4

1604 Kata
Tatapan meneduhkan Mas Candra memudar. Ia menggeretakkan gigi lalu menyentak tanganku kuat membuatku tersentak kaget. Aku hanya bisa menghela napas panjang saat melihatnya membanting tubuhnya ke kasur, lalu merapatkan mata. Dengan perasaan ragu, aku memberanikan diri mengguncang tangan Mas Candra. “Bentar lagi azan, Mas gak tunggu salat sekalian baru tidur lagi?” “Ngantuk! Persetan dengan azan!” Bentaknya. Tepat setelah Mas Candra berhenti berkats, azan subuh menggema indah. Aku hafal benar, suara yang memecah kesunyian pagi itu adalah milik santri kesayangan Bapak. Nyaring dan enak di dengar. Merdu. “Mas.” Aku kembali mengguncang tangan Mas Candra. “Sudah azan, salat, yuk?” “Malas!” sahut Mas Candra ketus dengan mata sedikit terpicing. Senyum sinis menghiasi bibirnya. “Astaghfirullah, Mas. Istighfar, dosa.” Mas Chandra menyentak napas. Lalu perlahan, matanya kembali terpejam. Aku menggeleng sedih. Dulu, Mas Candra begitu ramah dan murah senyum. Dimana lenyapnya semua itu? Dengan langkah pelan aku menuju kamar mandi lantas mengambil wudu. Setelah melaksanakan salat, segera aku keluar kamar. Gelap. Aku pun menekan saklar. Empat lampu kristal berukuran sedang yang menggantung indah di ruangan lebar ini, seketika menyala terang benderang, memperlihatkan tubuh-tubuh manusia dewasa berselimut tebal yang bergelimpangan di karpet merah. Sebagian saudara-saudara Mas Candra terlelap di kasur lantai. Ada juga yang meringkuk di sofa. Minuman kemasan 500 ml, piring-piring berisi kulit jeruk serta aneka makanan, tersaruk di berbagai tempat; di dekat kaki, di meja, di atas sofa, dekat tangan, juga dekat lemari mewah berisi pajangan-pajangan indah yang semuanya terlihat mahal—ada patung kuda, kucing kecil, guci-guci mini, belasan piala, juga beberapa bunga ukuran sedang yang terbuat dari dedaunan. Elok dipandang mata. Aku tengah memunguti gelas plastik untuk diletakkan di nampan saat mendengar namaku disebut. “Non Lita, biar Simbok saja.” “Gak papa kok, Mbok. Senang aku bisa bantu Simbok,” sahutku sambil terus memunguti gelas plastik air mineral. Lalu kupunguti remah-remah makanan yang menempel di karpet. “Nduuuuk, siniii! Bantuin I-buuu.” Aku tersenyum pada simbok, lantas bergegas mencari sumber suara yang sepertinya dari arah belakang. Di sebuah kursi, ibu sedang duduk sambil bersenandung ringan, tangan lihainya tengah memotongi sayuran. “Ibu mau nyayur sop?” tanyaku, memperhatikannya yang terus memotong wortel. Iya, bosen dari kemarin ngunyah ikan dan ayam terus. Bantu Ibu, ya?” “Oke, laksanakan!” sahutku antusias dan tersenyum kecil, berusaha melupakan perlakuan Mas Candra barusan. Senyum ibu terkembang lebar, diusap-usapnya kepalaku yang berjilbab lalu kembali memotong sayuran. Setengah jam kemudian, suasana rumah yang tadinya sepi mulai ramai. Anak-anak kecil yang baru saja bangun dan mandi, kini berlarian di ruang makan sambil tertawa riang, sementara orang dewasa mulai berdatangan menuju ruang makan yang sudah diisi oleh beberapa orang. Kaum lelaki duduk bersama lelaki, sementara yang perempuan duduk sesama perempuan di kursi yang mengitari meja berisi aneka kue, makanan, buah-buahan, nasi, serta lauk pauk. Aku duduk di samping ibu, secara tak langsung berhadapan dengan bapak dan Mas Azis yang tengah duduk berbincang-bincang di kursi yang mengitari meja satunya. “Ayo, dimakan.” Perintah ibu dengan suara pelan. Bapak mertua yang duduk di samping kiri bapak, segera menimpali, “Dimakan, dimakan, dimakaaaan! Jangan sung-kaaan! Dengan saudara sendiri jangan ri-siiih! Ayo, Besan, dimakan!” katanya antusias sambil menepuk-nepuk bahu bapak, bapak langsung mengangguk-angguk. Lalu tanpa diminta, bapak segera melantunkan doa makan keras-keras. Mas Candra yang baru saja tiba di ruang makan dan tak mendapat tempat duduk di bagian kaum adam, akhirnya menggeser kursi di sebelahku lantas mendudukinya. “Ehemp. Ehem. Cieeee, pengantin ba-ruuu,” celetuk Danar, adik pertama Mas Candra. Di sampingnya, si imut Lusi terus mengunyah ayam goreng. Memandang bocah kecil yang tak pernah melihat ibunya itu, tiba-tiba hatiku berdesir. Bayangan buah hatiku yang masih merah memenuhi benak. Apa kamu tumbuh dengan baik, Nak? “Ah, sayang sekali Kakak udah nggak pe—“ “Hiiits, diem, Ndre!” kata Danar. Jantungku berdenyut ngilu, seperti diremas dengan keras rasanya. Aku menundukkan pandangan, perlahan menikmati santapan dengan tak berselera. Andre, adik bungsu Mas Candra, orangnya memang ceplas-ceplos. Setengah bulan lebih mengenalnya, membuatku tahu betul tabiatnya. Aku mengambil gelas, segera meminum isinya hingga tak tersisa. Semua orang membisu, hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring atau berbenturan dengan gigi. Di meja seberangku, bapak menunduk, berkali-kali ia mengusap sudut matanya yang basah, bahu bapak berguncang pelan oleh tangis. Bapak mertua, sebentar-sebentar mengusap bahu bapak. Tak tahan menyaksikan kepedihan yang tengah dirasakan bapak, aku mulai terisak lirih. Terdengar suara. “Semalam, aku denger, Ma, ucapan Mas Candra, katanya, Mbak Lita perempuan murahan, ya? Kaya gorengan, dong!” “Hiiits.” Suara ibu. “Aku juga dengar, Ci.” Gadis-gadis tanggung itu terus mengoceh sambil sesekali melirikku, sungguh membuat perasaanku semakin tak nyaman saja. “Jangan bicara aneh-aneh!” Suara Ibu terdengar ketus. “Jangan bentak-bentak Cici sembarangan, Mbak Yu! Kenyataannya benar, kan, kalau—“ Mas Candra tiba-tiba berdiri, ia meraih satu piring di meja, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, “Bapak-bapak, ada yang mau ikan bakar, nggaaak?! Di sini masih banyak. Ada yang mau? Ada yang mau?” Serentak kaum lelaki menjawab, “Nggaaaaaak!” Setetes air bening meleleh di pipiku saat melihat wajah sedih Mas Candra. “Katakan, kamu udah nggak pera—“ ucapan bibi Mas Candra segera terhenti saat Mas Candra meletakkan piring di meja dengan keras, kemudian ia mengangkat piring lain. Seperti beberapa menit lalu, Mas Candra kembali mengangkat piring tinggi-tinggi. “Kalau sate, ada yang mau nggaaak? Di sini masih banyaaak!” Serentak para bapak-bapak menjawab, “Nggaaaaaak!” “Kamu sengaja, kan, Can, mau membuat bibi kesal?” tanya bininya dengan tatapan menyelidik. “Kalau daun singkong rebus ada yang mau, nggaak? Buah, mau, nggaaaaak? Sirup? Kalau ... gorengan?” kata Mas Candra lagi. Semua orang saling menatap. Lalu dengan kompak menjawab, “Ma-uuuuuuu!” Nyatanya, tak ada gorengan di meja. Nyaris semua orang tertawa saat melihat Mas Candra menggaruk-garuk kepala, lalu sambil nyengir suamiku berkata, “Silahkan dimakan gorengannya, gorengan ayam, gorengan ikan, gorengan tempe. Selamat menikmati.” Lalu Mas Candra pun duduk. Semua kembali tertawa. Lalu, hening. Perlahan, kembali terdengar denting sendok di piring, bunyi orang-orang yang sedang mengunyah makanan, dan ibu-ibu yang membujuk putrinya agar mau makan. Di sampingku, Mas Candra makan tergesa-gesa, seperti sengaja dijejal-jejalkan agar nasi di piringnya segera habis. Terimakasih, Mas, karena Mas, aku tidak jadi dipermalukan. Gumamku. Aku menahan napas saat tatapanku bertabrakan dengan tatapan sinis bibi Mas Candra. Karena situasi semakin tak nyaman, ditambah aku sudah tak berselera makan, maka akhirnya aku memilih keluar rumah. Berjalan pelan melintasi bebatuan kecil yang membelah halaman luas bertanah cokelat ini. Sejuknyaa. Di mana-mana, tertanam rapi dalam pot beragam jenis bunga juga aneka kaktus. Aku memperhatikan bunga krisan aneka warna yang ditanam di tanah sambil menyebut keagungan-Nya. Indah. Beberapa kupu-kupu bersayap cemerlang, tengah menyesap nektar bunga yang berkilat bagai berlian karena bias mentari pagi mulai menyinari bulatan-bulatan kecil air yang tertinggal di dedaunan serta kelopak-kelopak bunga cantik itu. Maha Besar Allah, yang telah menciptakan segalanya dengan begitu sempurna. “Ta, Bapak mau pulang.” Ucapan bapak membuatku langsung menoleh. Aku mengangguk pelan. Wajah bapak terlihat muram. Sementara lelaki mengenakan kemeja biru dipadu celana kain hitam dengan kopiah senada, tersenyum tipis padaku lalu menundukkan pandangan. Seperti biasa, ia enggan menatap lama. Ah, andai aku pandai menjaga mata, tentu tak akan terpukau oleh pesona Mas Candra. Bisa saja, penyesalan ini tak terjadi, ia ternyata tak sebaik dalam prasangkaku. Ah, sesal. Kenapa selalu datang belakangan? Bapak memelukku. “Bapak melihatnya mabuk semalam. Lelaki seperti dia ...” Bapak terisak. Bahunya berguncang keras oleh tangis. “Bagaimana mungkin ada orang yang mau melepas pakaiannya di depan orang banyak?” gumam Bapak dengan wajah sedih. Di sampingnya, sang santri kesayangan terus menunduk. “Lelaki seperti Candra ....” Aku memilih membisu karena tahu betul ke mana ucapan bapak menuju. Tak pantas, memang, bahkan tak boleh dalam agama, seseorang membeberkan aib pasangannya hidupnya. Istri adalah pakaian suami. Begitu pula sebaliknya. Suami istri harus saling menjaga rahasia. “Karena sudah menjadi suamimu, tetap kamu harus tunduk pada Candra selama dia berkata benar, Ta.” “Iya, Pak.” “Bapak tidak menyangka akan mendapat mantu tak mau salat, pemabuk, membuka aib istri. Berapa lama orang seperti itu bisa diluruskan, Ta?” Bapak tersengal oelh tangis. “Insya Allah secepatnya, Pak.” “Tapi, Bapak, kok, tidak yakin. Pemabuk, pasti hatinya keras. Tidak salat, pula. Apa bisa, Candra berubah jadi baik seperti Azis?” Mas Azis membisu, agak sedikit tersipu. Aku juga membisu. Bapak mengusap kepalaku lalu melangkah pergi. Di depan sana, supir bapak mertua, tengah berdiri di samping pintu mobil yang terbuka, dengan isyarat tangan menyuruh bapak segera naik. Aku menarik napas, mencoba melepas kepergian bapak dengan seulas senyum. Lalu aku berjalan mendekati bunga krisan berwarna merah, memerhatikan cukup lama, memetiknya, kemudian membaui di hidung. Tidak wangi. Tiba-tiba, tatapanku melabuh pada makhluk bulat sedikit panjang yang menggeliat-geliat di atas daun bunga krisan yang ujung-ujungnya telah berubah seperti gergaji. Pasti, makhluk oranye dengan motif cokelat bulat-bulat itu si biang keladinya. Makhluk itu, kini sedang mengunyah, bagian moncongnya bergerak-gerak menjijikkan. Sungguh amat menjijikkan. Hama tanaman. Pun begitu, saat tiba, waktunya, ia akan menjelma serangga lucu nan indah yang bermanfaat, disukai nyaris semua orang. Jika makhluk jelek tak berakal seperti ulat pada akhirnya akan membuat bunga-bunga bermekaran, apakah tak mungkin, Mas Candra yang pemabuk suatu saat menjadi lelaki baik seperti yang diinginkan Bapak? Aku menarik napas panjang. Dan sedikit terkejut saat mendengar teriakan. “Saaaan! Be-saaaan! Tunggu!” Tubuh tambun bapak mertua berdiri di depan rumah later L-nya yang besar, dengan satu tangan melambai-lambai ke arah bapak. Saat aku menatap bapak, wajahnya terlihat sangat pucat. Bergegas bapak memasuki mobil sementara bapak mertua melangkah tergesa ke arahnya yang segera disusul oleh Andre dan Mas Candra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN