Lantas bisakah kita bersama?
Raka menambah kecepatan laju sepeda motornya. Segala yang dikatakan oleh Adit dan Airin sudah menjawab keraguannya selama ini. Ternyata dugaannya benar. Ternyata perasaannya selama ini tidaklah salah. Bahwa sosok putri sebenarnya adalah Rere. Selesai berbicara dengan Adit dan Airin, ketiganya pun sibuk mencari keberadaan Rere yang hilang entah ke mana.
Rere tidak berada di rumahnya, dia juga tidak ada di tempat biasa dia bermain, sang mama pun juga tidak tahu ke mana Rere pergi. Ditengah pencarian itu Raka teringat pada satu tempat dan entah kenapa hatinya yakin bahwa Rere ada di sana. Setelah hampir 30 menit menembus jalanan kota yang padat, Raka pun tiba di jalanan yang kecil dan cukup lengang. Dia terus memperlambat laju sepeda motornya dan sibuk menatap keadaan di sekitarnya.
Matanya pun berbinar di saat mulai melihat permukaan danau yang jernih. Akhirnya dia menemukan tempat itu. Raka pun mempercepat laju motornya kembali, hingga kemudian dia berhenti dan melepas helm-nya dengan sorot mata yang terpaku pada sosok yang sedang sibuk melemparkan kerikil-kerikil kecil ke dalam danau.
“Rere...,” Raka menyebut nama itu pelan.
Dia melangkah pelan dengan mata tak berkedip menatap punggung gadis yang selama ini dicarinya itu. Hatinya buncah, bersama semua kenangan masa lalu yang kini melintas di ingatan. Deru suara napas Raka terdengar tidak beraturan. Raka pun mempercepat langkah kakinya dan terjatuh karena tidak melihat tumpukan ranting yang berserakan di tanah.
Rere pun terkejut dan langsung menoleh begitu mendengar suara di belakangnya.
“R-Raka...?”
Rere bangun dari duduknya dan segera menghampiri Raka yang masih tersungkur di tanah.
“K-kamu... k-kenapa kamu bisa ada di sini?” Rere menatap nanar.
Rere sontak lebih terkejut lagi ketika Raka mendongakkan wajahnya. Kedua matanya kini memerah, pangkal gerahamnya beradu kuat, Raka mengepalkan tinjunya kuat-kuat, kemudian bangkit berdiri, dengan masih menatap Rere tajam.
“R-Raka?” Rere yang ketakutan beringsut mundur.
“Kenapa lo ngelakuin semua itu?”suara Raka terdengar serak.
“M-maksud kamu?”
“Kenapa lo udah bohongin gue?”
Rere masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan itu. “M-maksud lo apa? dan lo kenapa nakutin gue kayak gini?” Rere terus melangkah mundur seiring langkah kaki Raka yang terus mendekatinya.
“Kenapa lo nipu gue dengan menjadi Putri...? dan kenapa lo nyuruh Airin buat ngaku-ngaku kalau dia adalah Putri... KENAPAAAAA...!!!” suara hardikan Raka terdengar menggema.
Rere terhenyak dan menatap nanar. Bibirnya kini bergerak-gerak tapi tidak ada kata yang terucap.
“Jawab Re... jawab kenapa lo ngelakuin itu semua?” nada suara Raka terdengar melemah.
“G-gue—”
“Gue udah tahu semuanya dari Adit dan Airin... dan asal lo tau jauh sebelum itu perasaan gue udah bilang kalau lo itu emang Putri...” Raka menjeda sejenak. “Ini bener-bener gila! G-gue bener-bener nggak ngerti sama jalan pikiran lo.”
“M-maafin gue...,” Rere berucap lirih.
“Cuma itu yang bisa lo ucapkan sekarang?”
Rere mengangkat wajahnya dan menatap Raka lekat-lekat. “Terus gue bisa apa? lo itu benci sama gue... lo bahkan mengamuk dan nggak ngizinin gue buat jenguk lo di rumah sakit waktu itu... lo benci ketika gue menjadi Rere! Apa lo pikir kita bisa sedekat itu kalau seandainya di hari gue ngebantuin lo itu... gue bilang gue adalah Rere...?”
Raka terdiam. Raut wajahnya mulai melunak.
“Gue nggak punya pilihan karena lo BENCI sama gue sebagai Rere!” air mata Rere mulai menitik. “Apa lo pikir gue happy ngelihat lo deket sama Airin? apa lo pikir gue seneng nipu lo kayak gitu?”
Rere terdiam dan berusaha menyeka air matanya yang terus saja mengalir. Raka pun kini menatap gadis di depannya itu dengan mata sendu. Perlahan kakinya kembali melangkah mendekati Rere. Gadis itu pun tidak lagi beringsut mundur dan diam di tempatnya.
“Jadi sekarang mau lo itu apa? lo marah sama gue? Oke... gue bakalan nerima semua kema—”
Raka langsung menarik Rere ke dalam pelukannya. Dia memeluk gadis itu erat-erat tanpa berkata-kata. Rere pun terhenyak dan membeku dalam pelukan itu. Raka kini merebahkan wajahnya di pundak Rere. Terasa basah, dia menangis.
“R-Raka...,” Rere memanggilnya pelan.
Rere mencoba melepaskan pelukan itu, tapi Raka memeluknya lebih erat lagi. “Maafin gue, Re... sekarang gue nggak peduli lagi sama apa yang terjadi di masa lalu... gue cuma nggak mau kehilangan lo lagi.”
Rere tersentak. Sejenak ada perasaan hangat terasa mengalir di dadanya. Rere tidak menyangka bahwa Raka akan berkata seperti itu. Perlahan kedua tangan Rere terangkat hendak membalas pelukan itu, tapi kemudian tangan itu kembali turun seiring dengan wajah Rere yang kembali berubah murung.
“M-maaf Raka... t-tapi gue nggak bisa!”
Pelukan Raka mengendur, lalu terlepas pelan. Raka menatap sosok Rere yang kini menghindari tatapan matanya.
“K-kenapa Re? gue udah bilang kalau gue nggak peduli sama yang udah terjadi... dan gue juga tahu kalau dari dulu perasaan lo ke gue itu tetap sama.”
“Maafin gue...,”
Raka terlihat frustasi. “Gue udah maafin lo, Re... kenapa lo terus-terusan minta maaf?”
Rere menggeleng dengan suara tangis yang mulai pecah. Raka pun kini heran melihat sikap Rere yang tidak biasa itu. Raka terus berusaha menenangkannya, tapi Rere terus saja menangis.
“Ada apa, Re...? kenapa lo kayak gini?” Raka mengguncang kedua bahu Rere sedikit keras.
“Maafin gue, Raka... maafin gue.” Rere terus mengulang kalimat yang sama.
“Re... denger gue baik-baik... gue nggak peduli lo udah nipu gue sebagai Putri... gue juga nggak akan mempermasalahkan alasan lo meminta Airin buat mengaku sebagai Putri... jadi bukankah seharusnya ini udah selesai?” tanya Raka.
Rere menatap Raka lekat-lekat, menyeka air matanya, lalu menghela napas sejenak.
“Ada satu hal yang masih gue sembunyiin dari lo,” ucap Rere.
“Apa?”
“S-sebenernya... se-sebenernya—”
“Sebenernya apa, Re?” Raka kembali mengguncang bahu Rere dengan tatapan heran.
“Sebenernya gue yang udah bikin lo kecelakaan.”
Hening.
Raka menarik tangannya perlahan dari bahu Rere. “L-lo becanda kan, Re? s-semua itu nggak bener, kan?”
“Waktu itu gue bener-bener marah sama lo... sampai akhirnya gue bermaksud buat memberi lo pelajaran. Makanya gue pergi ke sekolah dan merusak rem sepeda lo... t-tapi gue nggak nyangka kalau lo bakalan kecelakaan dan akhirnya... menjadi buta.”
Raka beringsut mundur. Rere pun berusaha untuk menjelaskan lebih jauh, tapi Raka menggeleng pelan dan segera pergi dari sana.
“Raka...!”
“Raka...!!!”
Rere terus memanggilnya untuk kembali, tapi Raka terus melangkah pergi dengan sebuah luka yang kini mulai mengoyak dadanya.
_
Drama panjang dan melelahkan itu memang sudah berakhir. Segala rahasia pun juga sudah terkuak. Namun hingga detik ini Rere masih tersiksa akan rasa bersalah yang tak juga menemui titik terang. Sejak pengakuannya hari itu Raka tidak pernah lagi terlihat. Rumahnya selalu terlihat sepi, nomor handphone¬¬¬-nya juga tidak bisa lagi dihubungi.
Adit dan Airin menatap Rere dengan wajah prihatin. Sudah tiga hari ini dia tidak beranjak dari kasurnya. Rere juga diam seribu bahasa tentang apa yang sudah terjadi. Kedua mata itu terpejam di siang hari, kemudian mulai menangis ketika malam datang.
“Sebenernya apa yang terjadi sama kalian?” Airin menatap prihatin.
“Lo bisa cerita sama kita, Re... ada apa? kenapa lo jadi seperti ini?” bujuk Adit.
Rere bungkam dibalik selimut yang menutupi kepalanya.
“Ya udah... mungkin lo emang belum siap buat cerita. Tapi lo nggak bisa terus-terusan kayak gini.” Adit berkata lembut.
“Kamu harus makan, Re... ini aku bawain kamu sate kacang kesukaan kamu lagi,” timpal Airin.
Hening. Tak ada respon sama sekali.
“Tapi si Raka itu ke mana, ya?” kemaren gue lihat rumahnya udah kosong nggak berpenghuni,” ucap Adit.
Rere pun langsung bangun mendengar perkataan itu. “M-maksud lo...?” tanya Rere.
“I-iya sepertinya dia udah nggak tinggal di sana lagi,” jawab Adit.
“Dia nggak ngasih tahu kamu kalau dia pindah rumah?” timpal Airin.
Rere terhenyak dan lekas bangun dari tidurnya. Dia menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, keluar dari rumahnya tanpa mengenakan alas kaki, dan langsung menuju rumah Raka yang kini sudah tergembok rapi. Rere mengintip dari kaca jendela, terlihat kosong. Rumah itu benar-benar sudah kosong melompong.
Rere termangu di depan rumah yang tak berpenghuni itu. Deru napasnya mulai terdengar sesak. Tatapan matanya kini buram karena linangan air mata. Rere lalu memukul-mukul dadanya yang kini terasa sakit. Awan hitam di langit pun mulai mencurahkan hujan. Sesekali suara petir menyambar memekakkan telinga. Semua orang mulai berhamburan masuk ke dalam rumah mereka. Tetapi Rere tetap berdiri di sana, bersama air mata dan hujan yang kini sama derasnya.
_
Lima tahun kemudian ….
Para tamu undangan mulai berdatangan. Semua yang hadir membiaskan rona wajah bahagia. Tidak terkecuali dengan Rere yang hari ini terlihat cantik dalam balutan kebaya warna putih yang dikenakannya. Senyum di wajahnya terus merekah. Dia menyalami semua kerabat dan kenalan yang baru saja tiba.
“Rere...!”
Sebuah suara yang tidak asing membuat Rere melompat kegirangan dan segera menghampirinya.
“Waaah... Airin! lo apa kabar?” tanya Rere.
“Never fell better,” jawab Airin.
Tatapan Rere beralih pada perut Airin yang kini sudah membesar. “Gue masih nggak percaya kalau sebentar lagi lo bakalan jadi seorang ibu,” ucap Rere.
“Waktu berlalu dengan cepat, ya.” Airin tersenyum senang.
“Apa dia masih sering bersikap dingin dan cuek sama lo?” tatapan Rere beralih pada Adit yang kini berdiri di belakang Airin.
Adit terlihat salah tingkah, Airin pun segera menggandeng tangannya. “Dia udah mulai romantis kok, sejak aku mulai mengandung,” jawab Airin.
Rere pun langsung menatap Adit dengan tatapan mengejek.
“Biasa aja dong, Re... udah Rin... kita nyamperin mempelainya dulu. Kita ke sini kan, mau ketemu Bang Revan sama istrinya... Bukan buat ketemu cecenguk ini,” ujar Adit.
Rere tersenyum gemas. Bagaimana pun juga dia turut bahagia melihat Airin dan Adit. Terlalu sering menghabiskan waktu bersama nyatanya membuat hubungan Adit dan Airin melenggang hingga ke pelaminan. Rere pun kembali sibuk menyambut para tamu undangan. Rere tak henti menebar senyuman manisnya.
Tiba-tiba saja Rere melihat sesosok yang tidak asing di antara kerumunan para tamu. Senyuman di wajahnya pun memudar. Rere masih belum memercayai penglihatannya. Apakah ini hanya halusinasi? Apakah ini hanya mimpi? Namun kakinya terus melangkah untuk mendekat. Setelah berada tepat di depan sosok itu, barulah Rere sadar bahwa ini nyata. Wajah yang kini juga menatap padanya itu benar-benar adalah dia.
“R-Raka...!”
_
Bersambung …