Mata Untuk Raka - 16

2655 Kata
Pengakuan Rere Rere melangkah riang sambil membawa kantong plastik berisi dua buah es krim di tangannya. Sore ini dia sudah berjanji untuk berkunjung ke rumah Raka. Akhir-akhir ini mereka berdua menjadi lebih dekat. Raka kadang bahkan sengaja menunggu Rere pulang sekolah di depan gerbang rumahnya. Rere pun bersikap sama. Kadang dia sudah tiba di rumah lebih cepat, namun dia kembali keluar jika melihat Raka berdiri di depan gerbang rumahnya. Rere kembali menarik napas sebelum memasuki gerbang rumah Raka. Dia berdehem beberapa kali sambil memegang tenggorokannya. Rere mulai terbiasa berbicara dengan nada yang lembut. Dia benar-benar membangun image yang berbeda sebagai sosok Putri. Rere tahu perbuatannya itu salah. Namun dia berpikir itu juga salah satu cara baginya untuk menebus kesalahannya kepada Raka. Dia ingin menghibur dan menemani Raka. Rere ingin menjadi mata untuk Raka. “Oke ... sekarang lo adalah Putri.” Rere berucap pada dirinya sendiri. Setelah itu Rere segera menghampiri Raka yang sedang duduk di teras rumahnya. Hari ini Raka terlihat manis dengan baju berwarna kuning dengan gambar kartun bebek terpampang di sana. Rere langsung menutup mulutnya menahan tawa. Raka pun kini mulai menyadari kedatangannya. “Putri?” tanya Raka. “I-iya ini aku,” jawab Rere. “Raka tersenyum senang. “Akhirnya lo dateng juga.” Rere terpaku menatap senyuman itu. Hatinya kembali berdesir. Dia tidak bisa memungkiri bahwa hingga detik ini dia masih mencintai Raka. Meski dia sudah tahu bahwa semua hanya pura-pura. Meski Raka sudah menyakiti perasaaanya.  Tapi tetap saja, Raka masih ada di hatinya. Mungkin terdengar gila, tapi itulah kenyataannya. Memang tiada yang bisa mengendalikan rasa cinta. “Oh iya, aku beliin es krim buat kamu.” Rere langsung meletakkan es krim itu di tangan Raka. “Makasih ya, Put,” ucap Raka. “Ayo buruan dimakan, keburu meleleh ntar eskrimnya.” Rere langsung membantu Raka membuka kemasan es krim itu. “Tapi ini nggak ada kacangnya, kan?” tanya Raka. “Iya tenang aja.” Raka tersenyum lalu mulai menikmati es krim itu. Rere pun menarik sebuah kursi lalu duduk di depan Raka. Keduanya kini mulai mengobrol tentang banyak hal. Meski pernah mengatakan bahwa dia tidak butuh teman, nyatanya Raka memang merasa kesepian. Kehadiran sosok Putri benar-benar mengubah hari-harinya. Raka tidak bisa membohongi perasaannya. Dia senang bisa mengenal sosok Putri yang belakangan ini selalu di pikirannya. “Gue bener-bener pengen bisa ngelihat lo,” ucap Raka tiba-tiba. Rere tersentak lalu menelan ludah. “Hmm ....” dia hanya merespon singkat sambil menggigit bibirnya. “Lo pasti cantik,” ucap Raka lagi. “Nggak ah, aku biasa aja. Jelek malah... mungkin kalau kamu udah bisa melihat lagi nanti... kamu nggak akan mau lagi berteman sama aku,” bantah Rere. “Nggak!” Raka cepat membantah. Rere terdiam menatap raut wajah Raka yang berubah serius. “Lo adalah orang pertama yang pengen gue lihat saat gue bisa melihat lagi nanti,” ucap Raka.    Rere terdiam. Rasa sesak kini mulai terasa menghimpit dadanya. Dia sadar semua akan berakhir jika Raka bisa melihat kembali. Bahkan dia yakin bahwa Raka pasti akan lebih membencinya lagi nanti. Rere menatap wajah Raka lekat-lekat. Dia kembali mengingatkan dirinya sendiri bahwa senyum itu bukan untuknya. Bahwa sikap hangat dan keramahan itu didapatkan karena dia menjelma sebagai sosok Putri. “Kok lo diem sih,” tegur Raka. “Ah, nggak kok,” jawab Rere. “Apa lo mulai bosen main sama gue?” tanya Raka. “Nggak kok. Aku malah seneng bisa berteman sama kamu.” “Serius?” “Iya, aku serius,” jawab Rere. Raka tersenyum senang. Rere pun tersenyum getir. “Lo pernah nggak ngerasa menyesal dalam hidup lo?” tanya Raka. Rere terhenyak mendengar pertanyaan itu. “E-emangnya kenapa?” tanya Rere. “Akhir-akhir ini gue mulai dihantui oleh sebuah penyesalan,” jawab Raka. “Memangnya apa yang membuat kamu menyesal?” “Gue udah nyakitin seseorang yang tulus sama gue.” Mata Rere langsung membulat mendengarkan pernyataan itu. Rere masih belum memercayai pendengarannya. Sementara Raka kini menghela napas panjang sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajah. Raut wajahnya menampilkan rasa sesal. Rere pun semakin terkejut melihat ekspresi wajah itu. “S-siapa dia?” tanya Rere dengan suara bergetar. Raka tersenyum tipis. “Ada seorang cewek yang berkepribadian gila,” jawab Raka sambil tertawa pelan. Raut wajah Rere berubah masam. “Tapi terkadang dia juga terlihat manis,” sambung Raka. Raut wajah Rere kembali merona. “T-terus apa yang terjadi?” tanya Rere. “Panjang kalo gue ceritain... pokoknya yang jelas awalnya gue berniat buat ngasih dia pelajaran. Tapi setelah gue diputusin sama pacar gue beberapa waktu yang lalu... gue jadi sering keinget sama dia. Gue mulai sadar akan ketulusan dia sama gue.” Air mata Rere menitik pelan. “Lo dengerin gue ngomong nggak, sih?” tanya Raka. “A-aku denger kok,” jawab Rere dengan suara serak. Raka langsung mengernyit. “Lo nangis?” “Nggak kok, aku nggak nangis,” elak Rere. “Lo bener-bener punya hati yang lembut ya Put. Hati lo mudah tersentuh,” ucap Raka. “Udah ah, lanjut aja ceritanya. Terus sekarang apa kamu pengen ketemu lagi sama dia?” Rere bertanya dengan jantung yang berdegup cepat. Raka berpikir sebentar. Setelah itu dia langsung menggeleng cepat. “K-kenapa?” tanya Rere. “Gue benci sama kepribadiannya,” jawab Raka. Jawaban itu terasa pedih di hati Rere. Dia pun membisu dan tidak bertanya lagi. Salahnya sendiri yang sudah mulai merajut harapan kembali. Rere kembali tersadar akan kenyataan. “Tapi gue juga punya alasan lain yang ngebuat gue nggak pengen ketemu sama dia lagi,” ucap Raka. Rere kembali mengangkat wajahnya. “Apa alasannya?” tanya Rere. “Karena lo Put... karena lo udah hadir di kehidupan gue sekarang.” *** Rere kehilangan nafsu makannya. Dia tidak menghabiskan makanannya dan langsung beranjak ke dalam kamar. Sang mama dan Abangnya Revan pun kembali menatap heran. Padahal menu hari ini adalah makanan favorit Rere. Revan pun sudah menyadari perubahan Rere beberapa hari belakangan ini. Dia juga tahu Rere mulai berubah sejak bermain dengan anak lelaki yang kini menjadi tetangga mereka. “Kenapa lagi sih, dia?” sang mama langsung bangun hendak menyusul Rere ke kamarnya. “Biar Revan aja yang ngomong sama Rere, Ma...,” ucap Revan. Revan pun segera menyusul Rere ke kamarnya. Dia mengetuk pintu kamar itu pelan, namun tidak ada jawaban dari dalam sana. Revan lalu meraih knop pintu itu dan ternyata pintunya tidak dikunci. Dia pun segera membuka pintu itu dengan pelan. Revan menghela napas saat melihat Rere terpaku menatap keluar jendela. Dia mulai jengah dengan kebiasaan baru Rere itu. Revan kini sudah paham mengapa Rere memintanya untuk bertukar kamar. Dengan gusar Revan pun langsung menghampiri Rere lalu menarik lengannya. “Keluar dari kamar ini!” bentak Revan. “Lo kenapa sih Bang?” Rere langsung melepaskan lengannya dari genggaman Revan. “Gue mau lo balik ke kamar lo sekarang juga.” Revan menatap Rere dengan tajam. “Nggak! gue nggak mau,” bantah Rere. “Lo sadar nggak sih Re... sikap lo itu jadi aneh sejak berteman sama anak itu,” ucap Revan. Rere terdiam. “Apa lo segitu kasihannya sama dia? kenapa nggak sekalian aja lo kasih mata lo buat dia,” hardik Revan. Rere menatap nanar. Bibirnya mulai bergetar menahan tangis. Revan pun terkesiap melihat raut wajah yang tak biasa itu. Dia terhenyak menatap Rere yang kini terlihat begitu terpukul. Rere bahkan sampai memukul-mukul dadanya dengan suara isak yang tertahan. “Lo kenapa sih, Re?” Revan mengguncang bahu adiknya itu dengan wajah khawatir.   Rere tidak menjawab dan langsung melepaskan tangan Revan dari bahunya. Dia langsung mengemasi semua barang-barangnya lalu segera keluar dari kamar itu. Revan pun terpana dan mematung di tempatnya. Sedetik kemudian dia beralih menatap sosok Raka di balik jendela sana. Revan menatap geram. Dia benci melihat Rere seperti itu. Mungkin dia memang sering membuat Rere menangis. Tapi dia tidak rela jika adiknya itu menangis karena orang lain. Revan terus menatap sosok Raka lekat-lekat dengan pangkal geraham yang kini beradu kuat. ***   Hari ini Rere tidak masuk sekolah. Dia merasa tidak enak badan dan merasa pusing saat mencoba bangun dari tidurnya. Sang mama pun juga sudah menelpon pihak sekolah untuk meminta izin. Awalnya sang Mama sempat curiga bahwa itu akal-akalan Rere seperti biasanya. Namun setelah memeriksa suhu tubuh Rere, sang mama pun langsung panik dan bergegas mencarikan obat penurun panas demam. “Kenapa badan kamu bisa panas gini sih, Re?” sang mama terlihat cemas. “Rere nggak apa-apa kok, Ma... lebih baik Mama segera ke kantor biar nggak telat,” ucap Rere lirih. “Gimana bisa Mama ninggalin kamu dalam kondi—” “Biar aku yang jaga Rere, Ma....” Revan yang baru muncul langsung memotong pembicaraan. “Terus kuliah kamu gimana?” tanya sang mama. “Aku masih punya jatah cuti, kok.” “Kamu yakin?” tanya sang mama. “Iya Ma. Lebih baik Mama sekarang berangkat ke kantor,” ucap Revan. “Oke deh, Mama titip Rere sama kamu ya, Van.” “Iya Ma.” Sepeninggal sang Mama, Rere pun langsung membalikkan badannya. Dia enggan menatap wajah Revan. Rere masih merasa kesal saat teringat ucapan Revan semalam. Revan pun mengerti jika Rere saat ini marah padanya. Dia menghela napas sejenak, lalu kembali menatap Rere yang kini memunggunginya. “Re ...,” panggilnya pelan. Rere tidak menjawab dan menarik selimutnya hingga menutupi kepala. “Gue tau lo marah sama gue... tapi gue marah ngeliat sikap lo akhir-akhir ini,” ucap Revan. Rere menelan ludah di balik selimutnya. “Apa lo suka sama anak itu?” tanya Revan. Rere tetap bungkam. “Gue nggak pernah ngelarang lo buat suka sama seseorang. Tapi gue nggak bisa ngeliat lo terluka Re... gue nggak tau kenapa lo bisa seperti itu, tapi yang jelas gue nggak mau lo nangis cuma gara-gara seorang pria.” Rere terpaku memikirkan ucapan abangnya itu. “Gue nggak bisa ngeliat lo seperti ini... dari kecil gue udah sering ngeliat Mama nangis gara-gara Papa... dan gue nggak mau lo seperti itu juga.” Rere terhenyak mendengar ucapan Revan. Seketika semua rasa marahnya menguap. Rere membuka selimutnya pelan, lalu berbalik menatap Revan. “G-gue nggak marah kok,” ucap Rere. Revan hanya menatapnya sayu lalu mengusap kepala Rere dengan lembut. “Lo tau nggak Re... apa yang paling sering ngebikin manusia itu kecewa?” tanya Revan. Rere menggeleng pelan. “Yaitu hati yang terlalu berharap sama manusia,” jawab Revan. Rere terdiam. Dia sadar akan apa yang sudah dilakukannya belakangan ini. Dia tidak bisa menyangkal bahwa dia telah merajut harapan kembali kepada sosok Raka. “Gue nggak pernah ngelarang lo buat pacaran ataupun buat punya perasaan sama seseorang.  Itu wajar kok. Tapi gue nggak mau lo terlalu larut dalam hal itu. Karena jalan lo itu masih panjang. Usia lo masih belasan tahun sekarang. Ya... kadang gue masih nggak percaya lo udah tumbuh sebesar ini. Karena di mata gue lo itu masih terlihat seperti bocah yang menggemaskan.” Revan tertawa pelan. Rere pun menyembunyikan senyumnya. “Udah ah ceramahnya... pala gue jadi tambah pusing tau,” dengus Rere. Revan tersenyum karena sikap Rere sudah kembali seperti biasanya. “Iya deh... sekarang lo istirahat ya.” Revan bermaksud untuk pergi dari sana, namun Rere langsung meraih lengannya. “K-kenapa?” tanya Revan. “Temenin gue di sini,” ucap Rere malu-malu. Revan pun tersenyum lalu kembali duduk di tempatnya. Dia menepuk-nepuk pundak Rere dengan lembut lalu mulai menyanyikan lagu pengantar tidur. Suara merdu Revan pun langsung membuat mata Rere meredup. Lama kelamaan mata itu berkedip semakin pelan, pelan, semakin pelan, hingga kemudian menutup rapat. *** “Wajah kamu jadi keliatan kurusan Re,” ucap Airin dengan wajah prihatin. “Masa sih?” tanya Rere. “Iya, kamu kenapa bisa sakit gini sih.” Airin meremas tangan Rere dengan lembut. “Gue udah baikan kok,” ucap Rere. “Gimana nggak sakit... tiap hari makan es krim terus sama si Raka itu... lo itu kan dari dulu nggak bisa makan yang dingin-dingin,” sergah Adit. “Lo dari tadi kenapa jutek terus sih?” Rere mulai bete melihat Adit yang terus memarahinya sedari tadi. Adit tidak menjawab dan mengalihkan pandangannya. Dia benar-benar merasa kesal saat ini. Adit benci melihat Rere kembali dekat dengan Raka. Dia bahkan sudah terlibat baku hantam dengan Raka di kala itu. Namun sekarang Rere malah kembali akrab dengannya. Adit merasa segala yang telah dilakukan untuk Rere itu sia-sia. Dia larut dalam rasa sesalnya sendiri. “Kamu cemburu ya, Dit?” Pertanyaan Airin membuat Adit tersentak. Bukan hanya dia, Rere pun langsung menyemburkan minuman yang baru saja diseruputnya. “Apaan sih lo... ngapain juga gue cemburu,” kilah Adit. Airin hanya tersenyum tipis. Dia tahu hingga detik ini Adit masih mencintai Rere. Meskipun dia terus menyangkalnya. Meskipun Adit mengaku telah membuang segala perasaannya terhadap Rere. Namun dari segala sikap dan perlakuannya masih terpampang jelas bahwa dia masih dengan rasa yang sama. “Terus kenapa kamu marah-marah begitu?” tanya Airin. “Gue marah karena dia itu oonnya nggak ketulungan. Masa iya setelah semua yang dilakuin sama si b******k itu dia masih baik sama dia. Kalo gue jadi lo Re... gue nggak bakalan kasihan ngeliat dia sekarang. Orang yang angkuh kayak dia emang pantes mendapatkan musibah itu biar dia sadar,” dengus Adit. Rere memejamkan matanya sejenak lalu menatap Adit lekat-lekat. “Udah selesai ngomongnya?” tanya Rere. Adit tidak menjawab. “Kalo udah... gue minta lo segera pergi dari sini!” Adit terhenyak dan langsung menatap Rere. Saat ini Rere manatapnya tajam dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Adit benar-benar tidak mengerti dengan sikap Rere saat ini. Adit mengangguk pelan, lalu bangkit dari duduknya. Sementara Airin sekarang bingung harus berbuat apa. Airin bermaksud untuk menenangkan keduanya. Mulutnya terus bergerak-gerak, namun tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Adit meraih jaketnya dengan gusar lalu melangkah keluar. Tapi begitu sampai di depan pintu kamar Rere, langkahnya kembali terhenti. Adit menghela napas sejenak kemudian kembali menatap Rere di belakangnya. “Gue harap lo lekas sadar Re... bahwa yang lo lakuin sekarang itu hanya akan membuat lo terluka lagi,” ucapnya pelan. *** Airin terus berusaha membujuk Rere yang masih saja terus menangis. Dia sendiri juga tidak mengerti kenapa Rere bisa seperti ini. Airin terus menyeka air mata Rere yang jatuh. Airin juga merasa sedih melihat keadaan Rere saat ini. “Udah dong Re... sebenernya ada apa?” tanya Airin. Rere menggeleng pelan. “Aku tau sekarang ini kamu lagi nyembunyiin sesuatu... kamu mungkin bisa ngebohongin yang lain, tapi kamu nggak bisa ngebohongin aku Re,” ucap Airin. “Gue takut Rin,” ucap Rere dengan suara lirih. Airin mengernyitkan dahinya. “Takut kenapa?” Rere terlihat ragu untuk menjawab. Airin pun langsung meraih tangan Rere lalu meremasnya pelan. “Ada apa Re? Apa yang sebenernya udah terjadi?” Rere kembali terisak. Airin pun langsung memeluknya dengan rasa khawatir yang memuncak. “Kenapa Re...? kenapa kamu jadi kayak gini?” Airin juga mulai meneteskan air matanya. “Semua gara-gara gue Rin...,” ucap Rere. “Semua ini gara-gara gue.” Rere terus mengulangi kalimatnya. Airin melepaskan pelukannya lalu memegang kedua pundak Rere. Dia menatap sahabatnya itu lekat-lekat dengan tanda tanya besar yang kini bergelayut di benaknya. Airin pun menunggu hingga Rere sedikit tenang. Setelah itu barulah dia kembali bersuara. “Ada apa Re...? apa yang udah terjadi?” Rere mengatur napasnya sejenak, lalu menatap Airin dengan tatapan sendu. “S-sebenernya... gue yang udah bikin Raka kecelakaan.” Airin tersentak dan tidak bisa berkata-kata. Rere pun kembali menangis menumpahkan rasa sakit yang selama ini di tahannya. Dia menceritakan rentetan perbuatannya itu kepada Airin. Rere akhirnya membagi beban yang selama ini di tanggungnya sendiri itu. Airin pun kini larut dalam pilu. Air matanya mengucur tak kalah derasnya. “Semua akan baik-baik aja... semua akan baik-baik aja.” Airin terus membisikkan kalimat yang sama. Dia terus mencoba menguatkan Rere. Namun kekhawatiran kini mulai menjalar di hatinya. Airin sadar dampak dari perbuatan Rere itu tidak main-main. Dia pun mulai takut memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. ***   Bersambung …  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN