Bolehkan aku merasa bahagia?
Waktu terus berlalu. Musim pun terus berganti. Tidak terasa sudah hampir satu tahun Rere berpisah dengan Raka. Rere kini sudah kembali ceria. Dia juga sudah menjadi pribadi yang dewasa. Berita mengejutkan lainnya adalah Rere telah berhasil membuat seluruh penduduk sekolahnya gempar saat pengumuman kenaikan kelas kemarin. Siapa yang akan menyangka bahwa gadis tengik yang terkenal sebagai biang kerok itu berhasil meraih peringkat satu dikelasnya. Perubahan Rere itu tentu saja membuat orang-orang yang menyayanginya merasa bangga.
“Re... ini gue beliin lo buku paket pelajaran kelas XII yang materinya dijamin top cer.” Revan meletakkan setumpuk buku di atas meja belajar Rere.
Rere pun melihat tumpukan buku itu dengan mulut menganga. “Gila... buku paket ini mahal banget tau... lo dapet uang dari mana?” tanya Rere.
Revan tersenyum bangga. “Gue kan, rajin menabung,” jawabnya.
“Masa iya tabungan lo habis buat gue,” ucap Rere.
“No problem... pokoknya lo cuma perlu belajar lebih giat lagi OK! Sekarang itu lo udah kelas XII... lo mau kuliah di kampus gue, kan?” Revan mengedipkan matanya.
Rere tersenyum tipis, lalu mengangguk cepat.
“Nah... makanya belajar yang rajin ya Adek Abang... kalo ada yang nggak ngerti, kamu bisa tanya sama Abangmu yang pintar ini.” Revan memasang wajah sok imut.
Rere tertawa pelan. “Iya-iya... pokoknya gue bakalan terus neror lo sampe gue ngerti sama materinya,” jawab Rere.
“Bagooos... oh iya, ada satu lagi yang ketinggalan.” Revan kembali merogoh isi ranselnya.
“Apa lagi tuh?” tanya Rere.
“Taraaaa...!”
Mata Rere langsung membulat. Revan memberikan sebuah kotak musik yang memang sudah lama diidam-idamkannya. Kotak musik berbentuk hati dengan warna merah muda itu terlihat begitu cantik dan mewah. Rere menatap Revan dengan mata haru. Revan pun tersenyum manis, lalu mengusap kepala Rere dengan lembut.
***
Awalnya Rere merasa senang dengan perlakuan mama dan Abangnya Revan sejak dia menyandang status sebagai juara kelas. Namun lama kelamaan Rere juga merasa risih dengan sikap yang tidak biasa itu. Rere merasa aneh setiap kali sang mama menatapnya dalam-dalam sambil tersenyum. Dia merasa risih dengan sikap baik Revan yang kadang terlalu lebay dan membuat dia merasa geli.
“Aku nggak mau ke salon Ma.” Rere berusaha melepaskan tangannya dari genggaman sang mama.
Sang mama hanya tersenyum, lalu menyeret Rere masuk ke dalam salon itu.
Rere pun hanya bisa pasrah. Sang mama sibuk berbincang dengan pemilik salon. Sementara Rere mulai menguap menahan kantuk yang mulai menyerang. Petugas salon itu pun mulai melakukan perawatan pada rambutnya. Kegiatan itu terasa melelahkan bagi Rere. Matanya kian terasa berat,namun sang mama langsung mencubitnya setiap kali dia mulai memejamkan mata.
“Wah... kamu cantik sekali sayang,” puji sang mama.
Rere hanya tersenyum canggung. Dia menatap kembali bayangannya di cermin. Tidak ada lagi rambut kribo yang mengembang dan kasar. Rere menyentuh rambut lurusnya yang kini terasa licin dan halus. Perubahan kecil itu nyatanya membawa dampak besar pada penampilannya. Rere terlihat lebih anggun dan dewasa. Sang mama pun merasa puas dan terus melontarkan pujian yang terus dilebih-lebihkannya.
“Kamu cantik banget Re... mirip sama Mama waktu masih muda,” ucap sang mama.
Rere tergelak. “Dulu Mama bilang... aku itu jelek mirip sama Papa,” bantah Rere.
Sang langsung berdehem. “Masa sih... Mama nggak inget pernah ngomong kayak gitu,” elak sang mama.
Rere tersenyum geli. “Ya udah, sekarang kita pulang yuk, Ma... aku udah ngantuk banget ni.” Pinta Rere.
Sang mama langsung menggoyangkan jari telunjuknya.
“Lah... kita mau ke mana lagi?” tanya Rere.
“Belanja pakaian, beli kosmetik, aksesoris, pokoknya semua keperluan kamu... pokoknya hari ini adalah hari khusus buat kamu sayang.”
Sang mama tersenyum, lalu melangkah sambil bersenandung ria. Sementara Rere menelan ludah, lalu mengekor sang mama dengan perasaan yang semakin gelisah.
***
Rere memasang tudung jaketnya sebelum masuk ke rumah Adit. Dia masih malu menunjukkan rambut lurusnya kepada teman-temannya. Rere menghela napas sejenak, lalu memencet bel rumah Adit dengan pelan. Tak lama kemudian Adit pun muncul membukakan pintu.
“Lo lama amat sih,” sergah Adit.
“Sorry deh... tadi gue nemenin Mama dulu belanja ke pasar,” jawab Rere.
“Buruan masuk... Airin juga udah nungguin lo dari tadi,” ucap Adit.
“Oke Boss!” Rere mengangkat tangannya membentuk posisi hormat dan segera menerobos masuk ke dalam rumah.
“Rere...!!!”
Airin terlihat antusias melihat kedatangan Rere. Dia langsung tersenyum sumringah dan menghela napas lega. Rere pun tersenyum geli. Dia tahu Airin pasti merasa canggung. Walaupun sudah berteman lama dengan Adit, Airin tetap saja bersikap kikuk dan malu-malu.
“Seneng amat lo ngeliat gue,” ledek Rere.
“Hehehe... kamu lama banget sih.” Airin kembali merengut.
“Itu kepala lo kenapa di tutupin terus sih.” Adit menatap heran diikuti Airin yang juga baru menyadarinya.
“Iya Re... apa kamu nggak keramas?” tebak Airin.
“Enak aja,” bantah Rere.
Terus kenapa?” selidik Adit.
“Nggak apa-apa kok ah... gue ngerasa kedinginan aja,” jawab Rere.
“T-tapi wajah kamu berkeringat, Re.” Airin menunjuk sebulir keringat yang mengalir pelan di pelipis Rere.
Rere tergagap untuk menjawab. Adit dan Airin pun kini menatap curiga. Rere baru saja hendak melarikan diri, namun dengan sigap Adit langsung mencegatnya.
“Buka tudungnya Rin... biar gue pegangin tangannya,” ucap Adit.
“Lepasin gue nggak!” Rere menggeliat mencoba meloloskan diri.
Kericuhan pun tak terelakkan. Ketiga sekawan itu terlibat pertarungan sengit dalam upaya menguak rahasia dibalik tudung Rere. Suara tawa dan lengkingan suara mereka terdengar nyaring. Adit kesulitan untuk menahan Rere yang lincah. Sementara Airin masih belum juga bisa membuka tudung itu.
“Udah dong, ah... lepasin gue!” teriak Rere.
“Ayo buruan Rin... masa lo nggak bisa sih,” sergah Adit.
Airin meniup wajahnya yang mulai terasa panas. Setelah itu dia kembali melakukan serangan bertubi-tubi. Hingga akhirnya tudung yang menutupi kepala Rere terbuka. Seketika itu juga tawa Adit dan Airin terhenti. Keduanya kini terpana melihat Rere mengibaskan rambut indahnya.
“R-rambut lo—” Adit berucap terpatah-patah.
“K-kamu rebonding Re?” Airin mengerjapkan matanya berkali kali.
Rere hanya tertunduk dengan pipi yang mulai terasa panas. Dia benar-benar merasa malu dan memilih untuk duduk disofa. Adit dan Airin pun langsung melakukan hal yang sama. Mendadak suasana menjadi canggung. Airin hendak melontarkan pujiannya melihat penampilan baru Rere, namun dia tersentak saat melihat bagaimana Adit menatap Rere saat ini.
Adit masih saja terpaku dengan mulut menganga. Binar kagum terpancar jelas dari sorot matanya. Bahkan tadi dia hampir jatuh saat hendak duduk di sofa. Airin masih menatap Adit lekat-lekat. Perlahan seulas senyum mulai terbentuk di wajah Adit. Airin pun memejamkan matanya sejenak. Pemandanga itu benar-benar terasa pedih di hatinya.
“Bukannya kamu pernah bilang kalau rambut keriting itu udah jadi ciri khasnya kamu?” tanya Airin.
“Gue emang suka sama rambut keriting gue,” jawab Rere dengan wajah lesu.
“Terus kenapa kamu malah mengubahnya?” nada suara Airin terdengar sedikit kasar.”
“Gue juga nggak mau kali... tapi Mama gue malah maksa terus. Gue jadi kelihatan aneh ya?” tanya Rere.
Airin tersenyum kecut. “I-iya sih... kamu jadi kelihatan sedi—”
“Cantik, kok!” Adit langsung memotong pembicaraan.
Airin pun terhenyak dan tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. “Jadi menurut kamu Rere kelihatan lebih cantik sekarang?” tanya Airin.
Adit mengangguk pelan dengan tatapan masih terpaku kepada Rere.
“Beneran gue kelihatan lebih cantik?” tanya Rere.
“I-iya... lo cantik kok, dengan rambut lurus kayak gitu,” jawab Adit.
Rere mulai bertingkah sok imut dan terus menggoda Adit. Semantara Airin mulai merasa jengah. Dia mengambil handphonenya dan berpura-pura menjawab sebuah panggilan telepon.
“Eh maaf ya, tiba-tiba aja Mama aku nyuruh pulang,” ucap Airin.
“Yah... kok pulang sih,” ucap Rere.
“Apa mau gue anterin?” tawar Adit.
“Nggak usah.”
Airin memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Setelah itu dia bergegas keluar dari rumah Adit. Airin terus mempercepat langkah kakinya. Pandangannya kini terlihat buram karena genangan air mata. Helaan napasnya mulai terdengar berat. Hingga kemudian langkah kakinya itu terhenti, bersamaan dengan lelehan air mata yang mengucur deras di kedua pipinya.
.
.
.
Liburan akhir semester mulai terasa membosankan. Rere mulai merindukan suasana heboh di kelasnya. Dia tersenyum tipis sambil menatap seragam sekolahnya yang tergantung rapi. Sebelumnya dia selalu merasa waktu liburan semester terlalu singkat, namun kini dia merasa sebaliknya. Apa-apa yang terjadi dalam setahun terakhir telah memberikannya banyak pelajaran. Bahwa ternyata patah hati tak hanya membuat dirinya terpuruk. Ternyata rindu tak hanya sekedar menyesakkan d**a. Segenap perasaan rindunya kepada Raka dijadikannya sebagai motivasi untuk berubah menjadi pribadi yang lebi baik lagi. Karena jauh di dalam lubuk hatinya, Rere masih saja merajut harap. Siapa tahu nantinya, Raka bisa menerima dirinya kembali.
Rere terkejut mendengar handphonenya yang berdering keras. Tangannya sibuk meraba-raba ke bawah bantal untuk mencari benda pipih itu. Setelah menemukannya, Rere menatap layar hanphone itu dengan menyipitkan mata. Tatapannya beralih pada jam dinding yang menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
“Siapa sih, yang nelpon jam segini,” lirih Rere.
Dia menatap nomor kode telepon yang terlihat asing itu. Meski tidak tahu pasti, Rere tahu bahwa itu kode telepon luar negeri.
“H-halo... ini siapa?” tanya Rere.
Hening tak ada jawaban. Rere mengernyit dan menatap layar handphone itu kembali. “Halooo... ini siapa ya?” ulang Rere.
“Apa kabar...?”
Rere langsung terhenyak mendengar suara itu. Seketika napasnya langsung tertahan dengan mata melotot. Rere masih tidak bisa percaya dan menempelkan hanphone itu kembali ke kupingmya.
“Halo... kok lo diem, sih?” ucap seseorang di seberang sana.
“R-Raka...?”
“Iya... ini gue.”
Rere tersenyum senang. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih kencang. Bibirnya sudah bergerak-gerak, namun Rere masih belum bisa melajutkan kata-katanya.
“Apa kabar Put?” tanya Raka.
“Oh... b-baik. Kamu sendiri gimana?” Rere masih merasa canggung.
“Gue juga baik,” jawab Raka.
“Hmm... syukurlah,” ucap Rere.
Keheningan kembali menyebar untuk sekian detik.
“Maafin gue ya, Put.” Raka kembali berucap.
“Maaf buat apa?”
“Karena baru bisa ngehubungin lo.”
Rere tersenyum, lalu menggigit bibirnya sendiri. “Nggak apa-apa kok.”
“Oh iya lo lagi ngapain nih?” tanya Raka.
“Oh... tadi aku lagi tidur sih, kamu nelponnya kemaleman,”sergah Rere.
“Oh iya... aku lupa. Emang sekarang di sana jam berapa?” tanya Raka.
“Jam dua dini hari. Kalau di sana?”
“Di sini baru jam sembilan malam,” jawab Raka.
Senyum Rere terus merekah selama berteleponan dengan Raka. Seakan segala tanya selama ini sudah menemui jawab. Seolah semua rindu kini sudah memiliki muara tempat dia berlabuh. Keduanya saling melepas rindu melalui suara. Rere dan Raka membicarakan tentang banyak hal. Rasa kantuk yang tadi menyerang Rere kini menguap sudah. Dia menikmati setiap desiran suara Raka yang terdengar lembut di telinganya.
“Oh iya... gimana pengobatan kamu?” Rere bertanya dengan sedikit ragu-ragu.
“Hmm....” Raka hanya merespon singkat.
Rere pun langsung mengerti dan segera mengalihkan pembicaraan. Rere terus bercengkerama sambil membuka tirai jendela kamarnya. Malam ini langit terlihat lebih indah. Hembusan angin terasa menyejukkan wajahnya. Rere benar-benar merasa bahagia. Karena hari ini... sosok itu telah kembali muncul di kehidupannya.
***
“Sepertinya hari ini mood lo lagi baik ya,” sindir Revan.
Rere menyengir, lalu mengangguk cepat.
“Ada apa emangnya?” Revan mulai penasaran.
“Kepo banget, sih,” dengus Rere.
Revan memerhatikan adiknya itu lekat-lekat. Sedari tadi dia sibuk dengan handphone dan earphonenya. Sesekali dia tersenyum dan kadang tertawa pelan. Revan yang mulai penasaran kini beranjak pelan ke belakang Rere. Matanya berusaha menerawang ke layar handphone milik Rere. Namun belum sempat dia melihat lebih jauh, Rere sudah memergokinya.
“Lo ngapain sih, ngintip-ngintip,” bentak Rere.
“Lo ngirim pesan suara sama siapa? Banyak banget... isinya pesan suara semua.” Revan menatap heran.
“Bukan urusan lo.” Rere mencibir, lalu segera beranjak ke kamarnya.
Sudah beberapa hari ini Raka selalu menelepon Rere. Mereka bisa berbicara hingga berjam-jam. Bahkan setelah itu mereka masih saja berkirim pesan suara melalui w******p. Rere kembali memutar ulang rekaman suara Raka yang sedang bernyanyi. Suara yang merdu dan khas itu membuat Rere benar-benar merasa melambung ke udara.
If you need someone to take your hand...
I’d gladly be the one to stay right here, right now...
When everythings start turning bad...
I’d take the time to know it’s true...
It’s you...
Wohooo ohooo wooho...
The reason i live is you...
Wohoo ohooo wooho...
Whatever they say, i’ll say it now...
It’s always been you...
I’m so in love with you...
I’d always give it all you know...
There’s no one else...
Just only you...
The one and only you...
I’d tell the world a million times...
You are the apple of my eyes...
Air mata Rere menitik pelan mendengarkan bait demi bait lagu yang dinyanyikan Raka. Semua kenangan yang telah dilaluinya bersama Raka kembali melintas di ingatan. Rere merasa bahagia sekaligus sedih. Dia bahagia karena bisa kembali berhubungan dengan Raka. Tapi dia juga sedih karena hingga detik ini Raka masih belum mengetahui kebenarannya.
“Lagu ini spesial buat lo, Putri... I love you...”
Rere tidak bisa menahan perasaannya ketika mendengarkan kalimat itu. Seakan kenyataan kini memaksanya untuk kembali sadar. Bahwa semua itu bukan untuknya. Tapi untuk Putri. Rere menyeka air matanya lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur. Dadanya kini masih terasa sesak.
“Sadar Re...! lo harus sadar!” Rere terus berucap pelan.
Sedetik kemudian dia kembali bangun dan menatap layar handphonenya. Meski dengan berat hati, akhirnya Rere menghapus semua pesan suara yang telah di kirim oleh Raka. Setelah itu dia kembali berbaring, lalu memejamkan mata. Sesekali air mata masih mengalir dari kelopak matanya yang kini sudah tertutup rapat.
***
“Kemarin lo keliatan happy banget... sekarang kok malah murung?” tanya Revan.
“Hmm... gue nggak apa-apa kok,” jawab Rere.
Revan lalu duduk di sebelah Rere. “Ada apa?” tanyanya.
“Gue Cuma bosan aja... liburnya kelamaan.”
“Oho... wah, lo bener-bener udah berubah ya, Re.” Revan berdecak pelan.
“Terus kenapa? apa gue harus balik kayak dulu lagi?”
“Jangan-jangan! Please gue udah merasa damai akhir-akhir ini,” ucap Revan.
Rere tertawa pelan, kemudian memukul pundak abangnya itu dengan sedikit keras. Revan pun hanya cengengesan lalu membalas pukulan itu dengan mengacak acak rambut Rere pelan.
“Eits... lo jangan sentuh rambut gue dong, nanti rusak,” sergah Rere.
Revan langsung merengut. “Ya elah... baru aja punya rambu terawat udah songong. Jangan lupa diri. Lo mesti ingat potret diri lo di masa lalu... jangan jadi kacang yang lupa ama kulitnya,” ucap Revan.
“Apaan sih, lo Bang. Gue ini sekarang udah cantik tau... oh iya please jangan panggil gue Rere lagi. Tapi panggil gue Rhea... karena sekarang nama itu udah cocok sama image gue saat ini.” Rere tersenyum centil sambil mengibaskan rambutnya.
Revan pun menggelengkan kepalanya melihat tingkah adik tengilnya itu. Revan mengeluarkan handphonenya, mencari sesuatu di galeri, lalu menghadapkan layar handphone itu ke depan wajah Rere.
“Masih inget sama ini nggak?” tanya Revan.
Rere langsung terkesiap. Terlihat sebuah potret Rere di masa lalu yang terlihat konyol. Dia mengenakan pakaian yang terlihat norak dan make up tebal yang membuatnye terlihat seperti ondel-ondel. Itu adalah foto Rere ketika dia diam-diam mencoba berdandan saat hendak pergi ke pesta ulang tahun Raka waktu itu. Siapa sangka ternyata Revan berhasil mengabadikan potretnya itu diam-diam.
“K-kapan lo ngambil foto ini?” Rere setengah berteriak.
Revan mencibir, lalu segera kabur dari sana.
“Hapus nggak...!!!” suara Rere menggema keras.
“Nggak mau! Foto ini adalah harta karun gue,” jawab Revan dari balik pintu kamarnya.
Rere mendengus kesal, tapi kemudian dia juga tersenyum geli. Tatapannya kini beralih pada layar handphonenya. Sudah ada 25 pesan suara dari Raka yang belum dibukanya. Rere menelan ludah. Dia kini sedang dilamun bimbang. Kini dia sadar bahwa ternyata yang tersulit itu bukanlah melawan orang lain, tetapi melawan perasaannya sendiri. Jemarinya terasa gatal hendak membuka pesan itu. Namun kemudian Rere langsung menggeleng cepat. Dia menampar kedua pipinya pelan, lalu segera menekan tombol off pada handphonenya itu.
.
.
.
Bersambung …