Bab 4

756 Kata
"Assalamu'alaikum, Kakak." sapa seorang perempuan dari luar pintu kediaman Ayra di dalam area pondok.  "Wa'alaikumussalam, Umi. Kakak kangennn." jawab Ayra menghambur pada pelukan uminya. Di belakangnya ada ketiga adiknya dan juga abinya. Melihat itu Ayra segera menghampiri sang abi. "Abii, miss you." Ayra bergantian memeluk sang abi yang masih terlihat gagah meski sudah memasuki kepala empat. "Miss you too, Kakak. Balas Bian mencium puncak kepala sang anak sulung. Meski baru sebentar melepas anaknya untuk hidup mandiri tapi Bian sudah sangat merindukannya. "Adek-adek gimana kabarnya?" Tanya Ayra pada adik-adiknya. Sudah hampir hampir enam bulan Ayra belum bertemu mereka, Danish sendiri sekarang sedang melanjutkan S2 nya di samping ia membantu sang abi mengelola perusahaan. Adiknya yang lain satu masih kuliah S1 dan satunya masih SMA kelas 3. Masih ingatkan dulu saat sang nenek mendoakan Danish menjadi ustaz? Ya sepertinya niat sang nenek belum terkabulkan. Tetapi demi sang nenek dan juga masa depannya, Danish tetap belajar tentang agama dia juga menjadi lulusan pondok terbaik dulunya, hanya saja ia haruslah mengemban amanat, dan cita-cita mulianya adalah  menjadi pengusaha muda yang tetap menjadi pecinta Alquran. Aamiin ", capek?" Lanjut ayra pada ketiganya.  "Iya, Kak, ini kita masuk duluan ya." Pamit adik kedua dan ketiganya, keduanya langsung berlari ke kamar mereka setelah memeluk sang kakak.  "Kalau yang satu ini capek nggak?" tanya Ayra lagi karena belum mendengar jawaban dari Danish. "Iya." Singkat padat dan Jelas, Danish tumbuh jadi cowok cuek tapi manja pada uminya, sampai-sampai dirinya akan berebut manja pada sang umi. "Sini peluk kakak." "Nggak." Tolak Danish membuat Ayra mencebikkan bibir sambil melemparkan ancaman. "Ishh nanti nggak kakak masakin makanan kesukaanmu, lho?" "Minta Umi." Jawab Danish enteng "Umi capek." Sahut Bian, karena sang putra kedua mulai bersikap manja pada sang istri. "Abi jangan ikutan deh." protes Danish, jangan heran kalau masalah umi selalu menjadi rebutan antara anak dan ayah tersebut. "Jelas abi akan ikutan kalau itu menyangkut umi kalian. Ayo umi kita masuk istirahat." "Jadi gimana? Mau peluk nggak?" Goda Ayra pada adiknya itu. "Masih aja manja padahal udah ...," ucap Danish namun keburu dipotong oleh Ayra. "Kamu tu ya, nggak usah ingetin kenapa? Lagian kita tu yang paling lama sama-sama lho, jadi wajar dong kakak minta peluk dan manja ke kamu tu." sungutnya karena Danish mulai membahas hal yang tabu diperbincangkan. Namun pada akhirnya Danish tetap akan kalah dengan kakaknya ini, ia memilih memeluknya daripada telinganya kemeng mendengar omelan kakaknya. "Iya-aya bawel banget sih. Ya udah Danish ke kamar dulu, kakak masak yang enak yaa." Danish pun berlalu ke kamarnya meninggalkan Ayra. "Iya, kalau makanan aja inget terus." Kedatangan mereka tidak dijadikan hal spesial lagi bagi penghuni pondok, ini karena permintaan keluarga Ayra, uang dari pada digunakan untuk penyambutan atau apalag itu mending di bagikan bagi yang membutuhkan. Kata Alif  *** "Kakak nggak mau cerita?" Tanya Bian saat sedang duduk berdua dengan putrinya yang bersandar manja padanya. Bian selalu tahu kalau putrinya ini sedang ada uang dipikirkan, namun sebisa mungkin ia akan menanyakan pada anaknya dengan sangat lembut. Jangan sampai terkesan memaksa. "Nggak ada, Bi, cerita apa?" Sanggah Ayra dengan santainya. "Yakin?" "Abi gitu de?" "Hahhahaha, Abi tu yang ngerawat kamu dari kecil, Kak. Jadi firasat abi tu kuat." "Bi...," Ayra mengganti posisinya menjadi menghadap sang ayah.  "Gimana?" "Jadi begini...," dan mengalirlah cerita dari bibir mungil milik Ayra bercerita segala hal yang mengganggu hati dan pikirannya. Sang Abi dengan pwnuh kesabaran mendengarkan putrinya tersebut, berbagai expresi dia tampilkan saat menanggapi cerita putri sulungnya.  "..., menurut Abi gimana?" "Abi sih maklum dengan pemikiran kamu, tapi, Kak, semua ada konsekuensinya lho, Kakak siap?" "Insya Allah siap, Bi." "Ya udah izin semuanya ya, biar nggak ada salah paham." "Siap, Bi." "Asyik banget ceritanya sampai umi nggak di ajak ngobrol." suara Nesa mengintrupsi keduanya. "Umi asyik di dapur sih, jadi Kakak nggak mau ganggu." Jawab Ayra dengan santainya "Kamu ini, ya sudah sana panggil adik-adik kamu buat makan malam." Perintah Nesa pada si sulung. "Iya, umi." Ayra meninggalkan kedua orang tuanya san mencari para adiknya yang sudah pergi sejak azan magrib tadi. Mungkin sedang ada di masjid pondok bersama dengan para santri lainnya. Kebetulan setelah salat isya tadi Bian langsung kembali ke rumah sehingga bisa mengobrol dwngan samg putri. "Cerita apa, Bi?" tanya Umi ikut duduk di samping Bian menggantikan tempat Ayra. "Umi, Kakak sepertinya baru kemarin Abi ajari berjalan dan berlari sekarang sudah dewasa ya? Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat." Bukannya menjawab pertanyaan istri, Bian malah bernostalgia. "Ya, Bi waktu berlalu dengan cepat tanpa kita sadari. Ada apa sih, Bi." "Tunggu Ayra dan yang lain saja, Mi nanti kita bahas lagi. Anak kita itu punya ide sedikit extrem tentang pernikahan." "Ha?" "Sudah yuk ke ruang makan, Umi tadi masak apa?" tanya Bian pada sang istri, seraya menuntunnya menuju ruang makan. Mau tidak mau, Nesa mengikuti suami yang menuntunnya ke ruang makan, meski dirinya masih bertanya-tanya tentang maksud sang suami. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN