana. Dia benar-benar takut menemui sosok yang terlihat beringas di matanya itu. Sebelum keluar Rere menarik tangan Airin kembali.
“Sebentar Rin....” Rere memasangkan liontin pemberian Raka pada Airin.
“Aku takut Re,” ucap Airin.
“Tenang aja. Gue bakalan nemenin lo... lo ingetkan, semua yang udah gue ceritain tentang Raka?” tanya Rere.
Airin mengangguk pelan.
“Ya udah... ayo kita temui dia sekarang,” ucap Rere.
Tatapan Raka langsung tertuju pada sosok Airin yang baru saja keluar dari rumah Rere. Dia menatap gadis berambut panjang itu lekat-lekat. Sementara Airin melangkah gugup sambil menundukkan wajah. Rere yang ada di sampingnya tak kalah gugup. Keduanya terus melangkah gamang menghampiri Raka yang sudah lama menunggu sedari tadi.
“D-dia yang namanya Airin?” tanya Raka.
“I-iya,” jawab Rere.
Airin menatap Raka sekilas, kemudian langsung memalingkan wajahnya ketika Raka balas menatapnya.
“Gue mau ngomong sebentar sama lo... bisa kan?” tanya Raka.
Airin menelan ludah kemudian mengangguk pelam.
“Sekarang lo ikut sama gue,” ucap Raka.
“IKUT...? KE MANA?” Airin dan Rere kompak berteriak histeris.
Raka menatap heran. “Gue mau ngomong empat mata sama lo,” jawab Raka.
“T-tapi....” Airin menjadi gugup dan langsung menatap Rere dengan gelisah.
“K-kenapa nggak ngomong di sini aja,” sergah Rere.
Raka beralih menatap Rere, lalu tersenyum sinis. “Lo ngapain masih di sini?”
Rere terhenyak mendengar kalimat itu. Matanya tersentak di saat Raka menarik Airin dari sisinya. Rere pun tidak bisa berkata-kata lagi. Tatapan tajam Raka padanya membuat Rere tertunduk takut. Airin yang terkejut pun menatap Raka dengan mata melotot. Sementara Raka membalasnya dengan tatapan lembut. Raka menggenggam tangan Airin perlahan, lalu menampilkan senyum manis.
“Kita pergi sekarang, ya!” ucap Raka.
Bagai terkena mantera sihir, Airin hanya bisa mengangguk pelan. Raka pun segera membawanya pergi dari sana. Sementara Rere hanya bisa menyaksikan pemandangan itu dengan rasa perih yang mulai menggerogoti hatinya. Tatapan Rere terpaku pada tangan Airin yang masih digenggam Raka dengan erat. Rere menatap punggung keduanya dengan perasaan yang mulai berkecamuk. Helaan napasnya mulai terdengar berat. Linangan air matanya bersiap untuk mengalir. Namun tiba-tiba saja Raka kembali berbalik, kemudian menghampiri Rere kembali.
“A-ada apa?” Rere menghindari tatapan mata Raka.
“Thanks... makasih udah bantuin gue buat nemuin sosok Putri... sekarang nggak ada lagi alasan buat kita saling bicara ataupun saling bertemu lagi.” Raka berucap ketus.
“I-iya,” jawab Rere.
Raka mengulurkan tangannya dengan tatapan dingin.
“Makasih Re,” ucapnya.
Rere pun menyambut uluran tangan itu dengan perasaan buncah. “Sama-sama,” balasnya.
***
Raka memutar-mutar sedotan di gelas jus miliknya dengan tatapan yang masih terpaku pada sosok Airin. Dia menatap sosok gadis berparas ayu itu dengan seksama. Airin pun menjadi salah tingkah dan terus menghindari tatapan Raka. Kali ini tatapan Raka beralih pada liontin yang dipakai oleh Airin. Sesaat Raka termenung, kemudian dia tersenyum senang. Airin yang merasa heran dengan sikapnya itu mengernyitkan kening, lalu memberanikan diri untuk mulai bersuara.
“A-ada apa?” tanya Airin.
“Nggak... nggak ada apa-apa kok,” jawab Raka.
“Kenapa kamu ketawa barusan?” tanya Airin.
Raka tersenyum lembut. “Karena lo itu ngegemesin,” jawab Raka.
Airin yang sedang menyerupu jus jeruk miliknya langsung tersedak dan memukul-mukul dadanya dengan pelan.
“Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Raka.
Airin menggeleng sambil berdehem beberapa kali. Setelah itu suasana pun kembali hening. Raka masih terlihat ragu-ragu untuk berucap. Sementara Airin mulai gelisah dan ingin cepat-cepat pergi dari sana.
“Kenapa lo bohongin gue?”
Pertanyaan itu membuat Airin tersentak. Dia terdiam dan langsung menundukkan wajahnya. Airin berpikir keras untuk menemukan jawaban yang sekiranya tepat dan tidak mencurigakan. Sementara Raka masih menunggu jawaban dengan wajah serius.
“M-maafin aku,” ucap Airin kemudian.
“Kenapa?” tanya Raka.
“A-awalnya aku pikir hubungan kita nggak akan sedeket ini... itulah makanya saat awal ketemu itu aku bohong soal nama aku.” Airin yang gugup mengepalkan tinjunyakuat-kuat.
Raka hanya diam. Dia terus menatap Airin tanpa berkedip. Tatapannya menyiratkan ketidakpuasan atas jawaban itu. Raka menundukkan wajahnya sebentar, kemudian kembali menatap Airin lekat-lekat.
“Terus kenapa lo nggak mengakuinya di kemudian hari?” tanya Raka.
Airin menelan ludah. Dia benar-benar bingung menjawab pertanyaan itu. Otaknya yang jarang dipakai berpikir kini terasa panas. Airin benar-benar gelisah dan tidak bisa lagi melanjutkan pembicaraan dengan Raka. Setiap kalimat yang keluar dari bibir Raka terasa bagaikan anak panah yang terus menghujam jantungnya. Tatapan Airin beralih pada pintu kafe di ujung sana.
“Apa aku kabur aja?” Airin berucap dalam hatinya.
“Kenapa lo nggak ngejawab pertanyaan gue?” sergah Raka.
“I-itu—”
“Kalau ngomong itu... tatap mata lawan bicaranya.” Raka mengangkat dagu Airin dengan jari telunjukknya.
Airin pun terkejut. Jantungnya kini berdetak dua kali lebih cepat. Napasnya tertahan saat Raka tersenyum lembut padanya. Lehernya kini terasa kaku sehingga tidak mau lagi menuruti pintanya untuk menghindari tatapan Raka.
“Kenapa kamu berbohong sampaia akhir?” Raka mengulangi pertanyaannya.
“K-karena aku nggak mau bikin kamu kecewa,” jawab Airin.
Raka tersenyum tipis. Sepertinya jawaban itu masuk akal baginya.
“Alasan lainnya?” Raka kembali bertanya.
“Mmm... alasan lainnya adalah karena aku adalah sahabatnya Rere. Sementara aku sendiri tahu kalau kamu dan Rere pernah....” Airin menghentikan kalimatnya.
Raut wajah Raka langsung berubah. Senyumnya mendadak surut berganti dengan wajah yang mulai memerah. Sepertinya dia malu karena masa lalunya itu telah diketahui oleh Airin.
“A-aku takut kamu nggak mau jadi temen aku... kalau kamu tau bahwa aku adalah temennya Rere.” Airin melanjutkan kalimatnya.
Raka kembali mengangkat wajahnya. “Jadi itu alasannya?”
“I-iya... aku tau kamu dan Rere memiliki hubungan yang kurang baik. Karena itulah aku pikir sebaiknya kamu nggak usah tau siapa aku sebenernya... aku takut kalau nantinya kamu juga jadi benci sama aku.”
Raka menatap Airin dengan lembut, kemudian tersenyum.
“Gue bisa nerima semua alasan, lo.”
“M-maafin aku Raka,” ucap Airin dengan suara lirih.
“Lo nggak perlu minta maaf... karena saat ini gue bener-bener bahagia karena bisa ketemu sama lo lagi.”
“M-maksud kamu?” Airin tidak bisa mencerna maksud ucapan Raka itu.
“Intinya gue nggak peduli sama apa yang terjadi di masa lalu... yang penting sekarang lo udah ada di sini,” tutur Raka dengan suara rendah.
Airin menelan ludah. Semua ini diluar rencana. Dia hanya ingin menyampaikan permintaan maaf sebagai sosok Putri kemudian mengakhiri semuanya. Namun nyatanya respon Raka tidak seperti yang di harapkan. Airin menduga Raka akan marah dan sedikit membenci sosok Putri karena telah membohonginya. Namun nyatanya Raka kini malah tersenyum kepadanya.
“Pokoknya maafin aku atas semua yang terjadi di masa lalu... maaf karena udah ngebohongin kamu selama ini... maaf karena belakangan ini aku selalu menghindari kamu... sekarang aku harus pergi!” Airin bangkit dari kursinya dan melangkah pergi.
Raka yang merasa heran dengan sikap Airin itu pun langsung mengejarnya.
“Rin... tunggu gue Rin!”
“Airin... kenapa lo pergi gitu aja?”
Airin tidak menjawab dan terus mempercepat langkahnya. Sementara Raka masih terus memaju langkah untuk mengiringinya.
“Maaf Raka... tapi sebaiknya kita nggak usah ketemu lagi.” Airin berucap pelan, kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
Raka pun terdiam dan tidak lagi mengejar Airin. Dia menatap punggung Airin dengan perasaan getir.
“Apa semua ini karena Rere...!?” teriak Raka.
Langkah Airin terhenti. Sikapnya ternyata membuat Raka menjadi salah sangka. Airin kini bimbang harus kembali untuk menjelaskan, atau melanjutkan langkahnya pergi dari sana. Airin tidak ingin terlibat dengan Raka lebih jauh lagi. Namun disisi lain dia juga tidak ingin Raka semakin membenci sahabatnya Rere. Ditengah rasa bimbangnya, Airin terkejut karena sosok Raka tiba-tiba memeluknya dari belakang. Airin membalalak kaget, sementara Raka melingkarkan tangannya lebih erat lagi.
“Memangnya kenapa kalo Rere itu sahabat lo...? gue nggak peduli lo itu sahabatnya Rere, lo itu Putri atau Airin. Karena yang penting adalah gue udah bisa nemuin lo lagi dan gue harap... lo nggak akan pergi ninggalin gue lagi.”
.
.
.
Bersambung …