"Jangan-jangan lo- kakaknya Galang?"
"Kok lo bisa kenal sama Galang?" Mentari balas bertanya.
"Bentar, kalo lo emang kakaknya Galang, berarti ... " Alan menggantungkan kalimatnya.
"Kita tetanggaan?!" ujar Alan dan Mentari berbarengan. Dewi melirik kedua remaja itu lewat spion dan terkikih pelan.
"Jadi lo yang ngisi rumah kosong itu?" tebak Mentari. Ia lantas memijat pelipisnya. Kebetulan yang cukup memalukan, mengingat dia pernah memberikan kesan cukup buruk pada Alan di awal mereka bertemu.
"Iya. Gue sama nyokap pindah ke sana. Dan ... orang aneh yang marahin Galang kemaren itu berarti elo, 'kan?"
"A-aneh? Kok lo ngatain gue aneh?" Mentari memprotes.
"Ya karena lo emang aneh. Gue perhatiin kalo tiap siang lo tuh selalu pake jaket-"
"Kamu tuh gak boleh sembarangan nilai penampilan orang. Mungkin Mentari punya alasan tertentu, jadi dia pakai jaket kalo siang," potong Dewi.
Alan menyerah dan ia pun menurut saja. Lelaki itu menyandarkan punggungnya dan membuang pandangannya ke luar jendela.
"Sekarang gue tahu siapa orang yang dimaksud Galang beberapa hari lalu," ujar Mentari.
Alan menoleh padanya. "Galang bilang apa emang?"
"Katanya dia nolongin orang yang kesasar dan rumahnya itu tepat di sebelah rumah gue. Jadi itu ... elo?" Salah satu alis Mentari naik.
Hening selama beberapa saat sebelum akhirnya Alan berdeham pelan. "Hm. Gue kan masih baru di sana jadi belom hapal jalan," ujarnya.
"Sewaktu-waktu mungkin Alan bisa bikin repot kamu di sekolah, Tar. Alan itu punya alzheimer." Dewi menghidupkan lampu sein dan menatap spion.
"Alzheimer?" Mentari menatap Alan ketika lelaki itu membuang pandangannya ke luar jendela.
"Dia dulu di sekolah lamanya sering kesasar, kadang salah masuk kelas. Jadi Tante harap kamu bisa maklum. Dia kadang lupa jalan pulang dan lupa sama siapa dia pergi, atau lupa pernah papasan sama orang yang dia kenal di tempat umum, makanya Tante gak izinin dia pergi ke sekolah sendiri."
Mentari tertegun. Di usia yang masih begitu muda, Alan menderita alzheimer? Mentari berpikir kalau penyakit seperti itu hanya menyerang para lansia.
"Gangguan kognitif itu udah Alan rasakan begitu dia lulus SMP. Kata dokter, kemungkinan karena mutasi genetik. Dulu mendiang ayahnya juga mengidap alzheimer. Dokter bilang apa yang Alan alami sekarang masih terbilang gejala, makanya Tante sering bawa Alan periksa ke dokter."
Mentari masih menatap Alan yang kini mendadak diam seribu bahasa.
"Nah, udah sampe." Dewi menoleh ke belakang dan menatap Mentari yang masih memandangi putranya.
"Eh, i-iya. Makasih banyak, Tante. Maaf juga malah ngerepotin." Mentari berujar.
"Iya, gak apa-apa. Toh rumah kita kan bersebelahan." Dewi tertawa pelan.
Mentari hanya tersenyum tipis. Ia sempat menatap Alan selama beberapa saat sebelum akhirnya dia segera keluar. Begitu mobil milik Alan melaju, Mentari dengan cepat menaikkan kembali topi jaketnya dan berlari menuju teras rumah.
"Kamu pulang sama siapa? Ibu telepon kok gak diangkat?" Mala yang semula hendak masuk ke dalam mobilnya itu langsung berjalan menghampiri putrinya.
"Sama mereka," tunjuk Mentari ke penghuni rumah sebelah yang baru saja keluar dari mobil.
"Anaknya satu sekolah sama kamu?"
"Hm."
"Ya udah, cepet masuk. Kulit kamu udah merah-merah." Mala menarik bahu putrinya dan membawanya masuk.
"Galang udah pulang, Bu?" tanya Mentari seraya melepaskan jaketnya. Gadis itu berjalan ke jendela dan menatap rumah milik Alan.
"Lagi ke rumah temennya. Katanya sih mau ngerjain tugas kelompok gitu," jawab Mala. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil segelas jus yang dibuatnya beberapa waktu lalu.
"Kalo dia emang mengidap alzheimer, gue pasti berdosa banget sama tuh cowok," gumam Mentari. Ia lantas mengacak-acak rambutanya frustrasi. "Lagian kenapa sih gue refleknya harus nampar gitu? Kalo aja gue tahu dia gak senormal orang-orang lain, gue gak bakalan nampar dia."
"Tar?"
Mentari mengerjap dan berbalik. Dia melihat sang ibu menatapnya dengan tatapan aneh. "Tadi kamu nanyain Galang. Nih, dia udah pulang," tunjuknya pada anak laki-laki yang berdiri di sebelahnya.
"Mau apa lagi? Es krim? Bakso? Minta tolong jemurin daleman?" Galang menguap. "Aku habis ngerjain tugas di rumah temen."
Mentari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gak jadi deh." Ia langsung melangkahkan kakinya menaiki satu per satu anak tangga, meninggalkan Mala dan Galang yang menatapnya dengan kedua alis saling bertaut.
***
"Dia dulu di sekolah lamanya sering kesasar, kadang salah masuk kelas. Jadi Tante harap kamu bisa maklum. Dia kadang lupa jalan pulang dan lupa sama siapa dia pergi, atau lupa pernah papasan sama orang yang dia kenal di tempat umum, makanya Tante gak izinin dia pergi ke sekolah sendiri."
"Gak heran kalo waktu itu dia gak inget sama gue. Dan tiba-tiba pas pulang sekolah dia mendadak inget semuanya." Mentari bergumam. Kemudian dirasanya sebuah notifikasi masuk ke ponsel milknya. Semula ia berpikir kalau itu dari Lala mengingat dirinya sedang chat dengan gadis itu, namun dugaannya salah.
"Ngapain Pak Chandra DM gue?" Mentari membuka aplikasi Instagramnya dan membuka pesan yang dikirimkan oleh gurunya itu.
Chandra.Purnama1
Jangan lupa kerjakan tugas makalah punya saya. Jangan online terus.
Mentari sampai berkedip beberapa kali membaca isi dari pesan itu. "Nih guru satu ngapain sih? Biasanya juga gak gini." Ia langsung menekan tombol home dan mencari kontak Lala untuk video call, namun sebuah direct message kembali masuk ke ponselnya.
Kalau sampai tugasnya tidak dikerjakan, nilai kamu saya kurangi selama tiga pertemuan ke depan. Plus kamu ikut turun ke lapangan.
Kedua mata Mentari seketika membulat. Dengan cepat ia langsung menekan bagian reply dan mengetikkan balasan di sana.
Bapak gak usah bikin peraturan seenaknya gitu dong! Lagian saya kan selalu ngumpulin makalah tiap waktu.
Mentari mendengkus sebal. Guru olahraganya memang aneh, dia heran kenapa banyak murid perempuan yang berbondong-bondong mencari muka di depan Pak Chandra. Tidak lama kemudian ponsel milik Mentari kembali berbunyi.
Saya kan cuma ngingetin. Kenapa marah?
Bener juga, pikir Mentari.
Kamu ini masih muda, jangan sering marah-marah nanti muka kamu cepet tumbuh keriput kayak nenek-nenek.
Kurang ajar. Rahang Mentari perlahan mengeras. Kenapa gurunya yang satu itu selalu saja membuat tekanan darahnya naik?
Dengan kesal akhirnya Mentari pun meletakkan ponselnya tanpa berniat membalas pesan dari Pak Chandra. Gadis itu memilih menatap langit berbarengan dengan sarayu yang berpapasan dengan helaian rambutnya.
"Hidup gue kayaknya gak cukup disebut monoton." Mentari menghela napasnya. Tapi di sekolah ternyata bukan cuma gue yang gak normal, masih ada Alan."
"Lo ngatain gue gak normal?"
Mentari terperanjat dan langsung menolehkan kepalanya ke belakang. Entah sejak kapan Alan berdiri di belakangnya.
"Lo- sejak kapan lo di sini?" Mentari secara refleks berdiri dan menatap Alan. Bagaimana jika lelaki itu marah padanya?
"Sejak lo ngatain gue gak normal," jawab Alan santai. Dia lalu mendudukkan tubuhnya di bangku tempat Mentari tadi dengan kedua tangan yang sengaja dilipat di depan d**a. "Gue habis ngambil motor di bengkel barusan, terus gak sengaja lihat lo di sini. Gue panggil dari tadi gak nyahut, ternyata lagi mikirin gue." Lelaki itu tertawa pelan.
"Gak usah terlalu kepedean, karena gue cuma keinget kejadian sewaktu di minimarket. Gue bener-bener gak tahu, sori." Mentari kembali mendudukkan dirinya di sebelah Alan.
Alan menoleh dan tersenyum tipis menatap ekspresi wajah gadis itu. "Santai aja kali. Toh tamparan lo gak bener-bener bikin gue hilang ingatan, 'kan?"
"Sialan." Mentari memukul bahu lelaki itu.
— TBC