Mata Untuk Raka - 28

1387 Kata
Drama Rere merengut panik dan menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Dia menatap Raka yang terduduk di lantai sambil mengerang kesakitan. Rere merasa dongkol sekaligus prihatin. Dia heran bagaimana bisa Raka terjatuh saat menuruni tangga seusai menonton film di bioskop. “Lo jalan nggak pake mata, sih,” dengus Rere. Raka tersenyum tipis. “Dulu nggak pake mata pun gue tetep bisa jalan, kok.” Jawaban Raka membuat Rere terdiam. Dia berjongkok di sebelah Raka dan melihat tungkai kaki Raka yang kini mulai membengkak. Rere coba menyentuh benjolan itu dan Raka pun langsung menggelinjang kesakitan. “Aaaa sakit tau...!” teriak Raka. Rere menyipitkan matanya. “Trus sekarang gimana, nih?” Raka mengangkat bahunya dengan bibir melengkung ke bawah. "Ngeselin banget, sih." Rere mengangkat tinjunya ke udara. "Nah... Ini baru Rere yang gue kenal." Raka berucap lirih. "M-maksud lo?" "Yah... Belakangan ini sikap lo kayak orang lain. Seakan lo lagi memainkan dua peran yang berbeda." Deg. Rere tersentak dan menjadi salah tingkah. Kedua pipinya kini terasa panas. Rere bangun dari duduknya, kemudian berdiri membelakangi Raka. Dia heran dengan sikap Raka yang tiba-tiba saja berubah. Dia terus meracau seakan-akan memancing Rere agar berbicara. Bahkan tadi selama menonton, Rere menyadari bahwa Raka terus menatap padanya. Rere berbalik menatap Raka kembali. “Apa pulangnya pake taksi aja?” “Terus motor gue gimana?” Rere tersadar saat menatap motor itu. “O gimana ya... Ya biar gue yang bawa,” jawab Rere. “Lah... Terus kenapa gue mesti naik taksi. Kan, bisa boncengan sama lo.” Rere menelan ludah. Pupil matanya mulai bergerak liar memikirkan sebuah alasan. “G-gue belum jago ngebonceng orang... Ntar lo malah jatoh,” kilah Rere. “Bohong banget lo, Re.” “Gue nggak bohong.” “Lo selalu bohong.” Ucapan Raka membuat d**a Rere terasa sesak. Dia tidak paham ke mana arah pembicaraan Raka saat ini. Rere pun menjadi gelisah dan bingung. Dia bahkan tidak bisa lagi untuk sekedar menatap matanya. “Lo masih sakit ati sama gue?” Rere memberanikan diri untuk bertanya. Raka tertawa pelan. “Kenapa gue harus sakit ati sama lo? Apa lo udah ngelakuin kesalahan sama gue?” Raka malah menyerang balik dan sukses membuat Rere mati kutu. “Udahlah Raka... Kan, lo sendiri yang bilang bahwa semua udah berakhir... Lo bilang kita bisa mulai lagi dari awal sebagai teman. Tapi kenapa sekarang ini malah bersikap kayak gini?” Rere menumpahkan isi hatinya. “Maksud lo ngomong gitu apaan, Re?” Raka mencoba bangun dari duduknya dengan tertatih. “M-maksud gue—” “Omongan lo kayak seakan-akan kita pernah terjebak dalam sebuah hubungan yang lebih spesial.” Raka langsung memotong pembicaraan. Rere semakin gugup. “K-kita kan, dulu emang pernah menjalin hubungan khusus. Meskipun ternyata lo ngelakuin itu cuma pura-pura.” Raka mengangguk pelan. Kemudian dia kembali menatap Rere dengan tatapan yang menusuk. “Terus apa karena itu lo juga ngebales gue dengan berpura-pura?” Napas Rere tertahan. Sementara Raka memajukan wajahnya lebih dekat ke wajah Rere. “Re... apa mungkin lo itu—” “Udah, ah ayo buruan pulang! Udah larur banget, nih.” Rere mengelak dan langsung melanagkah pergi. Rere menaiki motor Raka dengan jantung yang masih berdegup kencang. Dia memasang helm dan langsung duduk di kursi kemudi. Raka pun hanya bisa menghela napas. Dia melangkah tertatih, kemudian duduk di bangku belakang. “Oh iya...” Rere mengambil ranselnya dan menjadikannya sebagai pembatas duduk antara dia dan Raka. “Lo ngapain Re?” tanya Raka. “U-udah... Pokoknya tasnya taro di sana aja.” Rere berdehem dengan wajah memerah. Sementara Raka menyembunyikan senyumnya dan memalingkan wajah. Raka memejamkan matanya sejenak. Dia menikmati hembusan angin malam yang membelai wajahnya. Perlahan senyumnya mulai mengembang. Bersamaan dengan itu setetes bening menitik di pipinya. Raka benar-benar merasa terlempar ke masa lalu. Dia ingat kenangan bersama Putri saat berboncengan menuju danau di pinggir kota. Beberapa saat kemudian matanya mulai terbuka dengan wajah yang berubah murung. Saat ini Raka benar-benar tengah berada dalam dilema. Dia bahagia karena sudah menemukan Putri yang notabene adalah Airin, tapi entah kenapa dia selalu melihat sosok Putri dalam diri Rere. Semua itu membuat Raka bertanya-tanya siapakah sosok Putri sebenarnya. _ Adit terus menatap jam dinding dengan gelisah. Hanya tinggal lima belas menit lagi, namun rasanya jarum jam itu bergerak sangat lambat. Adit penasaran kenapa Rere tidak masuk ke sekolah hari ini. Firasatnya mengatakan pasti sudah terjadi sesuatu yang mengusik Rere. Adit sendiri sebenarnya sudah gerah dengan drama kebohongan yang dibuat Rere. Dia juga sudah pernah meminta Airin untuk mengatakan kepada Raka siapa Putri sebenarnya. Tetapi jawaban Airin saat itu langsung membuatnya tersentak. “Maafin aku, Dit... tapi aku nggak bisa ngelakuin itu. Aku baru aja ngerasain yang namanya bahagia sejak bertemu dengan Raka. Dia udah bikin hari-hari aku jadi lebih berarti sekarang... Rere punya banyak orang yang sayang sama dia. Dia punya sosok mama yang peduli. Abang yang juga sayang sama dia, dan juga dia punya kamu, Dit... sementara selama ini aku hanya sendiri.” Suara lonceng bergema nyaring. Adit pun segera meraih ranselnya dan bergegas keluar kelas meski Pak Nurman belum menutup pelajaran. Sepanjang perjalanan dia kembali mencoba mengubungi Rere melalui telepon. Namun handphone-nya masih tidak dapat dihubungi. “A-Adit?” “Airin?” Mereke berdua sama-sama terkejut karena bertemu secara tidak sengaja di depan rumah Rere. Keduanya masih mengenakan seragam sekolah masing-masing. “Lo ngapain ke sini?” tanya Adit. “Kamu sendiri ngapain?” “Ah, udahlah... gue mau ketemu sama Rere dulu.” Adit langsung menerobos masuk. “Kamu masih marah ya, sama aku?” Pertanyaan Airin membuat langkah Adit terhenti. “Dan lo masih nanya?” Adit mendelik pelan. “Segitunya ya, Dit... kamu ngebelain Rere.” Airin berucap dengan nada jengkel. Mata Adit menyipit mendengar pernyataan Airin itu. “Maksud lo bicara kayak gitu apa?” Adit kembali berbalik mendekati Airin. Airin tersenyum tipis. “Harusnya yang kamu suruh ngaku itu Rere. Harusnya yang menyelesaikan semua permasalahan ini Rere. Tapi kenapa kamu malah cuma ngedesak aku aja, seakan-akan semua ini itu salah aku?” “Sekarang gue tanya sama lo... lo beneran serius punya perasaan sama Raka?” Airin tidak menjawab dan memalingkan wajahnya. “Apa lo sengaja ngelakuin semua ini buat bikin gue cemburu atau sebagainya? Kalo emang lo berniat kayak gitu... lo udah salah besar, Rin... karena perasaan gue sama lo itu tetep sama. Kita itu hanya teman, nggak lebih.” Airin tersentak mendengar ucapan Adit. Sebulir bening jatuh di pipinya. Kenyataannya dia memang tidak menyukai Raka. Semua ucapan Adit benar adanya. Airin hanya ingin mengambil perhatian Adit. Karena hingga detik ini perasaannya pada Adit tetap sama. Airin masih mencintai dan mengharapkan balasan darinya. “Gue ngerti sama perasaan lo... gue tahu gimana rasa sakitnya. Karena sebenernya posisi gue dan lo itu sama. Kita sama-sama berharap pada apa yang nggak bisa kita miliki. Tapi please Rin... gue nggak mau hubungan pertemanan kita hancur cuma gara-gara masalah hati.” Airin diam terpekur. “Gue nggak pernah belain Rere seperti yang lo bilang itu... gue bahkan juga marah sama dia ketika tau kalau dia nyeret-nyeret lo ke dalam permasalahan ini.” Airin tersentak dan mengangkat wajahnya perlahan menatap Adit yang kini masih emosi. “Meski sulit... tapi gue terus berusaha buat membenahi perasaan gue sama Rere. Gue berusaha menempatkan dia kembali sebagai teman. Gue harap lo juga bisa ngelakuin hal yang sama...” Adit menjeda sebentar. “Gue pengen kita bertiga seperti dulu lagi. Bisa bermain dan tertawa lepas tanpa perlu khawatir dan menjaga perasaan masing-masing.” Airin mengangguk pelan. Hatinya membenarkan semua perkataan Adit. “T-terus sekarang aku mesti gimana? aku juga nggak bisa ngomong begitu aja sama Raka... A-aku—” “Rere... kita harus maksa dia buat mengakui semuanya.” Potong Adit. “S-sebaiknya kita nggak usah terlalu memaksa Rere, Dit.” “Nggak...! pokoknya semua ini harus diakhiri. Rere itu harus mengaku... kalau dia sebenarnya adalah Put—” Ucapan Adit terhenti. Matanya tersentak menyadari siapa yang berdiri di sana. Airin pun langsung menoleh ke arah pandangan Adit dan ikut terkejut. Mereka tidak menyadari bahwa sedari tadi Raka terus melihat mereka dari balik pagar rumahnya. Adit pun menjadi panik dan terlihat gugup. Airin yang ketakutan mulai bersembunyi di balik punggungnya. Sementara Raka dengan santai melompati pagar dan melangkah pelan ke arah mereka berdua. “Gue rasa kita bertiga perlu bicara sebentar,” ucapnya pelan. _ Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN