Bab 17

1400 Kata
Hal yang paling susah dalam sebuah perubahan adalah membangun kepercayaan orang lain kepada diri kita. Seperti contohnya saat di awal-awal aku berhijrah. Tidak sedikit orang mencibirku bahwa ini hanyalah sebuah kamuflase dan cari sensasi semata. Bahkan mereka malah ada yang menganggap diriku fanatic. Kenapa? Apa salahku? Apakah aku tidak boleh berubah? Apakah ada larangan untuk menjadi lebih baik lagi dari diriku yang lama? Aku memang bukanlah seorang malaikat yang tak luput dari dosa, tapi bukan berarti aku akan terus menjadi manusia yang penuh dengan dosa. Gamis lebarku, hijab lebarku, cadarku, mungkin hal baru dan tabu bagi kalian, tapi ini pilihanku, dan aku rasa tak ada yang dirugikan untuk hal itu. Kalian menuduhku mengikuti hal yang salah, bahkan tak segan-segan kalian mengolokku bahkan mungkin membenciku. Tak apa mungkin adalah cara Allah menguji diriku, agar Allah yakin bahwa hijrahku bukan hanya di awal hijrahku. Keiklasanku untuk menerima setiap tatapan berbeda dari kalian akan menjadi penyemangatku untuk terus bertahan dan istiqomah. "Mia, besok ada kajian, kamu mau ikut nggak?" pertanyaan Lana membuatku tersentak dari lamunanku. Lana adalah salah satu temanku yang masih tetap mau berteman dekat dengaku, bahkan mulai mengikuti jejakku, untuk berhijrah. "Iya aku ikut kok, kita berangkat bareng ya?" "Sip lah, aku jemput kerumah, atau kamu ke rumah aku?" "Aku kerumah kamu aja, tapi paling nanti aku pakai masker dulu pas keluar rumah?" "Oke, nggak masalah, memangnya orang tua kamu masih belum bisa terima kamu bercadar Mia?" "Bukan Lan, Orang tuaku sih nggak terlalu mempermasalahkan, tapi kakek aku dia keras Lan." Sebelum memutuskan untuk berhijirah, aku tidak pernah berselisih pilihan bersaam keluarga, meski orangtuaku tak pernah menuntuk aku untuk menjadi ini atau itu, ikut ini atau ikut itu tak masalah asal tetap pada batas umumnya orang-orang. Sedangkan aku sendiri juga bukan anak yang suka neko-neko, tapi saat aku memutuskan untuk berhijrah, seolah ada jurang antara aku dan keluargaku, terlebih kakekku. Untungnya mama mengembalikan semua keputusan padauk, tapi tetap saja orangtuaku juga tidak bisa membantah kakekku. Kakek malah pernah membentakku, padahal selama ini beliau tidak pernah mengatakan hal kasar padaku, malah terkesan memanjakan diriku, dan rasanya itu sakit, lebih sakit dari saat orang lain menghinaku. "Sabar ya Mia, insha Allah kita bisa, asal jangan terlalu membantah nanti makin dilarang," "Iya Lan, aku pelan-pelan kok, kalau aku bantah Kakek makin marah? Kemarin aja aku dipanggil sama dia terus diceramahi, aku hanya diem dan istighfar doang dalam hati." "Terus sekarang gimana kalau lagi ada tamu? Kan nggak mungkin kamu pakai masker di rumah?" "Lucu deh kalau diceritain, aku kek lagi main kucing-kucingan kalau lagi ada tamu di rumah, dan kalau bisa sembunyi di kamar, orang pas di suruh ke warung kan aku pakai masker, nah pas ditanya kenapa aku bilang lagi flu" aku dengan antusias bercerita pengalaman lucuku saat di rumah pada Lana. Setiap hari aku selalu berdoa semoga keluargaku menerima keputusanku untuk berniqop. Sebenarnya aku paham kenapa kakek seperti itu, pemberitaan yang seolah menyudutkan kami yang ingin mengikuti sunnah, membuat kakek takut aku terjerumus pada hal yang tidak baik. Aku iri sebenarnya dengan lana, keluarganya tidak mempermasalahkannya. Sebenarnya aku tidak boleh iri, karena semua sudah ada yang mengatur. "Ya sudah kamu mau pulang sekarang apa nanti?" Lana Nampak sudah mulai bersiap untuk membereskan peralatan belajarnya. "Sekarang aja, udah selesai kan tugasnya?" "Heeh udah kok, mau ikut ambil mobil atau mau nunggu di lobi?" "Aku ikut deh, lagian aku juga ngapain bengong nungguin di lobi?" "Ya sudah hayuk" Kami segera meninggalkan toko buku yang tadi kami kunjungi untuk mengerjakan tugas, toko buku ini unik. jadi selain ada buku yang dijual, juga ada perpustakann kecil di bagianbelakangnya. Selain itu juga dilengkapi Kafetaria, dan juga dekorasi yang sangat sejuk, setiap minggu ada lomba menulis juga. Aku betah kalau disuruh untuk berlama-lama di sini. Nyaman pokoknya, sudah banyak juga karyaku di sini yang aku tulis menjadi sebuah buku, mengisi kotak-kotak di barisan buku perpustakaan ini. "Lana, menurutmu? Kalau besok aku ajak mama dan nenek, mereka mau nggak ya?" tanyaku saat kami sudah berada dekat parkiran. "Coba aja Lan, kemarin kan aku juga ajak mama kan?" "Iya sih, tapi mau nggak ya?" "Yakan kamu lom mencoba kan?, percaya deh selalu ada jalan kalau kamu mau mencobanya, masa kamu aja bisa ajak aku, tapi kmau ragu bisa ajak amam dan nenekmu?" "Ok, semangat." Aku memeluk Lana, "Ahh sahabatku love you" "Love you Too, Mia" ### "Dari mana kamu Mia?" "Eh Mama, hanis dari ngerjain tugas Ma ama Lana, Mama kok ada di kamar Lana?" aku mendekati mama yang duduk di tempat tidurku, setelah meletakkan tas di meja belajar. "Mama mau bicara sama kamu." "Bicara apa ma?" "Masalah kamu yang bercadar, Mia" "Kenapa Ma, Kan Mia udah turuti mau kakek untuk nggak bercadar di lingkungan sini? Lalu apalagi ma?" "Kakek kamu tadi dapat info dari temannya, kalau ngeliat kamu bercadar lagi di toko buku, benar nggak? Kakek kamu marah banget Mia," perasaanku mulai tidak enak, jangan-jangan kakek akan kembali memarahiku. "Kok bisa teman kakek ngira itu Mia?" aku mencoba memastikan, semoga aku bisa mencari celah untuk sebuah alasan. "Ya dia hafal nomer mobil mama kan? Jadinya dia tahu itu kamu nak?" "Terus Mia harus gimana nak?" "Kamu jangan pakai cadar ya nak? Mama nggak mau kamu kena omel terus sama Kakek kamu," "Ma, Mia nggak bisa Ma, Mia mau bercadar mama, Mama Ridho nggak, mama restui nggak Mia bercadar? Hanya restu mama dan Papa yang Mia butuhkan saat ini sebelum meluluhkan hati Kakek. mama tolong percaya sama Mia, Mia nggak seperti yang mereka pikirkan Ma, Mia butuh mama," aku memeluk Mama mencari dukungan, kutumpahkan semua sesak dalam hatiku dalam pelukan mama, ya Allah betapa ini menyesakkan, saat kami ingin berubah, tapi keluarga kami sendiri yang menentangnya. "Mama akan selalu mendukung kamu nak, papa juga, tapi kan kamu sendiri tahu bagaimana watak Kakek kamu nak?" mama mengelus pungungku mencoba menenangkan tangisku. Aku tahu kakekku memang sangat keras, melihat ku kemarin pulang dari pengajian dengan menggunakan cadar saja sudah marah besar apalagi kalau menentangnya. "Ma, apa aku pergi aja dari rumah ma?" "Jangan gila kamu Mia, itu malah akan bikin kakek kamu murka, sekarang yang harus kamu lakukan adalah jangan mencari masalah sama Kakek." "Tapi smapai kapan ma? Kalau selamanya kakek nggak merestui gimana?" "Kamu percaya kan Allah sellau punya solusi untuk semua masalah yang hamba-Nya hadapi? Dan kamu percaya kan kalau Allah tidak akan menyusahkan hambanya melebisi kemampuan hambanya?" "Iya ma percaya," "Lalu kenapa Mia menyerah? Allah kirimkan ini untuk Mia karena Allah percaya sama Mia, Mia bisa melakukannya, Allah percaya dari Mialah mungkin Allah titipkan hidayah untuk keluarga kita," oh mama makasih sudah jadi obat dalam kegelisahan Mia. "Makasih mama. Mia sayang sama mama." "Mama lebih-lebih menyanyangimu nak, apapun yang jadi kegundahan hati kamu, pasti mama ikut merasakannya." "Sekarang Mia udah tenang setelah mama memeluk Mia, makasih mama, love you so much," "Love you too sayang." "Ya sudah ma, Mia mau mandi, dan siap-siap ketemu sama Kakek, Mia akan siap hadapi Kakek setelah meluk mama, mandi dan sholat." "Oke, sana Mandi, terus sholat dan jangan lupa makan dulu, biar ada tenaga menghadapi kakek," "Oke mama." Aku bergegas mencari handuk, dan pergi kemar mandi, membersihkan diri seleta;h seharian berkutat di luar ruangan, saat pulang tadi aku tidak bertemu kakek ada di rumah. Kemana ya?. Ya sudahlah yang penting tadi aku selamat. Mama yang selalu ada untukku, papa yang selalu jadi pelingku, aku pasti bisa, mengahadapi kerasnya tantangan hijrabku. Hijrahku, tantangan pertamu adalah dari keluargaku, itu lebih sulit karena tidak mungkin kita tidak memperdulikan kelurga bukan? Beda dengan kalau orang lain yang menentang, kita bisa masa bodoh. Tapi Allah memepercayakan ini padaku karena seperti kata mama Allah percaya aku bisa melewatinya. Aamiin, Paling tidak tidak semua keluargaku menentangnya, masih ada mama, papa dan nenek yang mendukungku. Aku yakin Kakek sayang padaku, tidak mungkin dia tega dengan cucu perempuan satu-satunya ini. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin aku berpikir seperti ini ya? Malah galau berkepanjangan dan nggak jelas. Mia kamu pasti bisa, kau tidak sendiri, kamu harus percaya pada kemapuan diri kamu sendiri. *** Ayra kembali membaca tulisannya dalam aplikasi dreame yang dia miliki. Sudah lama dirinya tidak menulis dan rasanya dirinya kangen untuk sekedar menulis imajinasi yang ada pada kepalanya. Kali ini dia menulis tentang seorang gadis yang sedang belajar berhijrah dan berlatih sabar akan cemohan orang lain apalagi hal itu juga datang dari keluarganya. “Ayra, kasus kamu akan abi daftarakan ke pengadilan.” Tiba-tiba sang abi masuk kamarnya membuat Ayra sedikit terlonjak karena ucapan tiba-tiba abinya. “Haruskah, bi?” “Iya, karena sudah sebulan ini mereka tidak ada itikat baik untuk berterus terang.” “Ayra ikut apa kata abi saja.” “Ya sudah, kamu bobok, jangan bergadang.” “Iya, bi. Ini mau tidur habis cek tulisan sebentar.” “Baik sayang.” Setelahnya sang abi keluar kamar tidak lupa kembali menutup pintu kamar anak pertamanya. Sedang Ayra kembali fokus pada tulisannya. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN