6

1470 Kata
Bunyi ketukan terdengar pelan, bergantian dengan suara lembut Ibu yang menyuruhku segera keluar. Aku merapikan jilbab lalu membuka pintu. Ibu memandangku dengan senyum merekah. Tangannya terulur. “Ayo.” Ia menggapai tanganku. “Ayam bakarnya sudah matang,” lanjutnya dengan wajah semringah. “Lita sedang gak selera makan, Bu.” Lirihku. “Selera tidak selera tetap harus keluar, Nduk. Tadi, Bapak cari kamu.” Ingat perkataan bapak mertuaku terakhir kali, aku pun tak punya pilihan selain mengikuti langkah Ibu menuju halaman samping. Saudara-saudara Mas Candra tampak sedang membolak-balik potongan ayam dalam tempat panjang dari besi berisi bara, sebagian lagi ada yang membuat sambal kecap juga menyiapkan tempat makan dengan daun pisang yang digelar di tengah-tengah tikar yang membentang lebar. “Dik, si-nii!” Aku pun berjalan mendekati Mas Candra, tangannya sibuk membolak-balik ayam bakar dengan capitan. “Bawa ke sana,” katanya sambil tersenyum. Manis sekali. Apa Mas Candra baik padaku karena punya maksud tertentu? Bayangan tas besar menerjang ingatanku, membuatku menggeleng pelan, tak ingin berprasangka yang bukan-bukan. Apa keperawanan begitu penting bagi kaum adam? “Bawa ke sana.” Mas Candra mengulangi ucapannya dengan nada lembut. Aku mengiyakan, bergegas membawa nampan berisi ayam panggang yang terus mengepulkan uap berbau sedap ke arah daun pisang yang telah diisi nasi dan lalapan. “Nah, begitu, bantu-bantu, jangan di kamar aja kayak tamu,” ucap bibinya Mas Candra tanpa menatap ke arahku. Ia segera meletakkan ayam yang kubawa ke atas nasi. “Jangan dipikir omongan bibinya Candra. Dia memang ceplas-ceplos," kata budenya Mas Candra, ia tengah mengulek sambal tomat. “Iya, Bude.” “Candra, dari kecil dia paling tidak senang dibohongi. Jika ada masalah, ceritakan langsung padanya. Pasti dia mau mengerti.” “Iya, Bude.” “Ayo, segera makan. Jangan sungkan. Jangan sung-kaaan!” Bapak mertua yang baru datang entah dari mana, berteriak sambil berjalan mendekat. Ia lalu duduk menghadap daun pisang berisi nasi lengkap dengan ayam bakar lalapan juga sambal. Ibu yang duduk di sebelahnya, menggelengkan kepala, bibirnya tersenyum kecil. Tidak sampai sepuluh menit, akhirnya semua orang berkumpul, duduk berhadap-hadapan dengan santapan di tengah. “Kak, makan yang banyak,” kata Andre, ia tersenyum menatapku. Aku mengangguk. Andre yang duduk di samping Mas Candra langsung mengangkat ibu jari ke udara. Sementara tangan satunya, mengulurkan paha ayam pada Sisi yang makan berhadapan dengan sang ayah yang terus diam. “Makan yang banyak, Dik. Biar gak masuk angin seperti kemarin.” Mas Candra menatapku. Meski benakku dipenuhi prasangka yang tidak-tidak, aku mengangguk. Aku mengunyah makanan dengan mata menghangat ingin menangis. Jangan menangis. Tidak boleh cengeng. Aku menggigit bibir bawah, berusaha menekan perasaan sedihku yang kian menjadi. Kenapa orang-orang mendadak begitu baik padaku? Apa ada maksud tertentu? Apa setelah ini, Mas Candra akan mengantarku ke rumah lalu mengajukan gugatan cerai? Aku kembali menggigit bibir, sedih membayangkan kemungkinannya. “Makanan, kalau hanya ditatap tidak akan pernah habis. Makan yang banyak, Lita," ucap Bapak mertuaku. Beliau yang tadi begitu sinis pun berubah baik. Kenapa? Ada apa ini? Apa jangan-jangan, benar firasatku bahwa hubunganku dan Mas Candra akan segera berakhir? Cerai? Ya, Allah. Mau diletakkan di mana wajah pendiri pondok pesantren itu jika ketakutanku menjadi kenyataan? Bapak pasti, akan sangat malu. Sepi. Hanya terdengar suara kunyahan. Semua orang sibuk makan dengan lahap. Aku mengangguk pada Bapak lalu kembali makan. Begitu selesai, tanpa mengatakan apa pun, aku melangkah cepat ke kamar dengan air mata membanjir di pipi. Mas Candra mengejarku. “Seharusnya, kamu bersikap baik pada saudara-saudaraku. Seharusnya, kamu mengakrabkan diri, Dik!” “Maaf, Mas, aku gak enak badan,” sahutku sambil merebah, lalu berbaring miring membelakanginya. “Keluar dulu. Tidurnya nanti saja. Ngobrol-ngobrol dulu, saudara-saudaraku akan segera pulang.” “Aku sungguh gak enak badan, Mas.” Suaraku parau. Kuusap air mata dengan gerakan pelan. Hening. “Jangan membuatku malu dengan terus mengurung diri di kamar, Dik! Ayo, keluar!” Kurasakan tangan Mas Candra menyentuh lenganku. Cengkeramannya yang kuat, refleks membuatku memekik. Sakit. “A-yo!” Kuseka air mata yang kembali jatuh membasahi pipi. Lalu, aku duduk. Menatap lelakiku yang menghujamkan tatapan kesal. “Kenapa, Mas, memperlakukanku seperti ini? Aku memang salah karena gak jujur. Tapi tolong jangan bersikap seperti ini. Ayo kita bicarakan baik-baik, Mas, aku akan menjelaskannya kenapa aku gak perawan." Aku terisak. “Gak perlu!” Mas Candra menyentak tanganku. “Ayo membicarakannya sekarang, Mas. Duduk, Mas. Du-duk.” Aku setengah memaksanya. "Mas ...." Mas Candra tak menurut. Ia terus berdiri berkacak pinggang dengan sorot mata kesal. Lalu perlahan, wajahnya berubah sedih. “Pengawal bapakmu sudah mengatakannya padaku.” Lirih, ucapan yang keluar dari bibir Mas Candra. Aku menatap lelakiku lama. “Apa Mas Azis yang mengatakannya padamu, Mas?” Aku menatapnya ingin tahu. Wajah Mas Candra berubah murung. “Sudah, gak usah membahas itu lagi. Aku tidak mempersoalkannya lagi sekarang. Ayo, keluar, temui saudara-saudaraku agar tidak jadi omongan.” Wajah Mas Candra melunak. Tangannya terulur ke arahku. Kudiamkan. Bagaimana mungkin kamu tak apa-apa tapi ada tas berisi semua pakaianku, Mas? “Ayo. Sebentar lagi mereka pulang, naik bus malam.” “Mas bilang, katanya tadi ada yang mau dibicarakan padaku. Apa?” “Nanti saja. Ayo, keluar.” Mas Candra menggapai tanganku, menariknya menuju samping rumah yang disirami cahaya lampu terang benderang, memaksaku duduk di kursi bersama Bapak, Ibu, serta bibi dan bude Mas Candra. “Kenapa di kamar terus? Di sini, kan, lebih enak, udaranya segar. Jangan sombong mentang-mentang pinter ngaji,” ucap Bapak sambil meraih gelas kopi yang tinggal setengah. Aku menelan ludah. Yang dikatakan Bapak benar, di sini memang segar. Tapi mengenai sombong ... aku menarik napas. Alih-alih membela diri, yang bisa kulakukan hanyalah menunduk diam. Nanti aku salah omong, lagi. “Jadi manusia itu, harus bergaul dengan baik, jangan di kamar te—“ “Pak!” Tangan Ibu mendarat di pinggang Bapak. Bapak memandang Ibu dengan wajah tak terima, lalu menatapku. “Bapak ngomong bukan karena tidak suka, Bu. Jika tak suka, pasti tidak akan ada pernika—“ “Pak!” ucap Ibu lagi sambil mendelik pada Bapak. “Ah, Ibu gimana, tho—sih, Bapak hanya memberinya pengertian saja, kok. Orang itu harus bergaul,” gerutu Bapak dengan wajah tak terima. “Betul kata suamimu, Mbak Yu. Kuperhatikan, mantumu dari tadi di kamar terus, kok!” sahut bibi Mas Candra, wajah putih cantiknya penuh kemenangan. Daripada menanggapi yang barangkali akan membuat persoalan malah jadi panjang, aku memilih terus diam menyimak. Aku mengambil gelas, lalu menuang teh dari teko, menyeruput gelasku pelan. “Sa-bar, Mbak, yaaa beginilah keluarga kami kalau sudah ngumpul,” kata Andre pelan, ia menatapku cukup lama, membuatku begidik. “Kang, aku mau siap-siap dulu, bis sebentar lagi berangkat,” ucap Bibi Mas Candra pada bapak. Ia lalu berdiri. Bapak dan Ibu ikut berdiri yang segera disusul oleh yang lain, berjalan memanjang menuju rumah lewat pintu samping. Sementara saudara-saudara Mas Candra berkemas, aku memilih duduk di teras, memandang bulan temaram. Langit tak begitu terang. Pun begitu, tetap indah dengan cahaya keperakan yang terus berkelip-kelip di sekitarnya. “Bibi pulang dulu, maaf, jika sikapku tak mengenakkan. Ya seperti inilah aku,” berkata begitu, Bibi mengulurkan tangan lalu ia memelukku, menempelkan pipinya ke pipi kanan dan kiriku. Baru saja Bibi Mas Candra melangkah melewati teras, Bapak memanggilku dari dalam. “Ada apa, Pak?” “Saudara-saudara mau pada pulang kok malah pergi.” Sindir Bapak, aku mengangguk. Bapak menerima uluran tangan kerabatnya secara bergantian, pun begitu dengan Ibu, Andre dan Mas Candra. Bapak, ibu, juga Mas Candra dan Andre melangkah ke halaman, aku mengikuti. “Kamu segera berkemas, Dik.” Mas Candra menatapku yang berdiri di sampingnya. Tenggorokanku tercekat. Dadaku bergemuruh hebat. Ternyata, yang kukhawatirkan terjadi. “Apa aku begitu hina di matamu, Mas?” tanyaku dengan air mata yang tak bisa diajak kompromi lagi. Pedih hatiku. Sakit tak terkira. Nelangsa, jadi aku menangis mengabaikan rasa malu seperti anak kecil. Allah ... kenapa Kau timpakan ujian seperti ini padaku? Ini sakit sekali, Allah. “Hina bagaimana? Aku bermaksud baik.” “Jangan bertele-tele, Mas. Katakan saja yang tadi ingin kamu bicarakan denganku. Kamu ingin ... kita ... ki-ta ....” Tubuhku bergetar oleh tangis yang hebat. Isakan-isakan kecil mulai membuat dadaku sesak dan tak nyaman. “Aku ingin mengajakmu pergi bulan madu. Tapi kenapa malah sedih? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, hem? Apa kamu berpikir jelek tentangku, hem?” Aku refleks memandang Mas Candra. Tatapannya yang meneduhkan lekat ke wajahku. Ia mendongakkan daguku, kami berpandangan dalam jarak yang begitu dekat, membuat dadaku berdesir pelan. “Apa, Mas? Bulan madu?” “Iya, aku sudah ijin gak kuliah satu minggu. Kita ke Gisting saja, aku kangen suasana di sana.” “Bulan madu, Mas?” Lirihku sambil menyeka air mata. Menatapnya dengan pandangan tak percaya. Mas Candra mengangguk, tangannya bergerak di pipiku, menghapus jejak air mata. Tatapannya begitu meneduhkan. Apa ini ... bukan mimpi? Tapi kenapa tadi aku melihat hanya pakaianku saja di tas?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN