“Saaan, tunggu! Tunggu!” teriak bapak mertuaku sambil berlari ke arah Bapak yang bergegas masuk ke dalam mobil. Mas Candra mendahului bapak, lalu merentakan tangan di depan mobil yang baru akan melaju itu. Didorong rasa penasaran, aku pun melangkah mendekat.
Bapak mertuaku mengetuk pintu mobil. Sekali. Dua kali.
“San, keluar dulu,” kata Bapak masih sambil mengetuk pintu mobil. Sesekali, beliau menyeka keringat yang membanjir di wajahnya, ia menatapku sekilas, lalu kembali mengetuk. Di depan mobil, Mas Candra menurunkan tangan.
Setelah cukup lama, akhirnya pintu mobil dibuka perlahan. Mas Azis keluar lebih dulu. Lalu Bapak menyusul turun dengan wajah sembab, kentara sekali habis menangis.
“Ini. Buat camilan di jalan.” Bapak mertuaku memberikan plastik merah yang sedari tadi ditentengnya, yang segera diterima oleh Mas Azis.
“Tidak ingin menginap semalam atau dua malam lagi, San?” Bapak mertua memandang Bapak penuh harap. Tak membuang waktu lebih lama, lawan bicaranya langsung menggeleng. Sengalan kecil keluar dari mulut bapak.
“Untuk apa? Untuk dipermalukan lagi?”
“Azis, jaga bicaramu." Bapak menatap Mas Azis. Ditepuknya pelan bahu santri kesayangannya itu.
“Nggeh—iya, Romo.” Mas Azis menjawab dengan suara lirih, kepalanya tertunduk tanda hormat.
“Menginaplah semalam lagi, San.” Berkata begitu, mertuaku meraih tangan Bapak, mengungkung dengan kedua telapak tangannya yang besar lalu sedikit menggoyangkannya. "Ya, San?"
“Lebih baik kami pulang saja daripada kembali dipermalukan.” Mas Azis kembali menyahut, ia langsung menunduk begitu mendapat tatapan tak senang dari bapak.
“Kasihan santri-santri, jika ditinggal terlalu lama," sahut bapak.
“Pasti bukan karena itu alasannya. Apa karena saudara-saudaraku kamu jadi tak betah menginap, San?” tatapan bapak mertua menyelidik. Bapak menggeleng pelan. Bibirnya melekuk senyum kecil.
“Bukan itu. Kasihan santri-santri kalau ditinggal terlalu lama.”
“Bagaimana jika Bapak berada diposisi Romo? Dipermalukan sedemikian rupa dan sama sekali tidak dibela oleh besannya?!”
“A-zis!" Bapak sedikit membentak, lagi-lagi menatap Mas Azis tak senang.
“Nggeh, Romo.”
“Diam," ucap bapak.
Mas hanya membisu. Ia menatap ke arahku dengan wajah sedih, membuang napas, lalu menunduk.
“Kasihan santri jika ditinggal terlalu lama. Aku pamit dulu.”
“Saudara-saudaraku memang seperti itu, jangan diambil hati ya, San?”
“Pasti sulit untuk tidak memikirkannya. Apalagi, Dik Lita anak Romo satu-satunya." Sambil Mas Azis melirikku.
“A-ziiis!” Bentak bapak lagi.
“Nggeh, Ro-mo. Nyuwon ngapunten—mohon maaf. Azis tunggu Romo di dalam mobil.” Lalu Mas Azis pun masuk dan menutup pintu mobil. Tak biasanya Mas Azis bersikap seperti tadi. Biasanya, ia selalu bersikap tenang dan sopan.
“Apa boleh aku berkunjung ke rumahmu, San?” tanya bapak mertua yang langsung mendapat anggukan dari bapak.
“Selalu terbuka, selalu terbuka lebar pintu rumah untuk besanku. Mainlah, mainlah silakan.”
Mertuaku memeluk Bapak yang segera dibalas bapak dengan hangat. Mereka saling memeluk, sama-sama menangis. Aku, Andre dan Mas Candra hanya diam menyaksikan tak jauh dari keduanya.
“Hati-hati di jalan, Pak," ucap Mas Candra, ia terlihat enggan menatap sang mertua yang sekarang tengah menepuk lembut bahunya.
“Jadilah suami yang baik. Shalat jangan sampai ditinggalkan.”
Mas Candra mengangguk.
“Jangan mabuk lagi. Ingat janjimu saat melamar Lita dulu, kamu janji akan jadi suami yang baik." Bapak mengingatkan. Suamiku kembali mengangguk.
Bapak kemudian menerima uluran tangan Andre lalu memelukku yang hanya diam membisu. Bapak akhinya membalikkan badan dan masuk ke mobil. Benda hitam mengkilap itu akhirnya bergerak pelan meninggalkan kami semua. Bapak mertuaku melambai-melambaikan tangan.
“Sombong sekali, disuruh menginap beberapa hari lagi tidak mau! Apa santrinya lebih penting daripada perasaan besannya?!” oceh Bapak setelah mobil lenyap dari pandangan, tatapan kesalnya tertambat ke wajah Mas Candra. Lalu bapak memandangku, menelisik dari puncak kepala sampai ujung kaki.
“Gak tau, Pak. Memang seperti itulah sifat mertuaku,” sahut Mas Candra ketus. Aku hanya bisa mengelus d**a. Tadi di depan Bapak terlihat begitu baik lalu kenapa sekarang berbeda?
“Lita, seharusnya kamu itu kumpul bersama keluarga besar bukannya meninggalkan mereka! Sungguh tidak punya sopan santun sekali! Katanya kamu keluaran pesantren, tapi tidak tahu caranya sopan santun!” ucap Bapak dengan mimik sinis, lalu melangkah cepat keluar halaman. Andre menyusul langkah Bapak. Sementara Mas Candra langsung berbalik menghadapku yang begitu shock dengan sikap bapak barusan yang benar-benar berubah.
“Bapak memang seperti itu sifatnya. Lama-lama, kamu akan terbiasa, Dik.”
Aku mengangguk kecil. “Iya, Mas.”
“Sudah kupikirkan masak-masak tentang kita. Sepertinya ... kita harus ....” Mas Candra menarik napas. Aku menatapnya gelisah. Apa yang mau dikatakannya? Perasaanku semakin tak enak saja.
“Kalau lelah, istirahat saja di kamar. Nanti mau bakar ayam. Setelah bakar-bakar ayam saudara-saudaraku akan langsung pulang, naik bus malam.”
Lagi, aku kembali mengangguk. Mas Candra menatapku cukup lama. Wajahnya terlihat tak tega.
“Ada yang ingin aku bicarakan, tapi gak sekarang. Waktunya ... sepertinya belum tepat.”
Jantungku berdetak keras sekali bersamaan dengan pikiran-pikiran jelek yang berkelindan ke benakku. Wajah Mas Candra tampak begitu memelas. Apa sesuatu yang besar akan terjadi? Aku mengalihkan pandang ke arah lain karena tak kuasa bersirobok dengan lelaki yang membuat perasaanku jadi semakin tak menentu saja.
“Sudah, jangan sedih.” Mas Candra meraih tanganku, menggandengku menuju rumah.
Saudara-saudara Mas Candra langsung saling menatap saat aku dan Mas Candra tiba di ruang tamu. Suara tawa yang tadi terdengar jelas bersahut-sahutan, kini lenyap seketika.
“Nduk, duduk sini!" Ibu menepuk-nepuk sofa di dekatnya duduk. Mas Candra melepas genggaman tangannya, lalu ia duduk di samping bibinya. Aku sendiri segera duduk di dekat Ibu, menyimak obrolan kerabat Mas Candra seputar bisnis dengan perasaan tak nyaman karena sebagian kerabat Mas Candra curi-curi pandang ke arahku.
“Sudah kamu pikir matang-matang, Can? Yakin, tidak akan menyesal?” tanya sang bibi, mata indahnya melirikku. Aku memilih pura-pura tak melihat, dengan cuek mengambil kacang bawang di toples, mengunyahnya pelan. Jujur saja, berada di tengah-tengah keluarga besar Mas Candra membuatku begitu gugup sampai-sampai, tangan dan wajahku dibanjiri keringat dingin padahal ruangan ini menggunakan AC.
"Udah, Bi. Gak akan nyesal. Kenapa harus menyesal?” Ganti Mas Candra yang kini melirikku. Ia mengambil bungkus rokok di meja, mengeluarkan sebatang lalu menyelipkan benda berbahaya bagi kesehatan itu ke bibirnya. Tak lama kemudian, asap putih berbau memuakkan keluar dari hidung dan bibir Mas Candra, bergulung-gulung semakin tinggi ke udara sebelum akhirnya raib.
Aku menggigit bibir melihat Mas Candra terus merokok. Dasar munafik. Dulu ia berkata ia bukan pecandu rokok, tapi kenyataannya? Dusta. Semua yang dikatakannya sebelum menikah ternyata palsu belaka. Katanya, ia tak merokok. Bilangnya, rajin shalat, sering ikut kajian. Faktanya?
Aku mengambil tisu di meja lalu menggunakannya untuk mengusap keringat di wajah. Andai dulu aku tahu dia membohongiku ... aku pasti tidak sudi menikah dengannya karena aku tidak menyukai asap rokok. Membuat sesak napas.
“Ya baguslah kalau begitu, semoga kamu benar-benar tidak akan menyesal.”
Mas Candra hanya mengangguk. Aku memperhatikan keduanya secara bergantian.
Apa sebenarnya yang dibicarakan Bibi dan Mas Candra?
Dadaku berdebar saat tiba-tiba saja terbesit tentang perceraian. Akankah Mas Candra melakukannya karena setatus kegadisanku? Aku memang merasa dibodohi dan menyesal karena menikah tanpa menyelidiki seperti apa tabiat Mas Candra dulu. Walau begitu, tak sekali pun di benakku terlintas untuk bercerai.
“Aku ... permisi ke kamar," kataku pelan sambil berdiri. Aku melangkah tergesa menuju kamar diiringi deheman beberapa saudara Mas Candra.
Lanngsung kurebahkan tubuh di kasur empuk sesampainya di kamar. Mataku menghangat dan tahu-tahu aku sudah terisak.
Kenapa dulu aku tak mendengar ucapanmu, Pak? Sungguh aku tak menyukai lelaki perokok. Bau. Tapimi yang terjadi ....
Aku beranjak duduk dengan pelan. Tas besar di samping lemari langsung saja mengusik perhatianku. Didorong rasa penasaran, akhirnya aku melangkah mendekati tas itu, tak sabar membukanya. Kuucap bismillah lalu menarik resleting tas, jantungku langsung menghentak-hentak.
Baju-baju, celana dalam, beha, jilbab, semua kebutuhan utama kaum perempuan, telah tersusun rapi di dalam tas. Kenapa kamu begitu kejam, Mas? Air mata kembali luruh ke pipi yang segera kuseka. Kamu harus kuat, harus kuat! Aku terus meyakinkan diri sendiri bahwa aku bisa melalui semua.
Tidak boleh lemah.