“itu Daffa, ‘kan?” Sandra menatap Adnan dan Malika bergantian.
“Masa sih? Gue gak denger apa-apa kok.” Malika mencoba mengelak, namun Sandra justru memasang tampang semakin curiga.
“Barusan Kevin dipanggil sama bokapnya. Gue yang lihat kok. Tante Wulan dateng sama Om Bayu. Om Bayu kan beberapa hari terakhir ada kerjaan, kayaknya dia baru aja pulang.” Adnan menatap Sandra selama beberapa saat dan menggumamkan terima kasih pada Bi Sri yang baru saja mengantarkan siomay dan es jeruk pesanannya.
“Loh, kok tumben cuma bertiga. Mas Kevin ke mana?” tanya Bi Sri saat menyadari kalau di meja itu masih ada tempat kosong.
“Kevin beberapa hari yang lalu kecelakaan, Bi. Sempet dirawat di rumah sakit tapi sekarang udah baikan kok,” jawab Adnan. Bi Sri memasang raut wajah terkejut. Pantas saja beberapa terakhir dia tidak melihat Kevin datang ke kantinnya.
“Ya ampun, pantesan aja gak pernah kelihatan. Semoga cepet sembuh. Neng Sandra juga pantesan akhir-akhir ini jadi kelihatan murung. Ternyata gak ada temen berantem.”
Sandra yang semula tidak tertarik dengan percakapan Adnan dan Bi Sri itu mendadak mengangkat wajahnya. Ia berkedip dua kali saat namanya disebut.
“Kenapa aku?” tunjuknya pada diri sendiri.
Seketika suasana di meja itu kembali mencair, tatkala Adnan dan Malika menahan tawa mereka.
“Kan Neng Sandra ini tiap hari berantem terus di kantin saya. Bapak aja udah gak aneh sama kelakuan kalian. Bibi juga udah males misahin, gak kayak pas kalian awal MOS. Sampe pusing kepala Bibi lihat kalian.” Bi Sri memijat pelipisnya. Ia kemudian berlenggang pergi dengan nampan yang sudah kosong.
Ketiga remaja di sana seketika dibuat terdiam dan menatap satu sama lain.
“s****n. Bi Sri bener-bener mood breaker.” Sandra membuang napasnya pelan dan kembali melanjutkan kegiatan makannya yang sempat tertunda. “Kenapa jadi bahas gue sama Kevin? Itu kan udah lama banget. Gue juga gak ngerti kenapa gue sekarang jadi bisa satu meja sama dia tiap kali makan.”
Sementara Sandra menggerutu, Malika dan Adnan tampak menghela napas lega.
“Lo sama Kevin kan udah baikan sekarang. Udahlah, gue seneng lihat kalian berdua akur. Gue juga capek ikut-ikutan ngomelin si Kevin. Ditambah lagi temen sebangku dia yang super nyebelin.” Malika melirik Adnan sinis, membuat cowok yang diliriknya itu menatapnya.
“Lo kenapa sih? Kayaknya benci banget sama gue,” keluh Adnan. Ia merasa kalau sikap Malika padanya seringkali kasar ketimbang dengan orang lain.
“Udah gue bilang kalo gue dari dulu emang gini. Lo yang gak kenal gue gak usah sok tahu,” ujar Malika. Salah satu sudut bibirnya naik.
“Nah, sekarang giliran kalian yang bikin kepala gue sakit,” sahut Sandra. Cewek itu menggelengkan kepalanya pelan lalu beranjak dari tempatnya. Ia pergi terlebih dahulu untuk membayar, dan dan meninggalkan dua manusia yang masih berada di meja.
***
“Ada apa?” Kevin menatap Daffa yang berdiri membelakanginya.
“Sekarang gue ngerti,” lirih Daffa tanpa mengubah posisinya. Kedua matanya tidak lepas dari salah satu bingkai yang terpajang di kamar milik Kevin.
Kening Kevin mengerut, mencoba memahami apa yang Daffa katakan.
“Bertahun-tahun gue kenal sama lo, bertahun-tahun gue ke sini, dan gue baru ngerti sekarang. Mawar yang udah tua ini … Sandra yang ngasih, ‘kan?” Daffa mengamati beberapa helai mahkota yang sudah kering itu jatuh ke bagian bawah bingkai.
“Bunga yang udah lama mati itu, yang mati-matian lo jaga. Lo simpan selama bertahun-tahun gak peduli gimana bentuknya sekarang itu … pemberian Sandra. Iya, ‘kan?” ulang Daffa.
“Dia ngasih itu bertahun-tahun yang lalu, sewaktu perpisahan sekolah sebelum kita bener-bener pisah. Gio ngasih itu karena suruhan mendiang mamanya. Lo sendiri tahu kalo hubungan gue sama Gio emang gak pernah bagus dari dulu. Mungkin Tante Irma pengin gue sama Gio bisa akur suatu saat nanti.”
“Kita … “ Salah satu sudut bibir Daffa naik ke atas, “Ya, lo sama Sandra itu udah jadi kita.”
“Daf, dengerin dulu—"
“Lo beruntung bisa ketemu langsung sama nyokapnya dia. Sedangkan gue, gue selama ini hanya tahu lewat foto keluarga di rumah dia,” ujar Daffa.
“Sebelum gue kenal Gio, gue lebih dulu kenal sama lo, Daf.”
Daffa menghela napasnya pelan, “Lo bisa jaga dia buat gue kan, Vin?”
“Daf—“
“Lo tahu sekarang keadaan gue kayak gimana. Gue sekarang ini cuma rumah kosong yang udah usang dan rusak.”
“Daf, lo bisa bikin semuanya seperti awal lagi. Gak ada yang benci sama lo di sini. Lo harus bisa bangkit. Gue sama Gio selalu berdoa yang terbaik buat lo. Lo bisa temuin Gio kalo lo mau. Dia masih bisa welcome, percaya sama gue. Jangan sembunyi, Daf. Kalo lo emang ngerasa bikin Gio terluka, lo harusnya juga bisa jadi obatnya.”
“Gue masih harus rehab, Vin. Dan siang ini gue ada janji.”
“Daf, gue tahu kalo lo pengin ketemu sama Gio.”
“Gue ke sini cuma mau mastiin keadaan lo. Cepet sembuh, Vin.” Daffa tersenyum tipis.
Kevin membuang napas. Daffa selalu saja mengalihkan pembicaraan jika sudah menyangkut soal Sandra. Tidak lama setelahnya, Daffa berpamitan dan pergi dari sana.
“Sori, Vin.” Langkah Daffa berhenti begitu mencapai pintu.
Kevin yang masih bisa mendengar itu lalu menatapnya, menunggu kalimat yang akan Daffa katakan selanjutnya.
“Gara-gara gue … perasaan lo jadi terhambat.” Daffa kembali melangkah setelah mengatakan itu. Sementara di belakangnya, Kevin terdiam, salah satu tangannya mengepal.
***
Sandra menatap kantung belanjaan yang dibawanya. Ia membuang napas pelan, merutuki Malika yang tiba-tiba mengajaknya ke minimarket.
“s**l. Tahu gini gue gak bakal nerima ajakan Malika. Racun banget emang tuh orang. Tahu aja stok camilan di rumah gue abis. ” Ia mencebikkan bibir dan kembali menatap belanjaannya. Sembari menunggu Malika yang masih berada di dalam, ia menatap deretan mobil yang terjebak macet.
“Gue pikir gue doang yang lagi kena s**l. Ternyata ada yang lebih parah dari gue,” gumamnya. “Pasti mantep banget kejebak macet di cuaca panas begini.”
Kemudian ia mendadak terfokus pada salah satu mobil yang ada di sana. Tubuhnya seketika terdiam, mencoba berusahamengenali sosok yang ada di dalam mobil itu. Sandra menelan ludahnya. Salah satu tangannya yang tidak membawa kantung belanjaan itu merogoh saku roknya dan mengeluarkan ponsel. Dengan tangan yang mulai bergetar, ia membuka aktivitas panggilan dan menatap nomor asing yang akhir-akhir ini meneleponnya. Segala bayangan tentang sikap aneh Malika dan Adnan kembali berputar di kepalanya. Mulai dari sikap mereka di rumah sakit, lalu Kevin yang tiba-tiba menyuruhnya saat Wulan berbicara, hingga sikap Malika dan Adnan di kantin.
Kerongkongan Sandra terasa mengering. Perlahan ia meletakkan ponselnya di telinga dan panggilan itu benar-benar tersambung. Dalam hati, ia berharap semoga dugaannya salah besar dan apa yang dia lihat sekarang itu salah. Namun pertahananya runtuh ketika kaca bagian depan mobil itu dibuka dan menampakkan sosok Rafael.
Pandangan Sandra semakin mengabur. Dilihatnya orang itu- orang yang berada di belakang Rafel tampak mengambil sesuatu. Ia seperti terdiam menatap layar ponselnya, hingga panggilan itu ia angkat.
Air mata Sandra luruh di detik itu juga.
“Daffa … “ panggilnya dengan nada bergetar.
Di seberang sana, Daffa tampak terdiam. Matanya seperti kehilangan fokus, hingga akhirnya pandangannya bertemu dengan seseorang yang sedari tadi berada di depan pintu minimarket. Pandangan mereka benar-benar bertemu.
Sandra melihatnya. Daffa benar-benar ada di sana dan tepat di depan kedua matanya. Sampai akhirnya, mobil-mobil pun perlahan kembali melaju.
—Bersambung