"Ingin main ke mana?" tanya Mas Candra setelah menandaskan sarapannya. Ia menarik sehelai tisu dalam kotak, mengusap mulutnya lalu berdiri. Bibi yang sedang mengunyah makanan meletakkan sendok ke piring dan berdeham kecil. Heri terus asyik makan, berkali-kali mencubit daging lele yang disambal kering dengan terong ungu, memamahnya dengan lahap.
"Terserah Mas Candra aja."
"Badan masih capek, bagaimana kalau ke kali Grem saja?" Mas Candra menatapku lekat, kemudian melangkah ringan menuju dapur.
Tak heran jika Mas Candra lelah. Aku pun demikian. Perjalanan semalam memang sangat melelahkan. Bahu terasa sangat pegal. Pasti asyik, menyegarkan tubuh lelah ini di kali Grem. Aku tiba-tiba saja membayangkan parit panjang yang diisi dengan batu-batu besar kehitaman dengan air yang mengalir jernih. Serta pohon-pohon besar rimbun yang meneduhkan.
Aku bergegas menyelesaikan sarapan, tak sabar segera pergi ke kali. Meski di pesantren hampir 3 tahun, namun tak sekalipun aku ke kali Grem. Begitu pun santri-santri lain. Aturan pesantren cukup ketat. Tak ada yang bisa keluar dari pesantren kecuali untuk berobat bila sedang sakit. Itu pun, harus ijin kepada Buk Yai. Semua kebutuhan seperti madrasah bagi yang masih sekolah, koperasi bagi yang memasak, juga kantin, tersedia di dalam pesantren. Jadi, jangankan ke kali Grem, keluar dari gerbang di depan koperasi pun, pasti ada saja santri yang akan melapor ke pengurus.
"Ayo."
Mas Candra tahu-tahu sudah berdiri tak jauh dari kami. Ia melangkah pelan dengan ember hitam berukuran sedang berisi baju-baju yang digulung menggunakan handuk putih. Sementara ember kecil berisi sabun ia tenteng di tangan kiri. Aku pamit pada Bibi yang langsung mengangguk-anggukkan kepala lalu aku menyusul langkah Mas Candra, lekas merebut ember berisi sabun dari tangan suamiku ini.
Mas Candra melangkah lebih dulu. Aku membuntut di belakangnya sambil menoleh kanan-kiri. Tinggal di sini, pasti sangat menyenangkan. Udaranya begitu segar dan teduh. Pohon-pohon rimbun dan kelapa yang menjulang tinggi tampak meliuk-liuk dihembus angin, berdiri kokoh di kanan-kiri setapak jalan menurun menuju kali. Untung saja, ceruk yang dikelilingi beberapa pohon serta rerimbunan pohon bambu di mana kami menuju saat ini amat sunyi tak ada orang. Sepanjang melangkah, hanya terdengar desau angin dan bunyi tonggaret.
Mas Candra meletakkan ember di pinggiran ceruk lalu ia melompat turun. Aku tersenyum kecil melihat ia berenang ke tengah.
"Ayo, Dik, si-niii." Ia mengulurkan tangan.
Alih-alih menyambut uluran tangan Mas Candra, aku memutuskan duduk di sebuah batu ukuran sedang, perlahan menurunkan kaki, mengayun-ayunkannya ke dalam air yang dingin nan jernih. Aku mengamati udang-udang kecil yang begerak di bebatuan, refleks memekik tertahan saat Mas Candra menarik tanganku kuat, membuatku terjatuh dan menabrak tubuhnya.
BYUUUUR!
"Mas Can-draaa, dingin!" Aku memberontak dari kungkungan tangannya yang melingkar di tubuhku lalu berjalan ke tepi. Mas Candra menarik tanganku, memutar lembut tubuhku untuk menghadapnya.
"Jangan-jangan ... di pesantren nggak pernah mandi, yaaa?" Mas Candra memasang wajah mengejek.
"Mandi. Tapi, mandinya siang, hehe."
Mas Candra mengayunkan air ke wajahku yang segera kubalas.
"Berarti, waktu pertama bertemu denganku, belum mandi, yaa?" tanyanya dengan mata terpicing.
"Memang, kenapa?" kataku pura-pura cemberut.
"Aneh aja, belum mandi kok aku bisa suka."
"Karena aku punya wajah memikat, Mas. Nggak mandi pun tetap cantiiik." Sambil menyahut penuh percaya diri, kuayunkan air ke wajah Mas Candra. Ia mengusap wajah.
Tatapan kami tak sengaja bertemu. Waktu itu pada pertemuan pertama kami, kulihat tangan Mas Candra melambai-lambai dari sela gerbang pesantren karena ingin membeli camilan. Pertemuan kedua, Mas Candra berteriak dari depan gerbang minta diambilkan minyak goreng. Setelah itu, nyaris setiap hari, ada saja yang ia beli sampai akhirnya kami jadi akrab. Kedekatan itu, akhirnya diketahui pengurus pesantren, aku pun tak diijinkan lagi menjaga koperasi. Beberapa hari kemudian, Mas Candra bersilaturahmi ke rumah Buk Yai, mengutarakan niatnya menikahiku. Lalu berlanjut bertemu dengan Bapak.
Air yang menyiprat di wajah membuatku tersadar, aku pun segera membalas, mengayunkan air ke wajah suamiku. Mas Candra tak mau kalah, ia segera membalas dan berenang menjauh. Aku mengikuti. Aku menenggelamkan tangan sesampainya di bawah rerimbunan bambu, mirip seperti yang dilakukan oleh Mas Candra.
"Di sini, ada sumber mata air." Mas Candra menuntun tanganku. "Rasakan," ujarnya lirih, dengan mata menatap sayang. Aku tersipu malu, membuat wajahku perlahan jadi hangat.
"Besok mau ke mana?" tanyanya.
"Terserah Mas saja."
"Ke waterboom mau?"
"Berenang lagi? Kalau bisa, jangan berenang lagi, Mas."
Mas Candra tertawa kecil. Dicipratnya wajahku dengan air. "Tadi, katanya terserah. Bagaimana kalau naik bebek saja. Mau?"
"O-ke!" sahutku antusias, sementara tanganku terus merasai sumber mata air yang terasa lembut membelai telapak tangan. Sesekali, ikan-ikan citul berenang melewati kami. Udang-udang kecil, terlihat bergerak pelan di dasar, di selah bebatuan kecil.
"Mau?"
"Apa?" tanyaku kebingungan.
"Dari tadi kamu terus menatap udang-udang itu. Sebentar. Tunggu sebentar, ya, Dik?" Lalu, Mas Candra berenang menjauh, keluar dari ceruk, lalu setengah berlari menaiki jalan menanjak.
"Maas! Mas Candraa! Mau ke ma-naaa?!"
Terlambat. Tubuh Mas Candra sudah tak terlihat, menghilang di atas sana. Aku menoleh kanan-kiri. Sepi. Hanya terdengar arus air dan sayup-sayup suara orang dari kejauhan, cericit burung yang bertengger di dahan-dahan, juga lengkingan merdu tonggeret.
Aku memutuskan berenang ke tepi, duduk di batu besar sambil mengayun-ayunkan kaki ke dalam air, menimbulkan bunyi keciplak kecil. Aku rasanya begitu cemas.
"Di mana anak kita?!"
Aku terlonjak kaget. Suara itu ... dengan perasaan tak tenang, aku menoleh ke belakang. Jantungku berdetak kencang sekali, berdendam-dentam menyesakkan d**a. Aku beranjak berdiri dengan cepat lalu menoleh ke kanan kiri, bingung hendak pergi ke mana karena lelaki jahat itu berdiri persis menghalangi jalan pulang.
"Di mana anak ki-ta?! JA-WAB!!" suaranya kembali menggelegar memecah sunyi.
"Ba-bagaimana kamu bisa sampai sini, Mas? Ka-kamu, kamu mau apa?!" tanyaku takut bercampur cemas.
Tanganku yang mulai gemetar segera meraih ember, menyedekapnya di d**a saat tatapan Zain berlama-lama ke bagian dadaku yang basah. Zain terus menatap vertikal menghorizontal, membuat ketakutan kian kental menyergapku. Dengan baju basah seperti ini ... aku menggeleng takut, berusaha menepis berbagai perasaan jelek.
Aku menoleh ke kiri. Air di ceruk begitu tenang. Bertolak belakang dengan di bagian kanan di mana air deras mengalir menghantam bebatuan. Ada jalan tak jauh dari situ. Apakah harus pergi lewat situ?
"Diam atau mati!"
Refleks, aku melompat mundur, nyaris saja jatuh ke ceruk. Jantungku bertalu kencang. Debaran d**a, membuat napasku terasa tersendat. Hanya sekali tarik, sejata api yang kini ditodongkan Zain akan membuatku meregang nyawa saat itu juga.
"Apa maumu, Mas?! Kenapa menggangguku?!"
"Katakan, di mana anak kita?!" hardiknya dengan wajah bengis dan mata yang menghunjam penuh ancaman. Aku takut. Ya Allah, lindungi aku dari lelaki jahat itu yang telah merenggut kehormatanku dulu. Lindungi aku, Allah. Tolong aku.
Peristiwa saat aku tersedu-sedan di samping tubuh kekar Zain yang setengah telanjang, dengan mulutnya berkali-kali berjanji akan bertanggung jawab, tiba-tiba berkelindan di benakku. Jijik. Aku sungguh tak sudi mengingat itu lagi. Tapi, kenangan menjijikkan itu malah menerjang benakku semakin jelas; aku tersedu-sedu di dekatnya, sambil berkali-kali berteriak minta pakaianku yang ia sembunyikan segera dikembalikan. Zain terus mencoba menenangkanku, berkali-kali ia mengatakan akan menikahiku. Siapa yang sudi? Jijik. Hanya melihatnya saja aku sudah sangat jijik apalagi menjadi suaminya?
"Aku mengikuti ayahmu dan Azis agar bisa menemuimu. Kenapa, salah? Bo-doh. Seharusnya, kamu menerimaku menjadi suamimu!" katanya dengan tatapan tajam mengerikan. Cambang lebat membingkai wajahnya membuatnya terlihat sangat. Tatapannya sungguh mengerikan. Ketakutanku semakin tak terkontrol lagi saat lelaki berwajah putih bersih itu melangkah mendekat ke arahku.
Kakiku yang gemetar seolah terpacak kuat di dasar bumi, tak bisa digerakkan. Aku sangat ketakutan sampai gemetaran.
"Pergi! Jangan ganggu aku lagi! Pergi!"
"Tidak akan! Aku datang untuk membawamu pulang. Kita menikah, lalu hidup bahagia bersama anak kita."
Menikah dengannya? Aku menggeleng tegas, amit-amit. Jika dulu saja aku tak mau menikah dengannya, mana mungkin sekarang berubah pikiran? Lelaki tidak waras. Otaknya pasti sedang tidak beres.
"Diiik, i-niii. Lihat ke si-niii! I-niii!"
Aku langsung menatap lurus ke depan. Mas Candra menuruni jalan dengan tangan membawa jaring yang dilambai-lambaikan ke udara. Saat Zain menoleh menatap ke arah Mas Candra, aku langsung mendorong tubuhnya yang nyaris saja jatuh ke ceruk, lalu aku berlari cepat ke arah Mas Candra, mendekap tubuhnya erat.
"Ada apa, Dik? Ada apa?" Mas Candra bertanya bingung sambil berusaha melepas tanganku yang mengungkung tubuhnya cukup erat.
"Salah satu dari kalian harus mati!"
Hening. Tubuh Mas Candra tiba-tiba menegang. Pasti Mas Candra sudah menyadari sesuatu yang berbahaya. Kupejamkan mata. Allah bersama kami. Allah bersama kami. Semoga Allah terus bersama kami. Desisku berkali-kali, ketakutan.
DAR!
Terdengar bunyi letusan senjata api.