11. Heliophobia

1088 Kata
"Lo gila?!" Kedua bahu Alan tersentak begitu Eric secara tiba-tiba berteriak padanya hingga semua orang di kelas menoleh. "Kenapa lo senekat itu sih, Lan?" Eric mengacak rambutnya dan menatap Alan frustrasi. Belum juga genap seminggu Alan berada di sekolahnya, lelaki justru sudah menggali lubang kuburannya sendiri. "Kenapa emangnya? Gue kan cuma berangkat sekolah bareng dia aja. Apanya yang salah? Soal rumor dia sama guru itu? Atau soal kulit dia yang merah-merah pas nyampe?" "Nah itu yang salah!" Eric menginterupsi. "Hah? Yang mana?" Alan dibuat tak mengerti. Sebenarnya sespesial apa gadis bernama Mentari itu di sekolah sampai-sampai Eric mengomelinya hanya karena mereka berdua berangkat ke sekolah bersama. "Mentari itu ngidap Heliophobia, Lan. Itu yang salah!" "Helio ... phobia?" Alan membeo dengan salah satu alis yang naik. "Dia itu ibaratnya vampir di sekolah ini. Dia paling anti sama yang namanya sinar matahari. Selama gue sekolah di sini, gak pernah tuh gue lihat tuh cewek ngikut upacara tiap hari senin. Dia pasti diem di UKS. Ah, pernah sekali. Dia ikut upacara pas awal-awal semester sewaktu kelas sepuluh dan hasilnya? BOOM! Dia dibawa ke rumah sakit dengan keadaan kulit merah-merah dan sesak napas," jelas Eric dengan begitu heboh. "Lo serius?" "Astaga, lo pikir gue berani bercandain penyakit orang? Ya jelas enggak lah. Gue dua ratus rius, semua orang di sekolah udah tahu soal itu. Setelah kejadian masuk RS itu, Mentari beberapa hari gak masuk dan sekalinya dia masuk, semua orang langsung ngejauh karena mereka takut ketularan. Tapi seiring berjalannya waktu, orang-orang juga terbiasa." "Terus kalo dia di rumah?" Alan kembali bertanya. "Gue gak tahu sih kalo soal itu. Gue sama dia gak deket soalnya. Ya mungkin lebih parah lagi. Dia pasti kalo siang ngurung diri." Alan mengingat-ingat setiap pertemuannya dengan Mentari beberapa waktu terakhir. Orang aneh yang beberapa hari lalu mengomeli Gilang, ternyata memanglah Mentari. Pantas saja gadis itu selalu mengenakan jaket, ternyata ia memiliki alasan yang kuat. Beberapa murid yang duduk di belakang kelas langsung duduk di tempat masing-masing begitu seorang guru masuk ke kelas. Eric dan Alan menatap ke ambang pintu. Eric menelan ludah. "Bisa ikut saya sebentar, Alan Erlangga?" Sepasang mata berwarna amber itu tepat mengarah pada Alan. *** Suara derap langkah membuat Mentari semakin tidak bisa memejamkan kedua matanya. Pintu UKS terdengar dibuka oleh seseorang lalu ditutup dengan kasar hingga menimbulkan suara nyaring. Bahkan tanpa menolehkan kepalanya pun, ia sudah tahu siapa penyebab keributan itu. "Mentari, lo gak kenapa-napa?" Suara melengking itu kembali menyapa telinganya. Mentari lantas menoleh dan menatap Lala yang sudah duduk di tepian ranjang dengan raut khawatir. Mentari tersenyum. "Gue pake sunscreen kok," ujarnya hingga Lala bisa membuang napasnya lega. "Kenapa lo bisa gini sih?" Lala meraih tangan Mentari yang masih tampak kemerahan. Wajah pucat sahabatnya pun terlihat serupa, namun tak begitu parah. "Kenapa cowok yang waktu itu bisa berangkat sama lo? Kalian beneran saling kenal?" "Ceritanya panjang, La. Jadi dia itu ternyata tetangga baru gue. Nyokapnya minta gue berangkat sama anaknya soalnya dia belum begitu hapal jalan-" Mentari mengaduh begitu Lala memukulnya secara tiba-tiba. "Terus kenapa lo gak jelasin aja sama nyokapnya? Dan kenapa Tante Mala gak ngelarang lo?! Lo tuh terlalu nekat, Tar!" omel Lala hingga telinga Mentari berdengung. "Iya, La, iya. Ini bakalan jadi terakhir kali gue." Mentari menguap. Mungkin jam pertama dia terpaksa membolos. Ah, bukan membolos. Dia berada di UKS juga bukan tanpa alasan, 'kan? "BTW yang bawa lo ke sini ... Pak Chandra?" tanya Lala. Mentari yang sudah memejamkan kedua matanya hanya bergumam pelan sebagai jawaban. "La, bukannya ini udah bel? Lo bukannya harus ke kelas?" tanya Mentari tanpa membuka kedua matanya. "Cuma ada tugas. Gurunya gak masuk." "Oh. Terus Alan di mana sekarang? Bukannya minta maaf sama gue malah kabur." Mentari mencari posisi ternyaman untuk kepalanya. Pagi ini dia ingin diam saja di UKS. Tidak ada gunanya juga dia masuk ke kelas. "Alan?" "Cowok yang berangkat sama gue." "Oh, itu. Dia .... " Lala menggantungkan kalimatnya. Kedua mata Mentari mendadak terbuka lebar. Gadis itu langsung bangkit dari posisinya dan berlari keluar UKS dengan kecepatan penuh, membuat Lala panik dan segera mengejarnya. "Mentari!!" *** Kedua mata Alan menatap sepasang sepatu yang berjalan bolak-balik di hadapannya dengan tempo lambat. "Kamu tahu gak, kalau apa yang sudah kamu lakukan itu bisa menyebabkan hal yang lebih buruk? Mentari itu pengidap heliophobia, dia gak bisa berlama-lama berada di bawah sinar matahari, apa kamu tidak tahu?" Suara Chandra terdengar lembut di telinga Alan, namun begitu tegas dan penuh penekanan. "Maaf, Pak. Saya tidak tahu," jawab Alan dengan kepala yang masih menunduk. "Push up seratus kali." Kedua mata Alan membulat. "Pak, kan saya gak tahu apa-apa soal Mentari. Saya murid baru di sini." Ia menatap gurunya tidak terima. "Lagian Mentari juga gak bilang apa-apa sama saya kok!" Chandra menatap beberapa orang di sekeliling yang tengah memperhatikannya. "Cukup, cukup!" Mentari berteriak dengan kedua ujung sepatu yang sejajar dengan batas lantai koridor. Dengan jarak sekitar lima meter, Chandra dan Alan yang berada di lapangan menoleh padanya. "Dia gak salah apa-apa! Dia gak tahu soal penyakit saya jadi gak perlu dihukum!" teriak Mentari dengan napas yang masih terengah-engah. Tidak lama kemudian Lala berhasil menyusulnya. Gadis itu terkejut saat mengetahui kalau beberapa pasang mata mengarah padanya. Chandra menatap Alan selama beberapa saat, lalu kedua kakinya bergerak pelan menuju Mentari. Lala secara refleks mundur saat langkah Chandra semakin dekat. "Berani sekali kamu berteriak sama saya," ujar Chandra tenang. Mentari berkedip dua kali menyadari kesalahannya. "Ma-maksud saya gak gitu, Pak. Saya cuma kaget pas Lala bilang kalo Pak Chandra lagi ngehukum Alan. Dia gak salah apa-apa. Saya juga gak ngomong ke dia kok, dan lagi saya sendiri yang nerima ajakan dia tadi," ujarnya. Ia dengan segera memberi kode dengan tangannya agar Alan pergi dari sana. "Bapak harusnya tadi nanya dulu ke saya kan bisa, jangan asal ngehukum murid. Itu namanya gegabah, apalagi dia sama sekali gak salah," lanjut Mentari. Kedua tangan Chandra sudah berada di pinggang. "Saya yang bawa kamu ke UKS. Gak ada niatan ngucapin makasih?" Mentari menelan ludah. Kedua tangannya perlahan juga terangkat dan ia letakkan di pinggang. "Bapak juga asal ngehukum Alan. Gak ada niatan minta maaf?" balasnya dengan dagu terangkat. Di belakang, Lala sudah menatap horor kedua guru dan murid itu. Ia ingin segera menarik Mentari dari sana, namun terlalu takut dengan tatapan Chandra. Chandra maju selangkah, membuat Mentari refleks mencondongkan tubuhnya ke belakang. "Minggu depan, kamu ikut praktik ke lapangan." Pria itu tersenyum manis, lalu menepuk pelan bahu Mentari beberapa kali sebelm akhirnya pergi. Kedua mata Mentari membulat. Ia menatap sekujur tubuhnya yang masih dihiasi warna kemerahan dan beralih pada gurunya yang berjalan menjauh. — TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN