9

759 Kata
Allah. Allah. Allah. Tolong kami. Tolong kami. Tak henti aku menggaungkan nama-Nya. Jantungku semakin keras menghentak d**a. Begitu pun dengan detak jantung Mas Candra yang terasa kuat di telingaku. DAR! Bunyi tembakan terdengar lagi di udara. Napas Mas Candra memburu. Jantungku berdetak kian kencang saat merasakan tubuh Mas Candra menegang. Apa ia tidak apa-apa? Apa ia baik-baik saja? Dengan perasaan ngeri bercampur panik, aku membuka mata perlahan. Mas Candra ternyata tengah menunduk menatapku. Matanya redup, jelas sekali amat ketakutan. paras tampannya banjir oleh keringat. Nyaris bersamaan, kami memandang ke arah yang sama. Sepi. Tak ada seorang pun. Hanya suara tonggarek, burung-burung berkicau, dan air mengalir yang meramaikan suasana kali Grem yang teduh ini. “Siapa tadi, Dik?” Mas Candra bertanya dengan tatapan penuh kekhawatiran. Diperiksanya tanganku, dibalikkannya tubuhku, lalu menatap lekat ke mataku yang hampir menangis ini. Apa Zain masih di sekitar sini? Apa nyawa kami sedang terancam? Duh, Gusti Allah, tolong hamba. “Kamu gak apa-apa, kan, Dik?” dengan wajah penuh kekhawatiran, diusapnya wajahku. Air mataku bergulir pelan di pipi. Aku mengangguk pelan. “Kita pulang saja yuk, Mas?” Mas Candra menoleh ke kanan, kiri, membalikkan tubuh, lalu kembali menghadapku. “Kenapa? Kamu takut? Sepertinya, tadi itu orang sinting. Sudah aman, kok. Yuk, kita cari udang. Yuuk?" Belum sempat aku menjawab, Mas Candra sudah lebih dulu meraih tanganku, menuntun lembut menuju ceruk. Mata yang terasa panas ini, terus saja menumpahkan air bening. Aku sangat takut. Apa Zain masih disekitar sini? Ketakutan memenuhi benakku. Hati dan perasaanku tidak bisa tenang. “Sudah aman, tenang saja," gumam Mas Candra seolah mengerti kecamuk di dadaku. Kedua tangannya menyentuh wajahku, menatap tajam dan dalam. Bibir tipisnya melengkung elok, memamerkan senyum yang selalu menawan hati. Perlahan aku mengangguk, dan tersipu saat membalas tatapan mesra Mas Candra yang kini membelai pipiku, mengusap air mataku, lalu mengecup kedua pipi istrinya ini dengan lembut. “Senyum dong, senyum. Apa mau dicium lagi?” Ia mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum jail. Tangannya bergerak masuk ke air, lalu mencipratkan ke wajahku. Aku langsung membalas perbuatannya sambil berseru, “Mas Candra apaan, siih!" “Makanya senyuum! Ayo, senyum!” Mas Candra baru berhenti bertingkah kekanakkan saat beberapa orang dengan bak dan ember dijinjing di pinggang melewati pinggiran ceruk, memilih mencuci di bagian kanan yang sepertinya memang dikhususkan untuk mencuci. Ketakutanku mulai menguap pergi, membuat tubuhku sedikit rileks. Dengan gerakan pelan, aku mengikuti aba-aba dari Mas Candra. Kini dengan tubuh miring dan satu tangan menyentuh ujung jaring nyaris menyentuh dasar ceruk, sementara tangan satunya mengangkat ujung jaring lain ke udara, aku dan Mas Candra berjalan pelan ke tepi. Terlihat jelas sekali, udang-udang kecil serta ikan citul berenang masuk ke jaring, sebagian lagi berlari ke arah rerumputan. “Mau diapakan, Mas?” tanyaku sesampainya di bibir ceruk. “Diapakan saja boleh," sahut Mas Candra, ia memandangku sambil tersenyum simpul, tangannya sibuk memasuk-masukkan udang ke dalam ember. Aku terkesiap saat secara tak sengaja menemukan tubuh kekar Zain tengah berdiri tak jauh dari ibu-ibu yang sedang mencuci sambil berbincang. Sesekali para ibu tertawa keras dan saling menggoda. Sepertinya, mereka tak menyadari ada lelaki menakutkan tengah memerhatikan aku dan Mas Candra, membuat dadaku kembali berdebar keras. Tatapanku mencari-cari benda berbahaya yang tadi digunakan Zain untuk menakut-nakuti kami. Benda itu, sama sekali tak tampak dalam genggamannya. Tanpa pikir panjang, aku mengguncang bahu Mas Candra. “Pulang yuk, Mas? Sudah banyak dapat udangnya. Pulang, Yuk?” “Kita mandi dulu.” “Di rumah aja, Mas.” Aku menjawab tak sabar. “Sekalian saja mandi di sini, Dik.” Aku menggeleng tegas. Lalu dengan tergesa aku menggulung jaring lantas memasukkannya ke dalam ember, mengambil handuk serta ember kecil di atas rerumputan kemudian menarik tangan Mas Candra untuk segera enysh dari sini. Dengan langkah panjang-panjang aku menaiki setapak jalan kecil menanjak. “Pelan, Dik. Nanti jatuh. Pelan saja jalannya.” Tidak kupedulikan ucapan Mas Candra. Aku ingin segera sampai rumah, membersihkan diri, lalu merebah, membuang jauh-jauh bayangan menyebalkan yang kembali mengusik jiwaku yang mulai tenteram. Tiga tahun mengubur masa lalu, setelah mulai bisa melupakan masa kelam itu ia malah kembali muncul di hadapan. “Dik, pelan-pelan.” BRAK! Ember terjatuh dari tanganku saat tubuhku tiba-tiba tersungkur, ember langsung meluncur cepat ke arah ceruk, isinya seperti sabun dan pasta gigi berhamburan. Aku meringis menyentuh kakiku yang berdenyut-denyut. Ngilu. Baru saja aku bangkit berdiri dan hendak kembali melangkah, kakiku malah terpeleset. Sedetik kemudian, kurasakan tubuhku berguling cepat ke bawah. Pandanganku tiba-tiba menjadi samar, tapi aku masih bisa melihat Mas Zain di belakang Mas Candra tengah menodongkan pistol. Pandanganku semakin lama kian menggelap. "Dik, Diik?! Dik Li-taaa!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN