“Ya. Kevin jauh lebih bisa jaga Sandra. Gue gak pernah ada niatan ngomong ini di depan lo dan gue minta maaf, tapi gue akui Kevin jauh lebih baik. Tapi bukan berarti lo bisa menghilang seenaknya. Inget, Sandra masih terluka karena lo."
“Apa mungkin Sandra masih sudi ketemu sama gue?” batin Daffa. Ia menatap setangkai mawar yang berada di atas meja belajarnya. Bunga itu perlahan tampak semakin layu, sama seperti dirinya. Jika boleh jujur, Daffa memang menyesali perbuatannya. Tidak, ia bahkan teramat menyesalinya. Ia mengecewakan semua orang terdekatnya, termasuk Kevin, Sandra, dan juga Angga. Bahkan sampai saat ini Angga tidak memberinya kabar. Mungkin dia juga sudah kecewa dan tidak mau lagi berurusan dengannya.
“Mungkin gue emang gak seharusnya balik lagi,” gumam Daffa. “Gue gak yakin kalo semuanya bisa berubah kayak semula lagi seperti apa yang diomongin Malika tadi.
“Kamu punya keluarga, Daf. Kamu punya temen. Kamu punya Angga, kamu punya Kevin, dan kamu punya aku! Ada aku yang selalu siap denger cerita kamu!”
Wajah kekecewaan Sandra masih terbayang jelas di otaknya. Bagaimana ia menangis di hadapannya dengan bibir yang bergetar. Tawa yang selalu ditunjukkan oleh Sandra, hari itu berganti menjadi tangis memilukan yang Daffa lihat untuk pertama kali. Ia begitu membenci dirinya setiap kali mengingat kalau penyebab dari air mata Sandra adalah dirinya.
“LO UDAH NYAKITIN SEMUA ORANG! LO NYAKITIN TANTE NATASIA! LO NYAKITIN OM RAFAEL, DAF!!”
“Lo nyakitin Gio, Daf. Lo nyakitin dia! Bisa lo bayangin perasaan dia kalo tahu lo yang sekarang?!”
Daffa memegang kepalanya begitu terasa denyutan di sana. Menyesal di waktu sekarang memang sudah tidak ada gunanya. Waktu tidak akan pernah bisa diulang kembali, walaupun hanya satu detik. Bisa-bisanya dia menyia-nyiakan kepercayaan orang-orang yang peduli padanya.
*
Sandra menguap begitu sampai di meja kantin. Cewek itu mengambil sebungkus keripik pisang dengan rasa pedas lalu memakannya, sementara Malika pergi menghampiri Bi Sri untuk memesan.
“Bisa-bisanya lo nguap di depan umum setelah kemarin masuk BK.” Seseorang duduk di bangku yang ada di hadapan Sandra. Cewek itu mendelik, sama sekali tidak terpengaruh dengan kalimat yang didengarnya barusan.
“Mood gue kemarin lagi jelek.” Dengan santainya Sandra memasukkan sepotong keripik ke dalam mulutnya, mengabaikan Adnan yang juga tengah memakan keripik yang sama, namun cowok itu mengambil rasa yang original.
“Mood lo akhir-akhir ini swing parah sih, San,” ujar Adnan, “Eh, iya. BTW mana Si Kribo?”
“Tuh!” Sandra menunju ke arah Malika yang kembali menggunakan dagunya.
“Ngapain lo di sini?” tanya Malika ketus. Ia mendudukkan tubuhnya di sebelah Sandra dengan pandangan yang masih terarah pada Adnan.
“Adnan katanya kangen sama lo,” ujar Sandra asal. Ia melirik Malika yang langsung memasang tampang masam.
“Najis!” ujar Malika.
“Siapa juga yang kangen sama lo. Ogah banget!” elak Adnan.
“Ya kalo gak kangen kenapa lo duduk di sini?” Sandra menaik-turunkan alisnya. Ia akhir-akhir ini semakin bersemangat menggoda kedua temannya itu.
“Gue kan biasanya emang gabung sama lo berdua, ‘kan? Gak ada yang aneh perasaan. Si kevin belom berangkat, jadi ya apa salahnya kalo gue gabung sama kalian. Toh udah saling kenal juga.”
“Udahlah, gue gak mau denger lo ngomong. Suara lo bikin kuping gue sakit.” Malika mendelik sinis, membuat Adnan membulatkan kedua matanya.
“Lo kok sensian mulu sama gue kenapa sih?!” Adnan memprotes.
“Gue dari dulu emang gini kok. Tanya aja Sandra,” ujar Malika santai.
Adnan langsung melirik Sandra yang tampak serius mengunyah keripik itu. Kepala cewek itu mengangguk-angguk pelan, setuju dengan ucapan Malika.
“Ish, dasar cewek!” Adnan mendengkus hingga membuat kedua cewek di depannya tertawa.
Bersamaan dengan itu, ponsel milik Adnan bergetar. Cowok itu langsung merogoh saku celananya.
“Siapa?” tanya Sandra seraya menuangkan saus ke dalam mangkuknya.
“Kevin.” Adnan segera mengangkat panggilan video itu.
“Udah istirahat, Nan?” tanya Kevin di seberang sana.
“Udah, ini lagi makan sama cewek-cewek cakep. Uwu ….” Adnan mengubah setelan kamera depan menjadi kamera belakang hingga Sandra dan Malika terlihat jelas.
“Gio, lo makan kayak orang kelaparan,” cibir Kevin.
“Berisik lo, Kevin!” sahut Sandra. Ia sama sekali tidak tertarik melihat ke arah ponsel Adnan dan tetap fokus dengan makanannya.
“Lo cantik kalo lagi makan, Gi!”
Uhuk!
Tawa Kevin terdengar setelahnya. Cowok itu berhasil menggoyahkan pertahanan Sandra. Memang, kebanyakan wanita itu lemah dengan kalimat-kalimat rayuan yang klise.
“Sialan.” Sandra melirik ponsel Adnan. Ia memang tidak bisa melihat wajah Kevin tapi ia yakin kalau cowok itu sekarang tengah memasang tampang puas karena berhasil mengerjainya.
“Lo udah di rumah, Vin?” tanya Malika.
“Hm. Semalem gue pulang, tapi dokter bilang kalo gue masih belom boleh masuk sekolah.”
“Iyalah jelas, lo harus bener-bener pulih. BTW motor lo gimana?”
“Masih di bengkel. Lo kok lebih kasian ke motor gue, sih?” omel Kevin.
Malika tertawa, “Gue gak bilang kayak gitu, ya. Cuma tanya doang kok, sensi amat. Kan udah ada Sandra yang kasihan sama lo.” Ia dan Adnan lantas tertawa.
“Berisik ya lo berdua.” Sandra memasukkan bakso berukuran kecil ke dalam mulutnya.
“Udah, udah. Kasihan anak orang lagi makan,” ujar Adnan. Di seberang sana Kevin tampak tengah duduk di dekat jendela, atau lebih tepatnya di meja belajarnya yang membelakangi pintu kamar. Tidak lama setelah itu, pintu kamar Kevin tampak dibuka oleh seseorang dan tampak Wulan di baliknya. Rupanya ia tidak sendiri. Adnan memicingkan kedua matanya berusaha mengenali sosok itu namun Kevin memutar kursi yang didudukinya hingga tubuhnya ikut berputar.
Adnan sendiri tampak tidak asing dengan sosok yang bersama dengan Wulan.
“Tunggu— cowok itu kan …. “ Adnan berusaha-mengingat-ingat.
“Vin, ada Daffa—“
Adnan secara langsung mematikan panggilan video itu. Ia lalu menatap Sandra yang kini mendadak berhenti dari kegiatannya. Adnan berharap kalau cewek itu tidak mendengarnya, meskipun suara Wulan terdengar cukup jelas di sana, apalagi kantin sedang tidak terlalu ramai. Ia menelan ludah.
Hal itu juga rupanya disadari oleh Malika, karena cewek itu juga ternyata berhenti dari kegiatannya saat mendengar suara Wulan barusan. Ia melirik Sandra yang terdiam, lalu menatap Adnan. Cowok itu tampak menatap Sandra was-was.
“San, ke-kenapa?” Malika menyentuh bahu Sandra. Sahabatnya itu lalu mengangkat wajahnya dan menatap Adnan.
“Barusan itu … suara Tante Wulan, ‘kan?” ujarnya. Malika dan Adnan seketika saling berpandangan.
“I-iya.” Adnan mengangguk pelan.
“Kevin dipanggil sama papanya-“
“Barusan itu Daffa, ‘kan?” Sandra memotong kalimat Malika. Kedua temannya mendadak diam satu sama lain.
—Bersambung