Sejak pertemuan di rumah Adit waktu itu, Airin terkesan mulai menghindar dan menutup diri. Dia selalu menolak saat Rere dan Adit mengajaknya untuk bermain bersama. Airin bahkan keluar dari grup chatting mereka. Selain itu Airin juga tidak pernah lagi mengangkat telepon dari Rere. Hal itu tentu saja membuat Rere dan Adit menjadi bingung. Mereka bertanya-tanya kesalahan apa yang sudah mereka perbuat hingga membuat Airin jadi merajuk seperti itu.
“Lo yakin nggak ngomong sesuatu yang mungkin menyinggung perasaan dia?” Rere menatap Adit curiga.
“Ya enggaklah... lo kali!” Adit menuding balik.
“Aaah... sebenarnya tu anak kenapa, sih?” Rere mendesah pendek.
Adit mencoba mengingat-ingat apa yang sudah terjadi. Dia teringat gelagat Airin mulai berubah saat dia memuji rambut Rere disaat itu. Adit menelan ludah dan paham dengan situasi yang sudah terjadi. Sebenarnya dia pribadi sudah lama mengetahui bahwa Airin memiliki perasaan padanya. Hanya saja Adit terus mengabaikan dan berpura-pura tidak mengetahuinya. Adit pikir perasaan Airin itu akan memudar seiring berjalannya waktu. Namun nyatanya dia masih saja menatapnya dengan binar mata yang sama.
“Woi... kok lo malah bengong, sih?” tegur Rere.
“Ah... nggak kok. Siapa juga yang bengong.”
“Kita samperin dia ke rumahnya aja, yuk!” ajak Rere.
“K-ke rumahnya Airin?”
“Iya... kita samperin dia dan kita tanya apa sebenernya yang udah terjadi,” ucap Rere.
Adit terlihat gugup. “Lo sendiri aja deh yang ke sana.”
“Kenapa?” Rere mulai menangkap kegugupan Adit.
“Yah... ngapain juga gue ke sana,” jawab Adit.
Rere menyipitkan matanya menatap Adit. Yang ditatap pun kini mulai mengalihkan pandangannya.
“Apa ada sesuatu yang terjadi antara lo sama Airin?”
Adit terhenyak mendengar pertanyaan itu. Dia tidak menjawab dan malah meneguk gelas kopinya.
“Dit... ada apa?” Rere kembali bertanya.
“Nggak ada apa-apa kok,” jawab Adit.
“Okey... kalau emang nggak ada apa-apa, berarti juga nggak ada alasan buat lo untuk menolak ikut ke rumah Airin.” Rere pun langsung menyeret Adit untuk pergi ke rumah Airin.
***
“Ya udah... Tante ke bawah dulu ya. Silakan dinikmati minuman dan kuenya.” Mama Airin tersenyum, lalu kembali melangkah pergi.
“Makasih Tante,” ucap Rere.
“M-makasih Tante.” Adit bertingkah seperti burung beo.
Sepeninggal mamanya Airin, suasana pun kembali menjadi canggung. Airin hanya duduk di ranjangnya sambil menatap keluar jendela. Wajahnya terlihat kuyu. Bibirnya kini berwarna pucat. Mamanya tadi mengatakan bahwa sudah tiga hari Airin merasa tidak enak badan dan tidak mau makan sama sekali.
“Rin....” Rere memanggilnya pelan.
Airin tidak menjawab sama sekali.
Rere pun merasa bingung dan beralih menatap Adit.
“Lo kenapa, Rin? Ada apa?” tanya Adit.
Hening.
Adit pun menatap Rere sambil mengangkat bahunya. Rere hanya bisa menghela napas yang kini terasa sesak. Dia benar-benar tidak mengerti dengan sikap Airin saat ini. Rere sudah belasan tahun menjadi sahabatnya, namun inilah pertama kalinya Airin bertingkah aneh seperti ini.
“Apa gue ada salah sama lo?” tanya Rere.
Kali ini pupil mata Airin bergetar mendengar pertanyaan itu.
“Please Rin... jawab pertanyaan gue. lo tau kan, kalo gue paling nggak suka kayak gini.” Rere mulai menaikkan nada suaranya.
Airin menelan ludah, lalu menggeleng pelan.
“Terus kenapa lo jadi bersikap kayak gini? Lo nggak pernah mau gue ajak keluar, lo juga nggak pernah bales pesan dari gue... dan lo juga keluar dari grup chatting kita,” ucap Rere.
“Maafin aku... tapi kayaknya aku nggak mau lagi bertemu dengan kalian,” ucap Airin dengan suara lirih.
“K-kenapa?” Rere terkejut mendengarkan ucapan Airin. “Bukannnya barusan lo bilang kalau lo nggak punya masalah sama gue... jadi kenapa?”
Tidak ada jawaban yang terlontar dari bibir Airin. Rere pun mengernyit dan menangkap situasi yang mulai terasa ganjil. Tatapannya beralih pada Adit yang kini terlihat salah tingkah. Rere pun juga menyadari bahwa sejak tadi Airin terkesan mengindari kontak mata dengan Adit. Rere menatap Adit lekat-lekat. Adit pun hanya bisa bisa menghela napas, kemudian mencoba memberanikan diri untuk mendekati Airin.
“Kalo lo nggak punya masalah sama Rere, apa itu artinya lo punya masalah sama gue?” tanya Adit.
Airin bergeming dan memalingkan wajahnya.
“Rin... lo bisa tatap mata gue sebentar.” pinta Adit.
“Apaan sih.” Airin mencoba pergi dari sana, namun Adit langsung mencegatnya.
Adit menarik Airin hingga jarak di antara mereka menjadi cukup dekat. Airin pun terkejut dan hanya bisa menundukkan wajahnya. Degup jantungnya kini berdetak lebih cepat. Airin menatap tangan Adit yang masih menggenggam lengannya dengan erat. Sementara Rere yang mulai mengerti dengan situasi itu hanya diam dengan wajah terpekur.
“Rin... sebenernya lo kenapa? apa gue punya salah sama lo? maaf Rin... gue bukan tipikal lelaki super peka yang bisa langsung mengerti tanpa lo bilang apa-apa....” Adit menghela napas sambil memejamkan matanya.
“A-aku....” Airin mulai bersuara pelan.
“Apa? kenapa? ayo ngomong!” Adit menatap Airin dengan tatapan tajam.
“A-aku suka sama kamu, Dit.”
Deg.
Adit tersentak dan tidak bisa bernapas untuk sejenak. Sedetik kemudian dia langsung melepaskan tangan Airin. Bersamaan dengan itu air mata Airin pun mulai menetes. Meski Adit sudah tahu bahwa Airin memiliki perasaa padanya, namun pengakuan itu masih saja mengejutkannya. Adit benar-benar syok dan beringsut mundur. Dia memasang jaket denimnya kembali, mengambil kunci mobilnya, lalu segera pergi dari sana tanpa berkata-kata.
***
Hening.
Sudah tiga jam sejak Adit pergi dan Airin masih saja menangis. Dia tidak bersuara sama sekali, namun air matanya terus saja meleleh pelan. Rere pun hanya bisa menunggu sampai Airin merasa sedikit tenang. Rere terus mencoba menghibur Airin. Tapi sepertinya butuh waktu lebih lama bagi Airin untuk kembali tenang.
“Minum dulu airnya.” Rere memberikan segelas air kepada Airin.
Setelah meminum air itu, Airin pun terlihat sedikit lebih tenang. Dia menyeka sisa air matanya, lalu menatap Rere dengan tersenyum lemah. Rere pun membalas senyuman itu dengan merangkulnya, lalu menepuk-nepuk pundak Airin dengan lembut.
“M-mafin aku ya, Re,” ucap Airin.
Rere melepas pelukannya, lalu menatap Airin. “Kenapa lo minta maaf?”
“Karena aku udah ngehancurin persahabatan kita,” jawab Airin.
Rere terdiam.
“Jadi seperti inilah akhirnya,” ucap Airin lagi.
“Sejak kapan lo suka sama Adit?” tanya Rere.
“Sejak pertama kali kita pergi bermain bersama,” jawab Airin.
“Hmmm... jadi begitu.” Rere merasa canggung dengan topik pembicaraan itu.
“Kamu sendiri... sejak kapan Adit menyukai kamu?”
Rere tersentak mendengar pertanyaan itu. Dia langsung menjadi gugup dan tidak berani menatap Airin. Sementara Airin kini tersenyum tipis, lalu memegang dagu Rere agar menghadap lurus padanya.
“Aku udah tau semuanya, kok,” ujar Airin.
“G-gue—”
“Pada akhirnya kita hanya saling menyakiti satu sama lain.” Airin langsung memotong pembicaraan.
Rere terpekur mendengar kalimat itu. Dia pun menyadari apa yang kini telah terjadi dalam hubungan persahabatan mereka. Rere telah menyakiti Adit karena tidak bisa membalas perasaannya. Adit pun secara tidak sengaja telah menyakiti Airin. Dibalik semua canda tawa dan keakraban, dibalik semua kesenangan yang telah dilalui bersama, nyatanya mereka hanya saling melukai satu sama lain.
“Ini adalah pertama kalinya aku merasakan indahnya jatuh cinta... dan pertama kalinya juga aku merasakan sakitnya patah hati.” Airin tersenyum hambar.
“Rin... maafin gue.”
“Maafin gue, Rin.” Rere terus mengulang kalimat yang sama.
“Kamu nggak perlu minta maaf, Re... karena sejatinya, yang salah adalah diri kia sendiri... yang tetap berharap pada sesuatu yang sulit untuk di gapai.”
***
Langkah Rere terhenti. Ucapan Airin barusan masih terngiang-ngiang di telinganya. Entah kenapa dia merasa tersentil dengan ucapan itu. Rere tersenyum pelan. Kenyataannya apa yang dikatakan oleh Airin itu memang benar. Mereka hanya saling menatap punggung masing-masing tanpa pernah saling berhadapan. Airin menatap Adit yang hanya menatap menatap Rere. Sementara Rere sendiri juga sibuk menatap Raka yang juga tidak bisa diraihnya. Lucunya lagi, Raka kini menatap sosok Putri yang nyatanya palsu dan semu.
“Apa ini semua karma buat gue?” Rere bertanya pada dirinya sendiri.
Rere larut dalam lamunan panjang yang tak berujung. Dia kembali hanyut dalam rasa bersalah dan penyesalan terhadap Raka. Matanya terpaku pada no kontak Raka yang kini tertera di layar handphonenya. Rere berusaha meyakinkan dirinya untuk mengakhiri semua kebohongan itu. Sudah waktunya sosok putri berhenti dan menghilang untuk selama-lamanya. Jemarinya masih bergetar hendak memblokir nomor kontak milik Raka.
Tiba-tiba saja handphonenya itu berdering. Rere pun terkejut saat melihat layar handphonenya itu. Setelah menarik napas sejenak, barulah Rere menjawab panggilan itu.
“H-halo...”
“Halo Putri... lo di mana sekarang?”
“A-aku—”
“Gue udah kembali. Gue nungguin lo di depan gerbang rumah gue seperti biasa... gue mau ketemu sama lo sekarang.”
Rere terhenyak dengan tatapan nanar. Sementara Raka masih sibuk berbicara walaupun Rere tidak lagi mendengarnya. Kedua lutut Rere kini terasa lemas. Baru saja dia berniat untuk mengakhiri semuanya. Namun sekarang Raka kembali muncul. Dia sudah pulang dan meminta Rere untuk segera menemuinya. Rere pun kembali bergulat dengan batinnya sendiri. Tetapi tak butuh waktu lama baginya untuk mengambil keputusan. Karena kini dia sudah berlari untuk segera menemui Raka, dengan seulas senyum yang membentang di wajahnya.
.
.
.
Bersambung …
.
.
.