Mata Untuk Raka - 17

2555 Kata
Selamat Tinggal Raka Rere kini menjadi sedikit lebih tenang setelah berbagi rahasianya kepada Airin. Dia percaya bahwa Airin akan menjaga rahasianya itu. Airin pun terus mengingatkan Rere untuk tidak bercerita kepada siapa pun termasuk Adit. Airin juga melarang niat Rere untuk mengakui perbuatannya itu. Alasannya, Airin tidak ingin Rere mendapatkan masalah atas pengakuannya tersebut. Intinya Airin meminta Rere untuk menghilang dari kehidupan Raka dan mulai belajar untuk melupakan segala yang telah terjadi. Rere pun berada di dalam dilema. Dia tahu bahwa saran Airin akan membuatnya aman dan terhindar dari masalah. Namun hati kecilnya terus berbisik bahwa yang akan dilakukan itu jelas salah. Rere terus saja bergulat dengan perasaannya sendiri. Dia masih belum bisa mengambil keputusan untuk hubungannya dan Raka. Sejauh ini dia tidak lagi menemui Raka. Dia mencoba menghindar dan menahan diri untuk tidak lagi menyapanya. “Haah... dia masih di sana,” ucap Rere lirih. Langkah Rere terhenti saat melihat Raka berdiri di depan pagar rumahnya. Sudah tiga hari ini Rere mengacuhkan keberadaan Raka. Dia hanya melewatinya dengan tenang dan berharap Raka berhenti menunggunya di sana. Namun Raka tetap saja menunggunya. Hal itu tentu saja mengusik perasaan Rere dan membuatnya merasa lebih bersalah lagi. “Kenapa sih dia masih terus berdiri di sana setiap hari,” bisik Rere. Rere mengepalkan jemarinya kuat, lalu kembali lanjut melangkah. Dia menatap Raka dengan sudut matanya saat berjalan melewatinya. Raut wajah Raka terlihat begitu murung. Rere pun berusaha mengabaikan dan memejamkan matanya. Namun setelah itu langkahnya langsung terhenti. Helaan napasnya terdengar berat. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia pun kembali berbalik badan.  “H-hai,” sapa Rere dengan suara canggung. “P-putri?” Raka terkejut mendengar sapaan itu. “I-iya ini aku,” jawab Rere. “Lo ke mana aja, Put? udah beberapa hari ini Lo nggak pernah lagi menyapa ataupun main ke rumah gue,” ucap Raka. Rere meremas tali ranselnya lebih kuat, lalu kembali menatap Raka lekat-lekat. “Maaf aku nggak sempat ngasih tau ke kamu... sebenarnya aku udah pindah rumah. Dan sepertinya kita nggak bisa lagi bermain seperti sebelumnya.” Rere berucap dengan nada hati-hati. “P-pindah...?” Raka tidak bisa menyembunyikan raut wajah kecewa. “Maafin aku ya, Raka...,” ucap Rere. Raka memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Kenapa lo mesti minta maaf... Seenggaknya sekarang gue udah tau alasannya. Sebelumnya gue pikir lo itu marah sama gue,” ucap Raka. Rere tersenyum tipis. Dia benar-benar tidak tega melihat Raka dilamun rasa kecewa. Rere melangkah lebih dekat lalu menatap wajah itu lekat-lekat. Kemudian jemarinya terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun sedetik kemudian Rere tersadar dan hendak menarik tangannya. Tapi secepat itu juga Raka menangkap tangan itu dan menggenggamnya erat. “Gue emang nggak bisa melihat, tapi gue bisa ngerasain hangat tangan lo, Put,” ucap Raka. Rere tersentak dan merasa gugup karena sudah tertangkap basah. “Selama ini lo sering kan, ngeliat wajah gue dari dekat,” ucap Raka lagi. Rere terkejut karena Raka menyadari perbuatannya itu. Raka tertawa pelan. “Lo nggak usah ngerasa malu gitu... gue nggak marah kok. Gue malah suka—” Ucapan Raka terhenti. Rere pun masih terpana mencerna ucapan Raka barusan. Sejenak keheningan menyebar di antara mereka berdua. Keduanya sama-sama bingung harus berkata apa lagi. Rere pun kemudian mengangguk pelan, melepaskan tangannya dari genggaman Raka, lalu berganti menyalami tangan itu. “Jaga diri kamu baik-baik ya, Raka...,”ucap Rere. Raka terdiam. “Jangan nyebrang jalan sendirian lagi... jangan suka bengong sendirian... jangan pilih-pilih makanan lagi dan... semoga kamu bisa melihat lagi secepatnya.” Air mata Rere menitik pelan mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirnya. “A-apa kita nggak akan ketemu lagi?” tanya Raka. Rere tidak langsung menjawab. Dia begitu kesulitan untuk membuka mulutnya. “S-sepertinya begitu,” jawabnya kemudian. Raka terpekur sambil meremas tongkatnya lebih kuat. Rere pun memalingkan wajahnya karena tidak sanggup melihat ekspresi itu. Rere memaksa dirinya untuk bersikap tegas. Dia menghapus sisa-sisa air matanya yang masih melekat, lalu kembali menatap Raka dengan mata sayu. “A-aku pergi dulu. Selamat tinggal, Raka....” *** Siang ini Rere dan Airin sudah janjian untuk pergi menonton film di bioskop. Airin yang kebetulan pulang lebih cepat langsung menyusul ke sekolah Rere. Tentu saja kedatangannya itu membuat Rere terkejut. Dia tersenyum senang, lalu segera menghampiri Airin yang kini sedang melambaikan tangan kepadanya. “Wah... lo nyamperin gue duluan? Ini bener-bener kejadian langka. Biasanya kan, lo telat terus,” ledek Rere. “Kebetulan aku pulangnya cepet hari ini,” jawab Airin. “Oke deh, kita jadi nonton?” tanya Rere. “Jadi dong.” Airin membentuk jarinya menjadi tanda OK. “Eh tapi sebaiknya kita pulang dulu, deh... soalnya ntar Abang gue ngadu lagi sama Nyokap kalo gue keluyuran nggak bilang-bilang,” ucap Rere. “Enak ya, Re... punya sodara yang perhatian banget sama kamu.” Rere pun langsung menyenggol bahu Airin dengan sikunya. “Ah... enak apanya. Malah gue pengen jadi anak tunggal kayak lo... biar hidup gue bisa damai dan tenteram.” “Sendiri itu sepi, Re...,” ucap Airin. Rere tidak lagi menjawab. Matanya kini terpaku pada sosok Adit yang kini sudah berdiri di hadapan mereka berdua. Langkah Airin pun ikut terhenti. Dia mulai takut mereka berdua akan terlibat perkelahian lagi. “Yuk ah, Rin... buruan kita pergi.” Rere langsung menarik lengan Airin. Namun Adit pun juga langsung meraih tangan Rere itu. Ketiga tangan itu kini saling menggantung. “Apaan sih, Lo?” bentak Rere. Adit tidak menjawab dan hanya menatapnya lekat-lekat. Sementara Airin kini terpaku melihat tangan yang saling menggenggam erat. Namun matanya menatap lebih lama pada tangan Adit yang mencengkeram tangan Rere. Airin pun langsung menarik tangannya, namun Adit tidak juga melepaskan Rere. “Gue mau ngomong sama lo sebentar,” ucap Adit. “Nggak ada yang perlu lo omongin sama gue,” bantah Rere. Adit menghela napas sebantar, kemudian langsung menarik Rere pergi dari sana. Rere pun terus berusaha melepaskan dirinya. Namun Adit menyeretnya lebih kuat lagi. Sementara Airin terpekur diam. Dia menatap keduanya dengan mata sayu, lalu kembali memalingkan wajahnya karena mulai tersiksa melihat prmandangan itu. *** “Jadi Adit tadi minta maaf sama kamu?” tanya Airin. “Ya, begitulah,” jawab Rere. “Hmm... Adit selalu ngalah ya, Re... sama kamu.” “Ngalah apanya cobanya,” bantah Rere. Airin hanya tersenyum. Keduanya kini melangkah dalam diam. Airin tidak bersuara lagi. Rere pun sibuk menatap langit yang terlihat cerah. Mereka hampir sampai di rumah di rumah Rere. Hingga kemudian langkah keduanya terhenti saat melihat sosok Raka yang berdiri di depan rumahnya. “Hah... kenapa dia masih di sana, sih.” Rere memijit keningnya pelan. “Raka masih nungguin kamu di sana setiap hari?” tanya Airin. Rere mengangguk lemah. Airin pun hanya tersenyum tipis. “Padahal gue udah bilang sama dia... kalau gue udah pindah rumah,” ucap Rere. Mereke pun kembali melanjutkan langkah dengan sangat pelan. Rere bahkan menahan napasnya saat mereka berjalan di depan Raka. Rere pun tidak menoleh sama sekali. Lehernya mendadak kaku dan terus menghadap ke depan. Setelah berada cukup jauh, barulah Rere menghela napas kembali. Dia benar-benar merasa bersalah terhadap Raka. “Udahlah... seiring berjalannya waktu dia bakalan berhenti kok,” hibur Airin. Rere mangangguk pelan. Kemudian mereka kembali menatap Raka di belakang sana. Kebetulan saat itu ada seorang pria yang berjalan pelan di depan Raka. Menyadari hal itu Raka pun langsung melangkah maju. Jemarinya mulai terangkat, seiring Raka membuka mulutnya. “Putri...?  Apa itu lo, Put?” “Putri...!!!” “Raka memanggil nama itu lebih keras. Sementara pria itu hanya menatap bingung, kemudian segera mempercepat langkahnya. Rere pun terpana menyaksikan pemandangan itu. Saat ini Raka masih memanggil-manggil sosok putri dengan mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke depan. Airin pun ikut terkejut. Dia termangu sambil menatap Raka dan Rere secara bergantian. Sementara Rere kini sedang berperang melawan perasaannya kembali. Kedua matanya kini menutup rapat dengan jemari yang juga mengepal kuat. *** Rere berlari menembus lorong kelas dengan wajah panik. Suara decitan sepatunya terdengar keras. Rere berlari dengan membabi buta dan terus menabrak siapa pun yang ada di depannya. Setelah itu kakinya mulai berbelok menuju ke ruang UKS. Sesampainya di sana, Rere langsung menerobos masuk dengan mendorong pintu sekuat tenaga. “Lo nggak kenapa-napa, kan?” tanya Rere dengan napas tersengal-sengal. Adit tidak langsung menjawab dan masih mengurut dadanya karena terkejut dengan suara bantingan pintu barusan. Kemudian dia menatap Rere yang kini terlihat rusuh. Diam-diam Adit merasa senang karena ternyata Rere masih peduli padanya. Adit menyembunyikan senyumnya, lalu menampilkan wajah juteknya. “Ngapain lo ke sini?” tanya Adit. “Gue denger lo jatuh dari tangga... lo nggak kenapa-napa, kan?” Rere sibuk mengitari Adit untuk memeriksa keadaan fisiknya. Adit tersenyum geli, kemudian kembali mengendalikan ekspesi wajahnya. “Gue nggak kenapa-napa. Cuma memar aja sedikit di pinggang gue,” jelas Adit. “Mana-mana...? sini gue lihat.” Rere bermaksud menyibak seragam Adit ke atas. Adit pun terkesiap dan langsung menghentikan aksi Rere itu. “Woy... ngapain coba,” ucap Adit dengan wajah yang kini sudah memerah. “Gue kan, mau lihat! Parah atau enggaknya,” jawab Rere dengan wajah polos. “Jadi lo mau lihat?” Rere mengangguk cepat. “Sini ....” Adit meminta Rere untuk mendekatkan wajahnya. “AAAAUUW...!!!” Rere langsung menjerit setelah Adit menjentik keningnya dengan keras. Dia menggosok-gosok keningnya itu sambil menatap tajam ke arah Adit. Sementara yang di tatap kini terkikik menahan tawa. Adit menggelengkan kepalanya sambil berdecak pelan.   “Lo itu tau batasan nggak sih,” sergah Adit. “Batasan apa coba?” Rere masih belum mengerti. “Masa iya lo mau buka baju cowok sembarangan kayak gitu,” ucap Adit. Rere mendelik, lalu mencibir sebagai bentuk penolakannya atas nasehat itu. “Lah... dibilangin juga,” tukas Adit. “Tapi lo itu kan, bukan cowok sembarangan,” ucap Rere. Pupil mata Adit bergetar mendengar perkataan itu. Ada perasaan aneh yang terasa menjalar di hatinya. Adit berdehem pelan lalu kembali membaringkan tubuhnya. Sementara Rere masih berdiri di sana dengan wajah cemberut. “Udah ah, mending lo masuk ke kelas sana. Gue mau istirahat,” ucap Adit. Adit langsung memejamkan matanya. Jantungnya kini masih berdetak dengan cepat. Adit tahu hal itu konyol dan tidak masuk akal. Bagaimana bisa perasaannya terasa lain hanya gara-gara ucapan sederhana seperti itu. Sepertinya cinta sudah mengubahnya menjadi lebih perasa. Adit mendesah pelah, kemudian kembali membuka matanya. “Sampai detik ini gue masih belum bisa ngehapus rasa gue sama lo, Re ...,” bisiknya lirih. Adit menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian dia membalikkan tubuhnya untuk mencari posisi tidur yang nyaman. Namun seketika itu juga Adit langsung terkesiap. Dia terbelalak kaget dan tidak bisa berkata-kata. Ternyata Rere masih ada di sana dan kini tengah menatap nanar padanya. *** Rere tidak bisa memahami perasaan Adit padanya. Hingga saat ini dia masih belum menemukan jawaban kenapa Adit bisa menyukainya. Rere pun sebenarnya juga menyayangi Adit. Namun rasa sayangnya itu jelas berbeda. Dia benar-benar sudah menganggap Adit seperti saudaranya sendiri. Rere benar-benar tidak menyangka bahwa Adit akan mencintainya. Rere pun kembali berada dalam dilema. Dia masih belum mengerti, kenapa selalu ada pihak yang terluka dalam persahabatan antara laki-laki dan wanita? Langkah kakinya mulai melambat. Rere semakin merasa letih setelah melihat Raka masih saja menunggunya di sana. Rere pun menatap sosok itu lekat-lekat. Dia pun juga tidak mengerti kenapa dia masih saja berdebar setiap kali menatapnya. Rere pun mengangguk pelan. Dia kini bisa memahami perasaan Adit yang kurang lebih sama dengan perasaannya terhadap Raka. “So complicated...,” bisiknya lirih. Rere kembali melanjutkan langkahnya. Di ujung jalan muncul sebuah mobil yang melaju kencang. Suara derunya terdengar jelas. Namun Raka malah memulai langkahnya. Rere pun terkesiap di tempatnya. Dia menatap ke arah mobil itu, lalu beralih menatap Raka. Rere menyapu wajahnya dengan telapak tangan, kemudian bergegas menghampiri Raka, lalu menariknya sekuat tenaga. Rere meringis saat sikunya bergesekan dengan aspal. Sementara Raka juga tersungkur di sebelahnya. Rere segera bangun, lalu memejamkan matanya sejenak. Jemarinya masih bergetar pelan, butiran peluh masih mengalir deras di wajahnya. Rere benar-benar merasa syok. Tatapannya beralih pada Raka yang masih terduduk di sebelahnya. “Aku udah bilang, kan... jangan pernah keluar sendirian lagi!” bentak Rere. Napas Rere masih memburu. Dia benar-benar merasa marah saat ini. “Apa kamu udah bosen buat hidup? Udah jelas-jelas suara mobil itu terdengar keras, tapi kenapa kamu malah—” Rere mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Sementara Raka masih diam dan tidak menjawab. Namun tidak lama kemudian terdengar suara tawanya pelan. Rere pun tersentak, lalu menoleh pelan. “K-kamu ketawa?” tanya Rere. “Hahahaha .... hahahaha.” Raka tertawa lebih keras. “Apa semua ini terlihat lucu bagi kamu?” Rere menatapnya geram. Tawa Raka pun surut. Sementara Rere masih menatapnya dengan air mata yang sudah tergenang. “Ternyata dugaan gue bener ...,” ucap Raka. Kening Rere mengerut. “M-maksud kamu.” Raka menghela napas sebentar. “Gue tau lo nggak pernah pergi ... gue tau kalau lo masih ada di sini,” jawabnya lirih *** Rere masih terpekur dengan rasa malu yang masih memuncak. Sementara Raka kini asyik menjilati es krim kesukaannya. Nyatanya dia tidak bisa menipu Raka, walaupun Raka tidak bisa melihat keberadannya. Rere masih belum percaya kalau Raka mempunyai insting yang kuat seperti itu. “J-jadi tadi itu kamu sengaja?” tanya Rere. Raka tersenyum tipis. “Gila! kamu bener-bener udah gila,” ucap Rere. “Kenapa lo bohong sama gue?” tanya Raka. Rere terdiam. “Apa lo nggak mau berteman lagi sama gue yang cacat ini?” “Kamu kenapa ngomong gitu, sih,” sanggah Rere. “Lalu apa alasannya?” tanya Raka. “A-aku—” “Apa karena pernyataan gue waktu itu?” potong Raka.  Rere tidak menjawab. Raka pun hanya tertawa tertawa pelan. “Maafin gue ya, Put ... harusnya gue bisa sadar diri waktu itu,” ucap Raka. “Gue tau lo mulai berubah sejak gue bilang kalau gue pengen ngeliat lo ... gue sadar kalau lo nggak nyaman saat gue bilang ... kalau gue suka lo ada di sisi gue.” sambung Raka. “M-maafin aku,” ucap Rere. “Harusnya gue yang minta maaf,” balas Raka. Suasana menjadi hening. Rere kembali menatap wajah Raka lekat-lekat. Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Rere merasa nyaman berada di sisi Raka. Dia bahagia bisa bermain bersamanya. Rere ingin terus dekat dengannya. Namun kenyataan menyadarkannya bahwa semua itu tidak bisa diteruskan lagi. Rere sadar bahwa tak selamanya dia bisa menjelma sebagai sosok Putri. “Lo nggak usah ngehindar lagi, Put.” “A-aku nggak bakalan ngehindar lagi kok.” Rere tersenyum tipis. “Karena gue bakalan segera pindah kok, dari sini.” Raka melanjutkan kalimatnya. Rere sontak terkejut. Es krim yang berada di genggamannya lengser begitu saja. Senyum di wajah Rere pun langsung memudar. Harusnya dia senang mendengar kabar itu. Namun Rere malah merasakan sakit di ulu hatinya. Seakan dia tidak rela akan kepergian Raka. Rere pun terdiam dengan jemari yang kini saling berpilin erat. “Gue bakalan pergi ke Belanda ... buat menjalani pengobatan di sana,” terang Raka. “B-belanda? Jadi kamu pindah keluar negeri?” “Iya. Gue bakalan tinggal dengan sepupu gue di sana.” Rere hanya mengangguk pelan. Raka menghela napas pendek. “Gue akan berangkat ke sana minggu depan.” “Hmm ....” Rere hanya merespon singkat. “Karena itu sebelum gue pergi ... gue punya satu permintaan sama lo.” “P-ermintaan apa?” Raut wajah Rere berubah tegang. Sementara Raka kini malah tersenyum senang. *** Bersambung … 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN