Dewi menatap cemas putranya yang tengah memanaskan motor. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia mengizinkan Alan bepergian dengan menggunakan motornya lagi. Bukan tanpa alasan ia melarang Alan ke sekolah sendiri. Selain khawatir Alan lupa jalan, ia juga khawatir kejadian beberapa minggu lalu menimpa putranya lagi, di mana Alan tersesat begitu selesai pulang kerja kelompok dengan teman-temannya dan malah ke hutan dengan jalan terjal penuh bebatuan. Nahasnya lagi, ia malah terjatuh di sana karena terjebak hujan deras. Beruntung ada beberapa orang petani yang melihatnya dan menolongnya.
"Mama gak usah ngeliatin aku kayak gitu dong. Aku bukan anak kecil yang baru bisa jalan," ujar Alan.
"Mama cuma khawatir. Kamu beneran gak apa-apa ke sekolah sendiri? Kalo kenapa-napa gimana? Setidaknya kalo ada temennya, Mama gak begitu khawatir." Dewi berujar.
"Mama tenang aja, aku gak bakal lupa." Alan hendak mencium tangan Dewi namun mamanya itu secara tiba-tiba berlari kecil ke suatu tempat, membuat Alan terbengong-bengong. Dilihatnya sang mama berlari menghampiri Mentari dan mamanya yang baru saja keluar rumah.
"Pagi, Tante Dewi," sapa Mentari seraya menaikkan topi jaket merah mudanya. "Oh, iya. Bu. Ini Tante Dewi, ibunya Alan, tetangga sebelah yang baru pindah." Gadis itu memperkenalkan Dewi pada ibunya.
"Saya Mala, ibunya Mentari. Maaf ya kemarin malah ngerepotin," ujar Mala.
"Iya, gak apa-apa." Dewi tersenyum, "Oh, iya. Mentari, kamu mau berangkat sekolah?" tanyanya.
Mentari menatap ibunya sejenak. "Iya, Tante. Kenapa ya?"
"Tante mau minta tolong. Kamu bisa gak berangkat-"
"Ma, udahlah. Aku bisa berangkat sendiri." Alan menarik pelan lengan mamanya.
"Tapi tetep aja Mama khawatir, Lan. Setidaknya kalo sama Mentari kan Mama bisa agak tenang."
Mentari dan ibunya menatap Alan dan Dewi dengan kedua alis yang bertaut.
"Maaf, Tante. Ada apa ya?" tanya Mentari.
"Jadi gini, hari ini Alan mau berangkat ke sekolah sendiri. Tapi Tante khawatir dia kenapa-napa di jalan. Kalau dia ada temennya, Tante bisa lebih tenang," ujar Dewi.
Kedua mata Mentari berkedip dua kali dan menatap Alan. Lelaki itu tampak memijat pelipisnya, seakan pasrah begitu mamanya meminta tolong.
"Tu-tunggu. Berangkat bareng?" Mala menatap sebuah motor yang berada di halaman rumah Alan.
Dewi mengangguk. "Daya ingat Alan agak bermasalah, nanti bisa saya jelaskan detailnya jika perlu."
Mala menatap putrinya yang tampak tercengang. "Bu-bukan begitu. Hanya saja Mentari itu-"
"Ya udah, aku ikut Alan."
Kedua mata Mala memelotot. "Tar, kamu serius?" Ia menatap langit yang begitu cerah.
Mentari mengangguk. "Kita kan satu sekolah. Gak ada salahnya berangkat bareng, 'kan?" Ia tersenyum lebar, dengan setetes peluh yang mengalir di pelipisnya di saat yang bersamaan.
"Beneran? Ah, Tante bener-bener berterima kasih." Dewi langsung meraih kedua tangan Mentari. Wanita itu pada akhirnya bisa bernapas lega, tanpa tahu kalau gadis di hadapannya justru bereaksi sebaliknya.
Mentari menelan ludah.
"Gi-gini aja deh, Mentari tetep ikut sama saya di mobil. Kalau Alan tetep mau naik motor, dia bisa ngikutin mobil saya," ujar Mala.
Dewi tampak berpikir sejenak seraya menatap putranya. "Tapi ... kalau Alan-"
"Gak apa-apa, Bu. Aku berangkat sama Alan. Ibu pagi ini ada janji, 'kan?" Mentari berusaha mengangkat kedua sudut bibirnya. "Kalau gitu, aku berangkat dulu." Ia dan Alan lantas berpamitan.
"Lo gak apa-apa berangkat sama gue?" tanya Alan begitu mereka berjalan menjauh. Lelaki itu menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Mala yang masih menatap ke arahnya. "Kayaknya nyokap lo lebih khawatir ketimbang nyokap gue."
"Gak kok. Ya udah cepet keburu gerbangnya ditutup." Mentari berujar. Dia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Sebelum menaiki motor Alan, gadis itu menaikkan kaos kakinya hingga mencapai lutut tanpa peduli benda itu akan melar nantinya. Ia juga menaikkan bagian lengan jaketnya hingga menutupi seluruh tangan.
Motor milik Alan perlahan bergerak dan Mentari dengan sigap menyembunyikan wajahnya di balik punggung lebar Alan.
Mentari, lo bisa. Pasti bisa.
Mentari tidak henti-hentinya merapalkan berbagai doa dengan keringat yang semakin membanjiri seluruh wajahnya.
"La-Lan, lo bisa cepetan dikit gak?" Mentari menarik-narik pelan seragam milik Alan.
"Sabar kek. Jalan lagi rame nih, lagian masih ada waktu." Alan memelankan laju motornya begitu ada yang menyeberang. Lelaki itu lalu melirik spion. Kedua alisnya bertaut saat tak melihat keberadaan Mentari di belakangnya.
"Mentari, lo ngapain sih? Duduk yang bener kek, tas gue ketarik nih," keluh Alan. Tak ada jawaban sama sekali dari gadis itu, sampai akhirnya ia mendengar Mentari terbatuk kecil di belakangnya.
"Kayaknya lo gak pernah ke sekolah naik motor, ya?" Alan kembali bertanya, namun terdengar mencibir. "Apalagi naik angkot. Pasti lo gak pernah juga."
"Lo bisa diem gak? Fokus aja ke jalan, dan tolong cepetin dikit."
Merasa ada yang tidak beres dengan nada bicara Mentari, Alan kembali melirik spion. "Tar, lo gak apa-apa?"
"Gue bilang cepet!" Nada bicara Mentari seketika meninggi, membuat Alan tersentak pelan dan ia secara refleks menaikkan kecepatan motornya. Di belakang, Mentari memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan yang bergetar. Napasnya semakin tidak keruan, bersamaan dengan sensasi panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ayo Mentari!
Di saat yang bersamaan tiba-tiba motor milik Alan berhenti.
"Tu-tunggu. Ini ... di mana?"
Dengan kedua sudut mata yang sudah berair, Mentari menatap ke sekitarnya yang terlihat asing. Telinganya seperti mendengar sesuatu. Akhirnya Mentari mengangkat wajahnya dan terkejut saat ia dan Alan berada di depan sebuah rel kereta api.
"Lan, ini di mana?" tanyanya.
"Gue juga gak tahu. Seinget gue, jalan ke sekolah gak lewatin rel, 'kan? Gue kaget pas tadi lo tiba-tiba bentak gue, jadi salah arah gini kan." Alan membuang napas. "Makanya lo jangan sembunyi gitu dong! Gara-gara lo juga kan jadi nyasar gini. Harusnya lo perhatiin jalannya juga!"
Pada akhirnya Alan memutar balik motornya dan pergi ke rute yang benar dengan bantuan Mentari.
"Eh, BTW lo beneran gak apa-apa? Lo kayaknya lebih pucat dari biasanya deh," Alan menatap kepala mentari yang sedikit terlihat dari balik punggungnya.
"Gak usah pikirin gue." Mentari kembali terbatuk. Degup jantungnya kian meningkat bersamaan dengan napasnya yang memburu.
Beberapa saat kemudian akhirnya mereka sampai di sekolah. Alan semakin mempercepat laju motornya dan melesat melewati gerbang yang hendak ditutup. Lelaki itu membuang napasnya lega. Bertepatan dengan itu, bel jam pertama berbunyi.
Perlahan Mentari turun dari motor Alan tanpa sepatah kata pun.
"Huft, hampir aja kita telat—" Alan dengan sigap menahan kedua bahu Mentari saat tubuh gadis itu limbung. "Lo kenapa?"
Mentari menjauhkan tangan Alan dan tetap berjalan dengan kepala yang terasa berputar. Napasnya terdengar memburu, membuat Alan segera menyusul langkahnya.
"Men—" Kalimat Alan terhenti saat ia secara samar-samar melihat salah satu kaos kaki milik Mentari yang menurun. Kaki gadis itu terlihat kemerahan entah karena alasan apa. Alan dengan cepat menahan salah satu tangan Mentari hingga langkah gadis itu berhenti. Disibaknya lengan jaket itu hingga pergelangan tangan dan ia terkejut melihat keadaan tangan Mentari yang serupa dengan kakinya.
"Tar, lo—"
"Mentari?" Seseorang tiba-tiba menghampiri mereka berdua.
Alan menolehkan kepalanya pada sumber suara. Seorang pria dengan pakaian olahraga tampak menghampirinya. Ia menatap wajah pucat Mentari yang kemerahan dengan tatapan khawatir. Mentari sendiri sempat melepaskan tangannya namun kembali dicekal oleh Chandra.
"Dia kenapa?" Chandra menatap Alan yang tampak kebingungan.
"Di-dia berangkat sekolah sama saya barusan naik motor. Dan begitu sampai, kulitnya udah-" Ucapan Alan terputus saat pria di hadapannya membuang napas kasar.
"Kamu bilang naik motor?" Tatapan Chandra mendadak berubah begitu mendengar jawaban Alan.
Alan mengangguk.
Chandra kembali membuang napas dan dengan sigap ia langsung meletakkan tubuh Mentari di punggungnya dan ia berlari ke UKS, meninggalkan Alan di sana bersama dengan tatapan beberapa orang di sepanjang koridor. Suasana yang semula mulai sepi perlahan kembali ramai.
Dan di saat itulah Alan menyadari kalau beberapa pasang mata itu juga mengarah padanya.
— TBC