Mata Untuk Raka - 15

2553 Kata
Mahluk halus dan sebuah permintaan Adit terus menatap Rere sambil menggeleng pelan. Tatapan mata Rere kini terlihat kosong. Raut wajahnya juga terlihat begitu kaku. Saat ini Rere sedang menumpahkan saus sambal tanpa henti ke dalam mangkok baksonya. Adit pun hanya memilih diam dan tidak menghentikan aksinya itu. Adit tahu apa yang sedang dipikirkan Rere. Dia tahu apa yang kini sudah mengusik pikiran sahabatnya itu. “Lo lagi mikirin Raka lagi, ya?” sergah Adit. “Eh ... oh, nggak kok,” bantah Rere. Adit menaikkan sebelah alisnya. “Lo nggak bisa boongin gue, Re.” “Sok tau banget sih lo, ngapain juga gue mikirin dia.” Rere mengelak dan mulai menyendok kuah baksonya. “Re, itu—”Adit hendak mencegahnya, namun sudah terlambat. “AAA ...!!! kok jadi pedes gini sih,” teriak Rere sambil mengambil segelas air putih. “Ckckck ... lo harus sembuh Re ... lo harus berobat.” Adit menatap Rere dengan wajah prihatin. “Lo ngerjain gue ya?” tuduh Rere. “Eh kribo! yang nuangin saos itu lo sendiri.” Raka langsung memukul kepala Rere dengan sendok di tangannya. “Aiih ... apaan sih lo Dit, rambut gue jadi bau bakso nih,” ucap Rere. “Mending bau bakso, daripada bau bangke,” ledek Adit. “Udah ah ... gue ke kelas dulu. Lo yang bayar baksonya ya.” Rere langsung bangun dari tempat duduknya dan segera melesat pergi dari sana. “Woy! Bayar sendiri woy!” teriak Adit. Rere hanya mengangkat jarinya membentuk tanda V dan berlalu pergi. Adit tertawa pelan melihat tingkah sahabatnya itu. Namun kemudian tawa itu mulai surut dan berganti dengan wajah murung. Tatapannya beralih pada sapu tangan milik Rere yang tertinggal di meja. Adit mengambil sapu tangan itu lalu melihatnya lekat-lekat. Tertera sebuah nama yang dirajut dari benang di salah satu sudutnya. Adit menghela napas yang terdengar berat. Kemudian dia terpekur dengan menopang dagunya. Matanya masih terpaku pada nama itu. Kemudian bibirnya mulai berucap pelan. “Lo bahkan masih menyukai dia setelah semua ini ...” ***    Sejak Raka menjadi tetangganya, Rere kini memiliki hobi baru sebagai penguntit profesional. Dia selalu menyempatkan diri untuk melihat keberadaan Raka. Kadang dia melompati pagar pembatas lalu mengendap-endap seperti seorang pencuri. Kadang dia memanjat pohon di halaman rumahnya lalu memantau situasi rumah Raka dengan menggunakan teropong. Bahkan saking nekadnya dia pernah duduk di depan Raka yang sedang bermain gitar tanpa ketahuan sama sekali. Sore ini Rere kembali hendak melakukan aksinya. Rere ingin melihat apakah Raka baik-baik saja hari ini. Dia mulai mengendap-endap ke samping rumah lalu meraih pagar tembok itu lalu segera memanjatnya. Tanpa berpikir panjang Rere langsung melompat seperti biasanya. “Huaaa ...!!!” terdengar teriakan dan bunyi kecipak air yang keras. “Siapa itu ...!?” Raka yang sedang duduk santai di halaman rumahnya langsung melangkah dengan bantuan tongkatnya. Rere terhenyak dan langsung menutup mulutnya. Saat ini dia sudah berada di dalam sebuah kolam ikan yang tiba-tiba saja ada di lokasi pendaratannya itu. Padahal seingat Rere sebelumnya tidak ada kolam ikan di sana. Rere mendengus kesal. Kemudian matanya kembali terbelalak saat menyadari bahwa Raka kini sudah berada di hadapannya. “Huss ... husss! ini pasti ada kucing yang mau nyuri ikan nih,” ucap Raka. Raka langsung mengayunkan tongkatnya dengan mambabi buta ke arah kolam. Rere pun terkesiap dan segera menghindari ayunan tongkat itu. Dia meringis dan berharap Raka segera menghentikan aksinya. Namun Raka masih saja bersemangat mengayunkan tongkat itu layaknya seorang pendekar dengan pedang samurainya. TUK Raka merasakan tongkatnya mengenai sebuah benda yang keras. Sementara Rere kini menggigit bibir sambil mengusap kepalanya. Rere tidak bisa menahan diri untuk berteriak karena rasa sakit itu. Dia pun segera membenamkan wajahnya lalu berteriak di dalam air. Teriakan Rere menimbulkan gelembung-gelembung udara dan juga suara aneh yang kembali membuat Raka mengayunkan tongkatnya. “Bandel amat sih ni kucing ... huss! huss!” hardik Raka. Rere pun menatap Raka dengan mata tajam. Sekujur tubuhnya kini telah basah. Kepalanya juga sudah benjol karena pukulan itu. Kesabaran Rere kini pun sudah habis. Dia menatap tongkat yang masih diayun-ayunkan itu dengan mata menyipit, lalu segera menangkapnya. “Hah ...! k-kenapa ini?” Raka langsung tersentak menyadari ada perlawanan ujung sana. Rere pun langsung mendorong tongkat itu. Raka pun beringsut mundur dengan wajah ketakutan. Rere marangkak keluar kolam dengan lelehan air di sekujur tubuhnya. Raka yang masih kebingungan kembali menajamkan pendengarannya. Namun kali ini tidak terdengar apa-apa lagi. Dia menggaruk kepalanya pelan kemudian langsung bergidik ngeri. “Apa jangan-jangan rumah ini ada penunggunya,” bisik Raka pelan. Rere terbelalak mendengar ucapannya itu. Sudahlah dia menjadi korban kekerasan, kini dia juga divonis sebagai sosok mahluk halus. Pandangan Rere beralih pada sebuah gitar yang tergeletak begitu saja di tanah. Dengan langkah pelan dan sambil menahan napas, dia pun mengambil gitar itu lalu meletakkannya di kursi tempat Raka biasa duduk. Setelah itu Rere melesat pun pergi. Sementara Raka masih panik dengan fenomena ganjil yang baru saja dialaminya itu. ***    “Ma ... Mama ngerasa ada yang aneh nggak sih sama rumah ini?” tanya Raka. Sang mama mengernyitkan dahinya lalu menatap Raka perlahan. “Maksud kamu?” “Iya ... rumah ini udah lama kosong kan, Ma?” “Hmm ... sekitar lima tahunan,” jawab sang mama. Raka menelan ludah. “Memangnya kenapa?” tanya sang mama. “Belakangan ini aku ngerasa ada yang ngikutin aku terus Ma ... banyak kejadian aneh yang udah aku alami belakangan ini. Seperti tadi siang, ada suara aneh di kolam ikan kita. Terus juga, aku kemaren sempat kehilangan gitar karena lupa di taroh di mana ... eh nggak taunya udah tergeletak begitu aja di atas kursi,” jelas Raka. Sang mama hanya tersenyum lalu melanjutkan suapan makan malamnya. “Itu cuma perasaan kamu aja kali. Siapa tau kamu emang lupa kalau gitarnya emang ditaroh ada di sana. Kalau yang di kolam itu, kayaknya emang kucing seperti cerita kamu sebelumnya ... soalnya Mama nemuin seekor ikan yang tergeletak dekat pagar pembatas.” Raka hanya mengangguk pelan. Namun perasaan aneh itu masih saja membuatnya bergidik. Dia yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan rumah ini. Dia percaya bahwa ada penjelasan lain pada untuk yang sudah terjadi. Raka lalu mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Dia bertekad untuk menyingkap tabir atas peristiwa ganjil yang sudah menghantuinya. Tiba-tiba suara handphone miliknya berdering keras. Raka segera meraba-raba tombol handphonenya itu lalu segera mengangkat panggilannya. “Halo ... Sofia?” Raka tersenyum sumringah mendengar suara di seberang sana. Dia segera bangkit dari duduknya dan melangkah pelan memasuki kamar dengan meraba dinding. “Ini beneran lo, kan?” tanya Raka sambil menutup rapat pintu kamarnya. “Iya ini aku.” suara Sofia terdengar datar. “Kenapa dari kemaren lo nggak ngangkat telepon gue? gue udah kangen banget dan pengen kete—” “Aku mau kita putus...” Sofia langsung memotong pembicaraan. Raka pun langsung tersentak dan tidak memercayai apa yang baru saja di dengarnya. “M-maksud lo?” “Aku pengen kita break dulu. Aku mau lebih fokus sama sekolah aku sekarang ... dan kayaknya aku nggak punya waktu lagi buat pacar-pacaran.” “T-tunggu tunggu! lo becanda, kan?” “Aku serius Raka ...” “Alasan lo itu nggak masuk akal Sof... selama ini hubungan kita juga nggak pernah berpengaruh sama prestasi kita di sekolah. Apa semua ini gara-gara kondisi gue sekarang?” tanya Raka. Sofia terdiam. Raka pun kini mulai mengerti. “Gue pikir lo itu tulus sama gue. Gue pikir lo itu beda sama yang lain. Tapi nyatanya lo itu sama aja ... cuma ada ketika gue seneng dan pergi di saat gue seperti sekarang ini.” “Maafin aku Raka—” Sofia masih mengutarakan berbagai alasannya. Namun handphone itu kini telah lengser dari genggaman Raka. Dia tidak lagi mendengar apa yang diucapkan oleh Sofia. Raka terpekur dengan rasa sesak yang kini menghimpit dadanya. Maksud hati ingin melepas rindu, malah pilu yang datang menyapa. Raka benar-benar merasa kecewa. Sebening bulir air matanya menetes pelan, bersama getir yang mulai mengoyak perasaannya. ***    20. Pertemuan Kembali Rere pulang ke rumahnya dengan langkah gontai. Dia terus melangkah sambil mendendang sebuah kaleng minuman soda yang ada di hadapannya. Otaknya terasa panas setelah Bu Dina mengadakan ulangan matematika secara mendadak. Rere pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia juga tidak bisa membuat contekan rumus seperti biasanya. Alhasil Rere hanya menyerahkan lembar jawaban yang di isi dengan tulisan tak kasat mata alias kosong. “Aaah ... kenapa harus pake ulangan mendadak sih,” dengus Rere.   Rere terus saja menggerutu. Sampai kemudian langkahnya terhenti saat melihat sosok Raka sedang berdiri di depan gerbang rumahnya. Rere memperlambat langkahnya lalu menatap Raka lekat-lekat. Hari ini dia terlihat begitu murung. Rere bisa melihat jelas raut kesedihan yang terpancar dari wajah itu. “Dia kenapa?” bisik Rere pelan. Rere pun menatap  heran. Semantara Raka kini mulai melangkah hendak menyeberangi jalanan. Seketika itu juga di ujung sana terlihat sebuah motor yang melaju dengan sangat kencang. Rere pun terkesiap. Dia langsung berlari menghampiri Raka kemudian langsung menariknya tepat sebelum motor itu sampai di depan Raka. Rere pun menghela napas lega dengan masih memegangi lengan Raka dengan erat. Sementara Raka masih tertegun setelah menyadari apa yang baru saja terjadi. Bibirnya kini berubah pucat. Detak jantungnya juga berpacu kencang. Kupingnya masih terasa sakit karena suara deru motor yang ugal-ugalan tadi. “M-makasih ya,” ucap Raka pelan. Rere pun tersadar dan langsung melepaskan lengan Raka. Rere bingung harus berbuat apa sekarang. Dia bermaksud untuk pergi dari sana, namun kemudian dia kembali berbalik menatap Raka yang masih terlihat linglung di tempatnya. Rere menghela napas sejenak lalu berdehem beberapa kali sebelum memulai untuk berbicara. “S-sama-sama,” jawab Rere dengan intonasi dan suara selembut mungkin. “Sekali lagi makasih ya. Kalo nggak ada lo mungkin gue udah kecelakaan untuk yang kedua kalinya,” ucap Raka. Pupil mata Rere bergetar mendengar ucapannya itu. Rasa bersalah itu kembali mengambang ke permukaan. Rere terdiam dengan rasa sesal yang kembali menyeruak. Sementara Raka kini mengernyit dan kembali memiringkan wajahnya untuk mendengar jawaban yang tak kunjung keluar dari bibir Rere. “Kok lo diem sih? Apa lo masih ada di sini?” tanya Raka dengan suara pelan. Rere mengangkat wajahnya lalu menatap Raka lekat-lekat. “Gu— A-aku masih di sini,” jawab Rere dengan suara lirih. Raka tersenyum senang. Rere pun terpana melihat senyuman yang sudah lama menghilang itu. “Apa lo juga tinggal di deket sini?” tanya Raka. “I-iya,” jawab Rere. Rere terus menggigit kuku hari tangannya karena gugup. Dia takut akan ketahuan oleh Raka. Namun sepertinya sejauh ini Raka tidak mengenalinya sama sekali. d**a Rere kini mulai bergemuruh karena bisa berbicara lagi dengan sosok Raka yang kini masih tersenyum kepadanya. “Kenalin gue Raka.” Raka mengulurkan tangannya. Rere terkejut dan menatap uluran tangan Raka sambil berkedip berkali-kali. Kemudian dia kembali menatap wajah Raka perlahan. Rere menelan ludah dan mulai merasa panik. Meski sedikit ragu-ragu, Rere pun akhirnya menyambut uluran tangan itu. “A-aku Putri,” jawabnya pelan. *** Rere menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dengan tatapan nanar. Dia masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Rere tidak pernah membayangkan bisa berbicara lagi dengan Raka. Bahkan tadi selesai berkenalan, mereka juga sempat mengobrol cukup lama. Selama itu jugalah Rere diliputi perasaan senang dan takut yang berbaur menjadi satu. Rere takut jika Raka akan mengenalinya. Namun disisi lain dia senang karena bisa berteman lagi dengan Raka walaupun harus berperan sebagai orang yang berbeda. “Gila ...! lo bener-bener udah gila Re. Setelah lo bikin dia celaka, sekarang lo malah nipu dia,” ucap Rere pada dirinya sendiri. Terjadi perang batin yang cukup sengit. Rere bimbang dengan hal yang baru saja dilakukannya itu. Ucapan Raka yang mengajaknya untuk bertemu di lain waktu masih terngiang-ngiang di telinganya. Hatinya mulai berbisik memberikan peringatan akan sebuah petaka yang mungkin saja bisa terjadi. Namun disisi lain Rere juga berpikir inilah kesempatannya untuk bisa kembali berada di sisi Raka. Rere menggaruk-garuk kepalanya lalu membenamkan wajahnya ke atas bantal. Dia benar-benar dilanda galau tingkat akut yang membuat otaknya tidak bisa berpikir jernih. Dia terus menggerutu dengan suara yang tidak jelas. Namun tidak lama kemudian dia langsung bangun dan bergegas keluar dari kamarnya.   “APA ...? pindah kamar?” Revan menatap Rere dengan wajah heran. “Iya, gue mau kita tukeran kamar,” ucap Rere. “Bukannya lo suka kamar di lantai atas? Waktu itu bahkan jari telunjuk gue sampai patah karena bergulat sama lo buat ngerebutin kamar itu.” Revan menyentuh jarinya sambil bergidik ngeri. Rere mendesah pendek. “Pokoknya gue mau kita tukeran kamar.” Rere langsung mengambil sebuah kotak kosong lalu segera memasukkan semua barang-barang Revan ke sana. Tidak ada lagi negosiasi dan penolakan. Revan pun hanya bisa pasrah lalu mulai mengangkat barang-barangnya ke lantai atas. Dia merasa jengkel atas permintaan Rere yang tiba-tiba itu. Revan terus menggerutu dengan wajah masam. Namun saat Rere menatapnya, dia langsung tersenyum manis. “Sekalian bawa barang-barang gue ke sini ya.” Pinta Rere. Revan melongo sebentar lalu memejamkan matanya. Dia menutup mulutnya rapat-rapat dan mencoba menahan emosinya. “Dasar Nenek Lampir ... seenak jidadnya aja nyuruh-nyuruh gue,” dengus Revan. “Apa lo bilang?” tanya Rere. Revan menelan ludah lalu tersenyum canggung. “Nggak kok Dek, Abang nggak ngomong apa-apa. Abang cuma lagi  nyanyi-nyanyi aja, hehehe.” Revan langsung berkilah dan mempercepat langkahnya keluar dari kamar itu *** Rere membuka tirai jendela kamarnya pelan-pelan. Kemudian tatapannya terpaku melihat bingkai jendela di seberang sana. Seulas senyum mulai terbentuk di wajah Rere. Inilah alasannya kenapa dia ingin bertukar kamar dengan abangnya Revan. Karena dari sini Rere bisa melihat Raka. Jarak antara bangunan rumah Rere dan Raka memang cukup dekat dan hanya dibatasi oleh pagar pembatas saja. Istimewanya lagi, posisi jendela kamar Revan dan kamar Raka juga berhadap-hadapan. Saat ini Terlihat Raka sedang memantul-mantulkan bola basketnya dengan pelan. Sorot mata Rere kembali berubah sayu. Dia tahu Raka pasti merindukan olah raga yang sangat disukainya itu. Kali ini bola tergelincir dari tangannya lalu menggelinding di lantai. Raka pun hanya diam di tempatnya berdiri. Pemandangan itu kembali membuat hati Rere terasa perih. Dia pun terus menatap Raka lekat-lekat dengan kedua mata yang kini sudah berkaca-kaca. “Dia ngapain sih!” Rere langsung berbalik dengan wajah yang mulai memerah. Rere terkejut karena tiba-tiba saja Raka melepas pakaiannya. Dia mulai mengipasi wajahnya yang kini terasa panas. Tanpa menoleh ke belakang, Rere pun kembali menutup tirai itu dengan degup jantung yang masih berpacu kencang. Setelah itu barulah dia kembali melepaskan napas yang sempat tertahan. Belum hilang rasa terkejutnya, Rere kembali tergelinjang kaget karena tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya dengan keras. Rere segera membuka pintu itu dan melihat Revan yang langsung menatapnya dengan wajah cemberut. “Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?” tanya Rere. Revan langsung melemparkan bantal yang dibawanya ke wajah Rere. “Apa apaan sih, lo! bentak Rere. “Gue mau ngambil bantal milik gue,” ucap Revan ketus. “Ya udah ambil aja.” “Gue hampir aja meninggal dunia karena aroma racun mematikan yang ada di bantal lo itu,” dengus Revan. “A-apa? R-racun mematikan?” Rere mulai tersinggung. Revan tidak lagi menjawab dan langsung keluar setelah mengambil bantalnya. Sementara Rere masih terpaku menatap bantal kesayangannya yang telah dihina oleh abangnya Revan. Rere mendengus pelan lalu memeluk bantal itu erat-erat. Kemudian dia mulai mengendus-endus bantal itu untuk mencium baunya. “Wangi kok,” bisik Rere sambil tersenyum senang.   . . Bersambung …    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN