12. Murid Kesayangan

1007 Kata
Mentari bergerak gusar di posisinya. Dia tidak bisa makan dengan tenang semenjak guru olahraganya yang super menyebalkan itu mengatakan kalimat horor beberapa jam yang lalu. Kulitnya sudah mulai terlihat normal, namun hal itu sama sekali tidak mengurangi kecemasannya. Jika gurunya itu benar-benar tidak bercanda, maka habislah dia minggu depan. "Tar, bisa makan dengan tenang gak sih?" Lala yang sudah sejak tadi menahan diri akhirnya angkat bicara. Dia tidak tahan mendengar helaan napas Mentari yang entah sudah yang ke berapa kali. Sahabatnya itu juga hanya mengaduk-aduk makanannya asal, membuat suara alat makan itu mengganggu gendang telinganya. "Duh, sori, La. Gue mana bisa tenang kalo udah ada yang ngomong kayak gitu," ujar Mentari. Menurut lo ... Pak Chandra serius gak?" tanyanya cemas dengan raut wajah serius. "Kenapa gak lo tanyain aja?" Lala mengangkat kedua bahunya dan gadis itu pun kembali memakan makanannya. "Udah gue kirim DM tapi belom dibales." Mentari kembali menghela napas, membuat Lala mendelik seketika. "Kenapa lo harus repot-repot kirim DM kalo lo bisa nemuin dia ke ruang guru?" Ia mulai merasa kesal dengan drama antara murid dan guru itu. "Ih, males. Liat mukanya aja gue udah emosi." Mentari mencebik. Dia memasukkan gulungan kobis yang sudah berbalut bumbu kacang itu ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya hingga benar-benar hancur. Mentari bahkan malas jika disuruh membayangkan wajah Chandra. Lala memijat pelipisnya. Jika sudah begitu, dia sudah tidak mau tahu urusan Mentari Putri. Biarlah dia sendiri yang menyelesaikan semuanya. "Gue ambil minum dulu. Lo mau sekalian gak?" ujar Mentari yang beranjak dari posisinya. "Hm. Samain aja." Kedua kaki Mentari melangkah menuju salah satu lemari pendingin di samping etalase. Dia mengambil dua buah minuman teh melati dan kembali ke tempatnya dan Lala. Namun sesampainya di sana, dia dikejutkan dengan Alan. "Ngapain lo?" tanya Mentari. "Gue boleh gabung?" ujar Alan pelan. Mentari menatap ke sekitarnya sejenak. "Hm. Duduk aja." Alan duduk di depan Lala, membuat gadis itu menatapnya sinis. Ia hampir saja melemparkan sendok di tangannya namun suara Mentari berhasil menginterupsinya. Ia hanya tak mau membuat kekacauan di sana. "Udahlah, La. Biarin aja dia di sini." Mentari bersuara. Ia lalu duduk di tempatnya dan sesekali melirik Alan yang berada di sebelahnya. "Gue cuma mau minta maaf soal yang tadi pagi. Gue ... bener-bener gak tahu soal penyakit lo itu. Lagian lo ... kenapa gak bilang dari awal? Seandainya lo bilang, pasti ceritanya gak bakalan kayak tadi," ujar Alan. Lelaki itu melirik Mentari dengan perasaan bersalah. "Cerita yang terbilang gak masuk akal itu, lo pikir nyokap lo bisa langsung percaya? Lagian-" Mentari memotong kalimatnya, membuat kegiatan makan Lala sempat terhenti karena langsung menatapnya. "Enggak, lupain." Mentari membuka botol minum miliknya. Alan menghela napas. "Gara-gara gue, malah lo yang kena marah Pak Chandra." Ia menatap kedua tangan pucat Mentari. Warnanya sudah tidak semerah tadi pagi, namun tetap saja membuat Alan ngeri. Bisa-bisanya dia bertemu dengan manusia seperti itu. Dia pikir hal seperti itu hanya ada di dalam film, namun rupanya dia salah. Tapi ada satu hal yang sedikit mengganggu pikirannya. Di mana dia bisa melihat dengan jelas perbedaan Chandra setiap kali menatap Mentari. Entah kenapa Alan merasa kalau pria itu menatap Mentari dengan cara yang berbeda, seperti bukan tatapan guru pada murid, melainkan- "Argh!" Mentari dan Lala menoleh pada Alan yang memegangi kepalanya. "Lo gak kenapa-napa?" tanya Mentari. "E-enggak kok." Alan menatap Mentari dan Lala bergantian. *** Mentari menopang dagu, memperhatikan beberapa murid yang berkumpul di salah satu meja paling depan. Gadis itu lalu menguap, sengaja bersuara hingga murid-murid tadi tersentak pelan dan saling menjauh. "Kenapa, Tar?" Lala bertanya dengan kedua mata yang terfokus pada layar ponsel. Mentari melirik Lala sejenak, mengamati ekspresi wajah rekan sebangkunya yang sesekali mesem. Lagi-lagi drama Korea, pikirnya. "Ternyata banyak juga ya, yang gosipin gue." Mentari kembali menguap, membuat murid-murid tadi semakin berjauhan. Kening Lala mengerut, lalu menatap ke barisan meja paling depan. "Gue murid kesayangan Pak Chandra, La. Gitu katanya. Pantesan aja gue gak diajak ngegosip, orang mereka lagi gosipin gue," ujar Mentari. Ia kembali menguap, lalu meletakkan kepalanya di atas permukaan buku yang masih terbuka. "Gue kelihatan manja banget ya, sama Pak Chandra? Atau Pak Chandra yang terlalu manjain gue?" Mentari kembali berujar dengan kedua mata yang sudah terpejam. Lala kembali menatap murid-murid itu. Dia menekan pause dan berfokus pada Mentari. "Kan bukan cuma Pak Chandra yang memperlakukan lo beda, Tar. Lagian sebelum Pak Chandra pindah ke sekolah kita, perlakuan guru-guru yang lain juga sama, 'kan? Guru olahraga kita yang lama juga kayak gitu." "Kayaknya minggu depan gue mau minta home schooling aja deh sama nyokap. Ternyata yang iri sama gue bukan cuma murid-murid satu jurusan, tapi satu sekolah." Lala berkedip dua kali. "Jangan gitu dong. Masa lo tega ngebiarin gue sendiri di sini? Lo cuma gak ikut kegiatan outdoor doang, Tar. Kegiatan outdoor dalam seminggu aja masih bisa dihitung pake jari. Jam olahraga aja gak selalu turun ke lapangan, kan?" "Gak enak banget rasanya. Apa gue perlu bikin onar di sekolah biar bisa dihukum di bawah tiang bendera?" "Gak akan ada satu orang guru pun yang bakalan ngehukum lo kayak gitu, Tar. Paling lo disuruh bersihin toilet kalo gak ngepel koridor." Mentari menghela napas pelan. "Padahal gue juga gak mau kayak gini. Gue maunya kayak kalian semua yang bisa hidup normal setiap hari. Jangankan pergi ke pantai, ke halaman rumah aja gue gak berani, La." Kedua mata Lala menatap sinis murid-murid tadi. Gadis itu menaruh telunjuknya di leher, lalu membuat gerakan seperti memotong. Selain dikenal cerewet dan hiperaktif, seorang Lala Africia merupakan salah satu gadis yang dihindari di kelasnya. Ia tidak segan-segan menantang balik siapa saja yang berani mengusik ketenangannya. Ia juga pandai berdebat, sehingga dirinya kerap kali jadi incaran setiap ada pembagian tugas kelompok presentasi. Gadis itu akan jadi pertahanan yang sempurna bagi kelompok. Namun bukan berarti Mentari lemah. Gadis itu tak kalah tangguh di kelasnya, hanya saja ia cukup sensitif jika sudah ada yang membahas tentang fobia yang dimilikinya. Murid-murid yang berada di luar perlahan masuk ke kelas begitu bel jam terakhir berbunyi. Seorang guru menyusul tidak lama setelahnya. Lala menepuk pelan bahu Mentari, memberi kode agar gadis itu mengubah posisi duduknya. —TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN