Mata Untuk Raka - 30

1784 Kata
Rere masih tidak memercayai penglihatannya. Lelaki yang kini berdiri di hadapannya itu benar-benar adalah Raka. Lelaki itu terlihat sangat dewasa dengan tubuh yang lebih tegap, rambut rapi dan klimis. Perubahan paling mencolok adalah, sekarang Raka memiliki sedikit brewok dan juga kumis tipis yang menghiasi wajahnya. Raka benar-benar sudah menjelma menjadi pria dewasa. Wajar saja. Sudah lima tahun waktu berlalu. Selama itu Rere terus menanti. Selama itu Rere terus terjerat dalam rasa bersalah. Raka menghilang setelah Rere mengakui semua kejahatannya. “Ikuti aku!” ucap Raka kemudian. Deg. Rere agak terkejut, tapi kemudian dia berjalan pergi mengikuti Raka. Nada suara lelaki itu bahkan juga berubah. Raka tidak lagi memakai bahasa gaul seperti di masa lalu. Dia bahkan menggunakan kata ‘aku’ untuk menyebut dirinya sendiri. Raka terus melangkah. Rere pun mengikutinya dengan perasaan yang campur aduk. Hingga akhirnya langkah lelaki itu terhenti. Tap. Rere juga menghentikan langkahnya. Seketika napas Rere langsung tertahan di kerongkangan. Sedangkan Raka masih berdiri membelakanginya dengan kedua tangan masuk ke dalam kantong celana. “Apa hidup kamu baik-baik saja selama ini?” tanya Raka. Glek. Rere agak kesulitan menafsirkan arti pertanyaan itu. Apakah Raka sedang menyindirnya atau memang sekedar bertanya saja. Rere terlihat ragu menjawab. Dia begitu gugup hingga telapak tangannya ikut berkeringat. Raka akhirnya berbalik. Tatapannya begitu tajam dan mengintimidasi. Membuat Rere tidak berani memandangnya dan langsung menundukkan wajah. “Kenapa kamu diam?” “A-aku baik-baik saja,” jawab Rere kemudian. Canggung. Rere merasa aneh. Ada sekelebat perasaan tak biasa yang langsung menyergap. Rere bahkan tidak bisa sekedar berbicara santai seperti di masa lalu. Ia akhirnya juga memakai bahasa formal mengikuti Raka. Raka tersenyum kecut. “Luar biasa. Kamu bahkan masih baik-baik saja setelah semua yang kamu lakukan.” Deg. Rere tertunduk. Rasa bersalah itu kembali menyeruak ke permukaan. Memaksanya kembali untuk mengingat semua rentetan peristiwa masa lalu yang pernah terjadi. “Aku tidak pernah baik-baik saja setelah mengetahui kebenarannya,” tukas Raka lagi. Rere menatap lelaki itu perlahan. “A-aku ….” “Bagaimana bisa kamu baik-baik saja?” Raka mendekat dan menatap tajam. “BAGAIMANA BISA KAMU MELAKUKAN KEGILAAN ITU, HA!” Deg. Rere terkejut saat Raka membentak keras dengan rahang yang menegas. Kedua bola mata lelaki itu langsung memerah dengan suara tarikan napas yang sesak. Rere tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menerima semua kemarahan itu. Dosanya terhadap Raka memang tidak sedikit. Rere sudah membuat lelaki itu celaka dan kemudian Rere juga menipunya. Suasana berubah sunyi. Raka berbalik membelakangi Rere dengan kedua pundak yang naik turun menahan emosi. “Kamu pasti sangat menderita karena sudah menahannya selama ini.” Rere berkata pelan. Raka berbalik dan menatap berang. “Ya … kamu benar! Lima tahun … lima tahun lamanya aku berusaha keras untuk melupakan semuanya. Tapi … segala yang kamu lakukan itu masih saja melekat di benak ini. Aku tidak bisa melupakannya! AKU TIDAK BISA MEMAAFKAN KAMU.” Aliran bening spontan meluncur di pipi Rere. Seiring dengan itu ia langsung duduk bersimpuh di tanah. “Maafkan aku … semua yang aku lakukan benar-benar tidak bisa dimaafkan.” Rere berulang-ulang menyebut kata maaf dengan suara serak. “Apa kamu pikir kata maaf bisa menyelesaikan segalanya?” tanya Raka. Rere meneguk ludah, lalu menengadah menatap Raka dengan mata yang sudah basah. “Aku akan bertanggung jawab atas segala kesalahan itu.” Raka menyipitkan matanya. “Bertanggung jawab?” Rere bangun berdiri. “Kamu bisa melaporkan aku pada pihak yang berwajib. Aku tidak akan membantah. Aku akan mengakui semua kejahatan itu dan mendapatkan hukuman yang setimpal.” Raka sedikit terkejut, tapi dia langsung mengkondisikan raut wajahnya. “Cih, jadi kamu mengatakan bahwa kamu siap untuk dipenjara?” “Iya. Aku siap untuk itu,” jawab Rere sambil menyeka derai air mata di pipinya. Hening. Rere menatap Raka dengan air mata yang terus saja mengalir. Raka pun juga menatap perempuan itu lekat-lekat. Hingga kemudian Raka mengembuskan napas kasar, lalu kembali berkata. “Tapi sayangnya aku tidak menginginkan pertanggung jawaban yang seperti itu.” Deg. Rere mengernyit bingung. “M-maksud kamu?” “Aku ingin kamu melakukan sesuatu yang lain untuk menebus semuanya,” jawab Raka. Rere semakin tidak mengerti. Sedangkan Raka kini mendekat, lalu tersenyum sinis. “Aku kembali karena membutuhkan kamu! Sudah saatnya kamu membayar semua dosa yang pernah kamu lakukan,” tukas Raka. “T-tapi apa? Apa yang sebenarnya kamu inginkan?” tanya Rere. “Kamu hanya perlu melakukan keahlian kamu di masa lalu,” jawab Raka. Deg. Rere menatap bingung. Sedangkan Raka kini mendekat, lalu berbisik ke telinganya. “Keahlian kamu dalam menipu dan berpura-pura ….” “Berpura-pura?” Raka menarik wajahnya, lalu tersenyum. “Ya, berpura-pura ...” . . . Rere mengempaskan tubuhnya ke atas kasur dengan sejuta tanya yang masih menggelayut di pikirannya. Rere masih tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Raka. Lelaki yang sudah lama menghilang itu tiba-tiba kembali dengan sebuah permintaan yang tidak jelas. “Berpura-pura apa? Apa sebenarnya yang dia inginkan?” bisik Rere lirih. Rere kemudian menyurukkan kepalanya di bawah bantal. Suasana di luar sana masih ramai. Acara resepsi pernikahan Revan masih terus berlangsung. Akan tetapi Rere tidak memiliki tenaga lagi untuk bergabung bersama para tamu undangan di luar sana. Saat Rere mempertanyakan maksudnya, Raka malah tidak menjawab. Dia hanya meminta handphone milik Rere, lalu kemudian melakukan panggilan dari handphone Rere ke hanphone-nya untuk mendapatkan nomor perempuan itu. Setelah itu Raka hanya berlalu pergi begitu saja. Deg. Rere kemudian tiba-tiba bangun terduduk dengan perasaan cemas. “Apa dia akan melakukan sesuatu yang buruk? Apa dia juga akan membuat aku menjadi buta?” Semilir angin dingin terasa membelai kuduk Rere. Ia menjadi ketakutan. Ia merasa sangat gamang. Sosok Raka tiba-tiba muncul membawa dendam. Rere tahu semua ini memang adalah konsekuensi atas apa yang sudah ia perbuat, namun tetap saja, Rere merasa ngeri dan ketakutan. Hingga kemudian suara ketukan pintu membuat Rere terkejut. Ia bergegas membukakannya dan ternyata itu adalah Airin. “Kamu ternyata di sini. Aku nyariin kamu dari tadi,” ucap Airin. Rere langsung menarik Airin masuk ke dalam kamarnya dan membawa sahabatnya itu duduk di tepi ranjang. “D-dia kembali, Rin … dia kembali!” Rere berkata dengan raut wajah cemas. Airin menatap bingung. “Dia siapa, Re? Siapa yang kembali?” Rere malah semakin gelisah. “D-dia kembali dan tiba-tiba saja meminta sesuatu yang sangat aneh.” “Tenang dulu, Re! Dia siapa? Siapa yang kembali?” “RAKA …! dia kembali …!” pekik Rere. Deg. Airin sontak terkejut. Sedangkan Rere masih saja meracau tidak jelas. “K-kamu yakin itu dia? Apa kamu tidak sedang berhalusinasi lagi?” tanya Airin. Rere tiba-tiba terdiam. Tatapan matanya berubah nanar. Airin pun menatap Rere dengan wajah prihatin. Rere memang sering seperti itu. Ia bahkan masih harus mengkonsumsi beberapa obat dari psikiater hingga detik ini. Rere kerap kali mengaku melihat Raka, terganggu oleh rasa bersalahnya dan kemudian meracau seperti orang gila. Penampakan sosok Raka selalu muncul tiba-tiba. Kadang saat berada di keramaian, Rere akan langsung berlari mengejar sosok Raka yang hanya ada dalam khayalannya. Rere selalu menghidupkan sosok Raka dalam dunia khayalnya. Rasa bersalah itu benar-benar seperti duri dalam daging yang membuat hidup Rere tidak pernah tenang. “Kamu masih minum obatnya kan, Re?” tanya Airin. Rere meneguk ludah, tatapannya beralih pada botol-botol obat yang ada di atas meja nakas di samping tempat tidurnya. “Sebaiknya kamu minum obat dan beristirahat,” ucap Airin lagi. Rere mengangguk. “Aku keluar dulu.” Airin kemudian keluar dari kamar Rere dan menutup pintu kamarnya dengan hati-hati. Rere pun kemudian termangu sepeninggal Airin. Apa semua yang baru saja ia alami itu lagi-lagi hanyalah delusi? Apa lagi-lagi ia hanya sedang berkhayal? Semua terasa begitu nyata. Namun, yang jadi masalah adalah … Rere tidak pernah bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan itu sendiri. Rere kemudian merebahkan dirinya lagi. Ia menerawang menatap langit-langit kamar, lalu kemudian berbisik lirih. “Sampai kapan aku akan terus seperti ini …?” . . . Keadaan rumah menjadi sunyi karena Revan pergi berbulan madu dengan istrinya ke Bali. Rere pagi ini bangun sedikit terlambat. Ia keluar dari kamar sambil mengucek-ucek mata. Sarapan buatan sang mama pun sudah tersedia seperti biasa di atas meja makan. Rere mendekat dan melihat satu porsi nasi goreng yang di lengkapi dengan sebuah catatan kecil. ‘Hari ini Mama akan pulang terlambat karena mengurus beberapa hal.’ Rere tersenyum, lalu mulai menyantap nasi goreng itu. Rere menikmati sarapannya sambil berselancar di akun i********:. Melihat gosip-gosip terkini dan juga memantau perkembangan berita terbaru. Sebagai seorang jurnalis, Rere tentu harus update dengan semua hot news terkini. Ya, Rere baru saja menamatkan kuliahnya dan langsung bekerja sebagai seorang jurnalis di sebuah majalah lokal yang cukup ternama. Sejauh ini Rere sangat mencintai pekerjaannya. Pekerjaan itu sangat fleksibel. Rere juga banyak melakukan kegiatan di luar untuk mencari berita dan baginya itu terasa sangat menyenangkan. Seperti hari ini. Ia bisa bermalas-malasan karena memang tidak harus datang ke kantor. Hari ini Rere memiliki jadwal yang cukup longgar. Ia mempunyai agenda untuk meliput sebuah konferensi pers perceraian salah satu artis papan atas yang akan digelar siang nanti. Itu artinya Rere masih punya banyak waktu untuk bersantai. Setelah menghabiskan sarapannya, Rere beranjak keluar rumah untuk menikmati matahari pagi. Ia membiarkan cahaya matahari menerpa tubuh dan wajahnya. Terasa hangat dan menenangkan. Rere kemudian memejamkan matanya sejenak. Ia melakukan hal itu cukup lama. Menikmati terpaan mentari pagi dengan mata terpejam. Namun, saat Rere membuka matanya kembali …. Rere langsung terperanjat. Deg. Rere tersentak melihat sosok Raka lagi-lagi berdiri di hadapannya. Raka melangkah mendekat, sedangkan Rere langsung terlihat cemas. “Kita harus melanjutkan pembicaraan kemarin,” ucap Raka. Rere menggeleng dengan wajah panik. Ia bahkan juga memukul-mukul telinganya dengan kedua telapak tangan sambil terus menggeleng-gelengkan kepala. Sikap Rere itu membuat Raka menatap bingung. “Hei … kenapa kamu seperti itu?” sergah Raka. Rere semakin panik. “Nggak … semua ini tidak nyata. Kamu tidak nyata. Kamu hanya ilusi.” Deg. Raka menatap nanar. “A-aku harus masuk dan meminum obat,” ucap Rere sambil berbalik hendak masuk ke dalam rumah. Tapi, kemudian Raka dengan cepat meraih tangan Rere dan menahannya. Deg. Rere terkejut dan kembali menoleh pelan ke belakang. “Kenapa kamu berkata seperti itu, ha? Kenapa kamu mengatakan aku tidak nyata?” tanya Raka dengan wajah geram. Rere terdiam. Dia kemudian menatap Raka lekat-lekat. Tatapan mata Rere penuh dengan keraguan. Penuh dengan binar ketidakyakinan. “A-apa kamu benar-benar nyata?” tanya Rere lirih. Raka merasa kesal dan langsung menyentak tangan Rere dengan kasar. “Cih, apa sekarang kamu sedang berpura-pura menjadi gila untuk melepaskan diri?” Rere meringis kesakitan saat Raka meremas pergelangan tangannya lebih kuat. Sekarang Rere pun tahu bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Raka benar-benar nyata. Lelaki itu ternyata benar-benar kembali. . . . Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN