Bab 5

1084 Kata
"Assalamualaikum," Sapa seorang lelaki yang Ayra kenal dengan nama Ansell,  lelaki yang dua kali pertemuannya lalu selalu membuat Ayra kesal. Dan dirinya tidak menyangka bahwa lelaki ini juga yang harus ia hadapi dalam urusan lahan. Apakah dunia sesempit ini?  "Wa'alaikumussalam" jawabnya sembari berdiri dari duduknya. "Dengan Nona Ayra?" Sapanya sopan. Ayra tersenyum sinis mendengar sapaan Ansell, bisa juga lelaki ini bersikap sopan. Pikir Ayra tapi sekali lagi dirinya tidak akan ambil pusing masalah sikap Ansell demi kelancaran rencana yang sudah ia susun. "Rara." ucap Ayra menjawab pertanyaan Ansell barusan. "Maaf?" "Panggil Rara saja." pinta Ayra pada lelaki tersebut. Membuat Ansell mengeryit namun dirinya tetap mengiyakan apapun permintaan Ayra. "Baiklah, Nona Rara, saya Ansell." balasnya sembari  memperkenalkan diri. "Silahkan duduk." "Sebelumnya saya minta maaf kalau pertemuan pertama kita terkesan tidak mengenakkan, jadi izinkan saya dipertemuan kita kedua ini, menebusnya." "Keempat." ucap Ayra, membuat Ansell mengeryitkan dahi karena tidak memahaminya. "Ha?" tanya Ansell bingung. "Ini pertemuan kita yang ke empat, yang pertama mungkin anda lupa dan saya tidak ingin membahasnya tetapi yang ke dua kalau kita bertemu saat insiden salah mobil. Anda menuduh saya menciba mengambil mobil anda.” tembak Ayra membuat Ansell membelalak kaget. "Astagfirullah, itu anda?" wajah Ansell sedikit pucat, bagaimana mungkin dirinya selalu membuat masalah saat bertemu dengan gadis ini. Susah-susah, batin Ansell berteriak. "Iya, itu saya." ucap Ayra dengan santainya , menikmati wajah terkejut Ansell. Tampilan Ayra yang bercadar pastilah sangat susah dikenali apalagi Ansell tidak kenal betul siapa Ayra jadi wajar kalau saat insiden mobil dirinya tidak mengenali Ayra sama sekali.  "Kita langsung pada pembahasan atau kita ingin memesan makan dan minum terlebih dahulu?" lanjut Ayra bertanya, karena Ansell tidak berkomentar apa-apa, mungkin dia merasa tidak enak dengan setiap inaiden pertemuan mereka, tapi sebagai tuan rumah yang baik Ayra tetap harus menjamu tamunya sebaik mungkin bukan? "Sebaiknya kita makan dulu, perut kenyang akan membuat pikiran jernih saat berdiskusi." usul Ansell disetujui Ayra. "Baiklah," Ayra segera memanggil pelayan di sana untuk memesan makan, yang Ayra tangkap di permuan ketiga ini, Ansell adalah orang yang sopan. Dirinya juga paham untuk tidak bersalaman menginggat dirinya yang memang bercadar, saat banyaknya pemuda atau lelaki yang masih saja menyodorkan tangannya pada yang perempuan bercadar. Mereka menikmati makanan yang mereka pesan dan dari obrolan mereka tentang makanan Ayra jadi tahu ternyata Ansell tidak suka makanan yang pedas, namun suka makanan yang gurih dan asin, suka manis tapi tidak suka cake coklat karena menurutnya itu sangat membuat eneg. "Jadi, bagaimana? apa Nona akan melepaskan tanah itu untuk kami?" Tanya Ansell tanpa basa-basi. "Tn Ansell yang terhormat, mungkin bagi kalian tanah tersebut tidak seberapa, namun bagi kami yang hanya mengandalkan panen untuk hidup apa mungkin kami melepaskan begitu saja?" Ayra mencoba menekan balik Ansell dengan cara berpikirnya. "Kalian bisa beralih profesi menjadi pegawai di pabrik kami?" usul Ansell, membuat Ayra menggelengkan kepala. "Tidak semua di sini memiliki latar pendidikan sebaik di kota. Bahkan pemilik sawah di sini kebanyakan orang yang sudah lanjut, bagaimana mungkin mereka bekerja di pabrik? Tidak semudah itu praktiknya, sudah banyak contoh setelah mereka dapat lahan uang yang harusnya mereka dapat saja susah dicairkan apalagi masalah pekerjaan, jadi sampai kapanpun, saya mewakili pemilik lahan tetap tidak bisa melepaskan lahan kami sampai perusahaan benar-benar bisa menjamin kesejahteraan warga di sini.” "Kami bukan mereka yang ingkar janji, saya akan berikan konpensasi yang sesuai dengan apa yang saya dapatkan. Kami juga berbisnis tentunya sama-sama ingin untung bukan?” "Konpensasi? Seberapa besar? Sepuluh juta, seratus juta, satu milyar? Mungkin uang tersebut terlihat besar nominalnya, tapi saat kami atau mereka tidak bisa mengelolanya dengan baik maka akan habis begitu saja, lalu bagaiamana kami kedepannya? Jangan hanya karena ambisi kalian, kalian tega mengorbankan banyak orang, dan lagi dengan adanya pabrik di sini, maka akan semakin besar kemungkiann akan mencemari lingkungan." "Pikirkan kembali, karena konpensasi yang kami berikan tidak sedikit, dan kami jamin, itu bisa digunakan untuk memulai usaha. Dan masalah pencemaran kami akan pikirkan untuk pembuangannya.” "Tn. Ansell, coba anda pikirkan baik-baik, kami hidup di sini dari hasil panen yang hasipnya pun akandi nikmati masyarakat di sini. Kalau lahan kami hilang dari mana kami mendapatkan hasil panen seperti buah, sayur, padi? Apakah mendatangkan dari daerah lain, atau bahkan Import? Lalu bagaimana dengan harga? Yang awalnya murah karena di panen dari rakyat sekitar akan jadi mahal. Itu juga akan mencekik para rakyat kecil, lalu pikirkan lagi bagaimana para buruh tani? Bila lahan hilang, bagaimana mereka bekerja?" "Nona ...," "Kalian yang punya uang akan berleha-leha, karena segalanya sudah dimilik, lalu bagaimana denga kami yang menjadi rakyat kecil? Kalian terus saja menimbun uang dan uang, sedangkan kami, yang hanya mencari makan dari hari ke hari, masih kalian paksa juga untuk mengalah?" "Maaf, bukan kami bermaksud seperti itu, dengan kami membangun lahan pekerjaan di sini kami juga membantu meningkatkan perekonomian di sini. Uang yang kami berikan sebagai uang beli, bisa digunakan untuk membuat kamar-kamar kontrakan, warung makan atau bahkan toko kelontong. Karena pastinya pekerja di sini juga akan membutuhkan tempat tinggal bagi yang jaraknya jauh." Sanggah Ansell, dia tidak mau disebut sebagai orang yang tidak punya hati di sini. Apa yang ia lakukan juga bukan untuk kepentingan dirinya pribadi tapi juga karyawannya. "Membuka cabang baru sebagai lahan pekerjaan tapi menghilangkan mata pencarian orang lain juga? Kalau memang niat anda membuka lahan kerja baru, harusnya mencari yang memang tempat yang belum dimanfaatkan, bukan yang sudah dimanfaatkan anda beli." Kalau jaman dahulu orang yang ingin cari lahan maka mereka akan babat alas atau istilahnya membuka lahan yang belum pernah di jamah orang. Namun kalau sekarang semua ingin enaknya saja, yang penting punya uang mau apa saja juga boleh. Ansell meminum kopi yang telah ia pesan, dirinya butuh berpikir sejenak, gadis ini tidak mudah di taklukkan. Pikirnya. "Lalu apa saran anda?" "Saran saya silahkan cari tempat baru." Ucap Ayra masih dengan ketenangan yang luar biasa. "Tapi kami sudah meminta izin untuk bisa membanggun di sini." ucapan Ansell hanya ditanggapi senyum oleh Ayra. "Berapa yang anda keluarkan guna mendapatkan izin?"  Sudah menjadi rahasia umum bahwa terkadang ada oknum yang memanfaatkan masalah seperti ini guna menambah pundi-pundi uang di kantong mereka, meski harus mengorbankan orang lain. "Maksud anda?" Tanya Ansell terkejut. "Tidak perlu kaget seperti itu, bukan hal yang baru bukan untuk hal seperti itu?" "Tidak ada yang seperti itu."  Sanggah Ansell, pasalnya yang ia hanya terima beres dari anak buahnya, apakah memang mereka melakukan suap? Mungkinkah selama ini ia di bohongi? "Kalau begitu bisa anda babarkan di sini, rincian pengeluaran anda untuk konpensasi masyarakat di sini?" Tanya Ayra masih dengan santainya.  "Kami menawarkan dua juta permeter persegi untuk tanah yang akan kami beli." Ayra kembali tersenyum dibalik cadarnya, namun tangannya mengepal dengan begitu kuatnya sebelum ia kembali membuka suara yang membuat Ansell terdiam. "Lalu ke mana satu jutanya, sehingga kami hanya ditawarkan satu juta rupiah untuk permeter perseginya oleh anak buah, Tn."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN