10

574 Kata
Diik.” Suara itu terdengar lirih. Semilir hangat terasa di sela-sela jariku. Aku membuka mata perlahan, Mas Candra tengah berbaring miring menghadapku, meniup-niup jemariku dengan satu tangannya menyangga kepala. Memandang sekeliling, aku langsung tahu ternyata tengah berbaring di ranjang bernaung kelambu motif bunga warna pink lembut. “Sudah kubilang hati-hati, kan?” Mas Candra memandangku. Disibaknya kelambu lalu ia meraih gelas di atas meja kecil. “Minum.” Aku beranjak duduk, langsung meneguk habis teh yang diangsurkan Mas Candra. Mas Candra meletakkan gelas ke tempat semula. “Kata dokter, kamu baik-baik saja. Lain kali, jangan diulang jalan dengan terburu-buru." Teringat kejadian terakhir kali saat Zain menodongkan pistol pada Mas Candra, aku menegakkan tubuh. Kupandang d**a Mas Candra lalu tatapanku turun ke kakinya. "Apa lelaki tadi melukaimu, Mas?" Mas Candra menggeleng. "Dia menodongkan pistol padaku, tapi lalu dia pergi begitu saja setelah mengatakan bahwa dia sangat tertekan karena kehilangan anaknya lalu dia mendapati perempuan yang dia cintai sudah menikah. Jahat sekali perempuan itu meninggalkan lelaki yang begitu mencintainya." Dia sangat jahat, Mas. Ucapku dalam hati. Situasinya belum tepat untuk menceritakan tentang Zain pada Mas Candra. Kami sedang berbulan madu, seharusnya hanya diisi dengan yang indah-indah saja. Aku tidak mau senyum di bibir Mas Candra pudar jika kuceritakan tentang Zain saat ini. Mas Candra mengecup pipiku lembut, membuat wajahku seketika menghangat malu. Dadaku bergemuruh. “Maaf, ya, Mas, karena aku udah buat Mas cemas. Maaf, karena menghabiskan uang M untuk hal yang gak penting. Maaf, selalu membuat Mas Candra kesal.” Aku menatapnya penuh rasa bersalah. Maaf juga, karena menyembunyikan status kegadisanku padamu. Lelaki berwajah menawan di hadapanku menggeleng pelan. Senyum manis terukir di bibirnya yang kemerahan. Diusapnya rambutku. “Tak apa, Dik. Tak apa. Uang bisa kembali dicari.” Mas Candra mengusap lembut bahuku, matanya menatap sayang. Ah, semoga Mas Candra akan selalu seperti ini. “Can, Lita sudah bangun belum?” Suara bibi. Aku menyibak kelambu lalu keluar kamar. Mas Candra mengikuti. “Lain kali hati-hati, Ta,” kata bibi saat aku dan Mas Candra duduk di sofa. Aku mengangguk. Perempuan 40-an itu sudah rapi. Dengan jilbab panjang warna hijau muda, membuat wajah ayunya terlihat anggun. “Mau ikut ke pesantren tidak?” “Boleh jika mau ke sana.” Mas Candra berkata lirih, “Tapi harus sudah pulang sebelum asar.” “Si-aap!” sahutku antusias. “Bibi tunggu di luar.” Aku segera ke kamar untuk mengganti baju. Mengenakan dres panjang cokelat muda dengan jilbab panjang warna senada, lalu melangkah keluar dengan hati riang. Bibi tersenyum lebar saat melihatku berjalan menghampirinya di halaman rumah. “Ayo,” ajak bibi sambil mengulurkan plastik transpara berisi aneka kue. Bibi memegang satu. Aku juga satu. Kami berjalan beriringan menuju pesantren. Sungguh aku sudah tak sabar bertemu teman-teman. *** “Tambah cantik sekarang. Ayo masuk.” Ajak Nia saat mengetahui aku berdiri di teras kamarnya. Kamar Nia yang dihuni oleh 7 orang menghadap ke arah jalan. Dari tingkat dua ini, aku bisa melihat jalanan serta rumah-rumah penduduk, rumah bibi, dan pucuk pepohonan yang meliuk-liuk diembus angin. "Itu suamimu?" Nia menuding halaman rumah bibi. Terlihat Zain berdiri di halaman. Jantungku mengentak kuat. Mau apa lelaki itu di halaman rumah bibi? Mas Candra, apa ia berniat jahat pada Mas Candra? "Kenapa, Ta?" "Aku pulang dulu." Lalu dengan tergesa aku menuruni tangga turun ke lantai satu. Aku setengah berlari menuju rumah. Aku menghentikan langkah saat melihat Mas Candra dan Zain berdiri membelakangiku. Sepertinya mereka tengah membicarakan sesuatu yang serius.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN