7

1472 Kata
Mas Candra mengangguk, tangannya bergerak di pipiku, menghapus air mataku. Tatapannya begitu meneduhkan. Apa ini bukan mimpi? "Kenapa?" tanyanya. Aku menggeleng. "Gak papa, Mas." Aku hanya tak menyangka kamu bisa berubah drastis begini, Mas. Mas Candra menarikku keluar kamar. “Candra, lain kali jaga omonganmu! Jangan kembali membuat bapakmu ini malu. Masalah dengan istri, seharusnya hanya diketahui berdua saja. Jangan diumbar ke orang lain. Dan jangan mabuk lagi, memalukan!” Mas Candra menunduk saat bertemu tatap dengan bapak. Aku juga ikut menunduk saat bapak menatapku. “Dan kamu, Lita, dengan orang yang dicintai, seharusnya tidak ada yang disembunyikan. Jangan diulangi lagi.” “Pak, sudah, tho, sudah. Lha kok malah marah lagi.” Ibu menggapai tangan Bapak. Ketakutan terlihat jelas di wajah Andre dan Mas Candra saat menatap wajah pucat ibu. “Dan Andre, lain kali kalau mau bicara itu dipikir dulu." Kini Bapak menatap Andre. “Pak, sudah, tho. Sudah," kata Ibu sambil mengusap pelan dadanya. Bapak meraih tangan Ibu, menuntunnya pergi meninggalkan kami. “Jangan dipikirkan, to, Bu, nanti penyakitmu kambuh. Aku itu hanya nasehati anak-anak. Itu tandanya aku sayang pada mereka. Sudah jangan dipikir. Kalau kamu pikir, nanti bisa stres dan sakit lagi. Anggap saja, Ibu barusan nonton TV, ya?” kata Bapak sambil membuka pintu kamar mereka. Ibu tak menyahut. Mas Candra menatap Andre, membuat adiknya itu langsung masuk ke dalam. Aku dan Mas Candra akhirnya masuk kamar. Sampai di kamar, aku membuka tas, meneliti apa barang-barang yang sekiranya dibutuhkan sudah dimasukkan semua atau belum. Sikat gigi, ada. Celana dalam, ada. Jilbab, baju, serta dalamannya, ada. Tapi ... kenapa tak nampak sehelai pun baju milik Mas Candra? Ini yang sejak tadi menggangguku. Seolah mengerti arti tatapanku, Mas Candra tersenyum kecil. “Bajuku banyak di sana. Aku sering main ke tempat Bibi jadi banyak bajuku kutinggal di sana.” Aku mengangguk. "Ayo, kita naik taksi online saja ke Kampung Rambutan-nya.” Aku kembali mengangguk. “Nggak lewat Gambir saja naik mobil langsung?” Mas Candra menggaruk sisi rambutnya sambil nyengir. “Aku gak bisa naik mobil langsung. AC-nya terlalu menyengat. Nanti muntah-muntah.” Mas Candra meraih tas lalu berjalan mendahuluiku. “I-buuu, Pak, Candra berangkat dulu,” ucap Mas Candra setengah berteriak begitu keluar dari pintu. “Berangkat tinggal berangkat pakai teriak-teriak. Ganggu orang mauntidur saja!” jawab Bapak dari dalam kamarnya. Aku dan Mas Candra berpandangan lalu tertawa ringan berbarengan. Begitu turun dari taksi, kami melangkah tergesa menuju bus jurusan Merak yang baru saja berhenti di pinggir jalan. Beberapa kali, aku dan Mas Candra diklaksoni oleh pengendara sepeda motor dan mobil karena menyeberang terburu-buru tanpa memperhatikan kanan-kiri yang begitu ramai kendaraan. Sambil terus mengikuti langkah suamiku, sesekali aku mengedar pandang, takjub. Terminal Kampung Rambutan ini amat ramai. Selain kendaraan yang terus berseliweran, penjual aneka makanan, buah-buahan serta minuman menjamur di pinggir jalan diterangi lampu. Beberapa penjual asongan tampak menyerbu masuk bersama para penumpang saat bus lain ikut berhenti. Mas Candra memasukkan tas ke bagasi lalu menarikku naik ke mobil. “Jika mengantuk, tidur saja,” ujar Mas Candra sambil memutar samping kursi yang kududuki, membuat sandarannya turun perlahan. Aku tersenyum lantas menjatuhkan bahu. Empuk. Juga nyaman. “Sampai kapal jam berapa kira-kira, Mas?” tanyaku kikuk. Walau sudah sah sebagai suami istri, tapi aku masih belum terbiasa berdekatan dengan lelaki. “Sekitar jam sepuluhan kalau nggak macet, Dik. Tidur saja kalau mengantuk,” sahutnya, diambilnya selimut dari plastik yang sedari tadi ditentengnya lalu menyelimuti tubuh kami berdua. “Belum ngantuk.” Suaraku terdengar lirih. Perlahan, bus mulai melaju perlahan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara kondektur mulai meminta ongkos bus. Mas Candra mengulurkan 3 pecahan 20 ribuan serta sepuluh ribuan saat lelaki berpostur tinggi berjalan menghampiri kami. “Mas?” Aku menoleh memandangnya. “Hem." Mas Candra menyingkap gorden. Berlama-lama menatap ke luar jendela. Ramai. Orang-orang terus berlalu lalang, beberapa tengah berdiri di pinggir jalan dengan tas besar di bahu, ada pula yang menenteng kardus. Itu tandanya mereka mau naik bus juga. “Aku minta maaf.” Lampu bus tiba-tiba dimatikan, hanya menyisakan lampu bagian depan, menyorot langsung ke jalanan yang terus dilalui berbagai kendaran—mobil, motor, truk. “Aku minta maaf, Mas.” Ulangku. “Minta maaf kenapa?” “Karena sudah membohongi Mas.” “Nggak papa, lupakan saja. Aku juga minta maaf, kemarin itu sangat emosi.” Aku menarik napas panjang. “Nggak papa, Mas. Aku yang salah, kok karena gak jujur. Aku ... sebenarnya ... masih ada satu rahasia.” Jantungku berdentam-dentam kuat saat mengatakannya. Kenapa mau mengatakannya, aku begini gugup? Memejamkan mata, aku mencoba mengumpulkan keberanian. Tiba-tiba aku terngiang petuah bapak mertua yang mengatakan agar pada suami, tidak boleh ada rahasia. Aku menarik napas panjang, lalu kuraih tangan Mas Candra, menggenggamnya. Aku harus bisa jujur. Harus. “Aku ... sebenarnya ... punya anak dari ... pelecehan itu, Mas. Maaf baru mengatakannya sekarang.” Hening di antara kami. Situasi ini sungguh membuat perasaanku tak nyaman. Juga cemas. Apa Mas Candra marah? Ia terus saja membisu. Sementara dua orang di belakang kursi kami begitu berisik, membicarakan tentang rencana pernikahan dengan suara menggebu-gebu. Sesekali yang lelaki menawarkan tempat untuk pesta pernikahan, dan sang perempuan menjawab dengan antusias. “Mas?” Panggilku. “Mas marah?” tanyaku dengan perasaan berkecamuk. Wajar, bila seandainya Mas Candra tak bisa menerima kenyataan ini. Siapa pun orangnya, pasti akan terluka saat mengetahui sang istri yang disangka masih gadis, ternyata punya anak dari lelaki lain meskipun dari hasil pelecehan. Maaf, Mas, lagi-lagi, aku mengecewakanmu. Aku menggenggam tangan Mas Candra semakin erat. Aku terisak kecil karena merasa tersisih. “Kenapa? Kok menangis? Ada apa?” Mendengar suara Mas Candra, aku langsung menoleh. “Apa Mas marah padaku?” “Marah kenapa?” tanyanya kebingungan. “Marah karena ucapanku barusan.” “Gak dengar." Aku mengernyit. "Apa Mas baru aja tidur?” “Iya, mumpung di bus. Takutnya, kapalnya tidak ada lesehannya dan nggak bisa tidur. Ayo, tidur.” Mas Candra membawa tanganku ke dadanya lalu memejamkan mata. Mataku ikut terpejam tapi pikiranku tak bisa tenang. Sampai kapan aku harus menyimpan rahasia ini? Allah, tolong beri aku keberanian untuk mengungkap yang sebenarnya. *** Sekitar jam tujuh pagi, kami tiba di Gisting Permai. Udara begitu dingin dan segar. Tampak gunung Tanggamus masih diselimuti kabut putih tebal. Jalanan menuju blok 17bbegitu lengang, rumah-rumah penduduk sebagian tampak masih tertutup. Mas Candra meraih tas besar berisi pakaianku. Aku mengeluarkan HP lalu berjalan sambil sibuk memotret gunung Tanggamus, begitu hijau segar menyejukkan mata. "Seperti anak kecil apa-apa difoto,” celetuk Mas Candra. “Mas Candra mau difoto?” Aku menoleh memandangnya. “Malas.” “Kalau begitu fotoin aku aja, ya, Mas?” Segera kuhadang langkah Mas Candra dengan cara merentangkan kedua tangan lebar, lalu kuulurkan HP padanya. Mas Candra menurunkan tas, lalu meraih HP dari tanganku. Cekrek! “Sudah.” Ia mengulurkan HP padaku. “Lagi, Mas. Berdua.” Pintaku, membalik tubuh Mas Candra agar kami berdiri sejajar membelakangi gunung Tanggamus. Setelah mengambil beberapa foto, kami kembali meneruskan perjalanan. Sesekali, Mas Candra bersiul lalu bersenandung kecil. Aku bertepuk-tepuk tangan. Sepuluh menit kemudian, kami tiba di depan rumah mewah dengan banyak bunga di halamannya. Di seberang rumah itu, pesantren di mana aku mengenyam ilmu agama berdiri kokoh, samar terdengar seseorang menerangkan sesuatu. Pasti, para santri sedang mengaji kitab kuning. Ah, aku jadi rindu dengan teman-teman di sana. “Nggak papa jika ingin berkunjung ke pesantren, tapi ke rumah Bibi dulu," kata Mas Candra. Aku mengangguk kecil. “Yuk, Bibi pasti ada di dalam.” Aku mengangguk, sedikit tak sabar bertemu dengan ustadzah Mar—begitu santri-santri biasa memanggil bibi Mas Candra. Selain mengajar kitab, terkadang, ustadzah Maryani mengajar qiraah. Beliau sangat baik. Seminggu sekali, ada saja makanan yang beliau shadaqahkan untuk para santri. “Eh, Can-draaa! Li-taaa! Ayo masuk! ma-suk!” Beliau menyambut kami dengan wajah riang gembira saat melihat kami di halaman rumahnya. “Mbak, tolong ambilkan air dingin, yaaa?” Lalu, pandangan bibi melekat pada wajah Mas Candra. “Maaf Bibi tak bisa datang, Can. Waktu mau datang, Heri masuk rumah sakit lagi,” tuturnya dengan wajah sendu. Fisik anak semata wayangnya memang lemah. Sejak kecil, Heri menderita kelainan jantung. “Nggak apa, Bi. Yang penting Heri sehat," sahut Mas Candra lirih. “A-yo! Ayo, dimakan!” kata bibi saat seorang wanita muda membawakan kami nampan berisi roti dan dua gelas besar minuman berwarna oranye dengan serpihan es batu di atasnya. Aku mengambilnya lalu meminum hingga kandas, membuat dahaga seketika musnah. “Sudah lapar belum, Ta? Langsung sarapan saja di dalam kalau sudah lapar. Can, ajak Talita makan.” Mas Candra mengangguk. Bergegas dibawanya tas ke kamar depan, sementara aku memilih ke luar rumah. Sejuknyaaa. Aku tersentak kaget sampai jantungku hampir copot saat secara tak sengaja menatap ke arah jalan. Lelaki yang barusan melintas mengendarai motor, kenapa mirip sekali dengan Zain? Tidak! Tidak mungkin lelaki terkutuk itu ada di sini sekarang. Tidak mungkin! Tapi kenapa begitu mirip?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN