"Me-Mentari—" Lala tak bisa berbuat apa-apa sekarang karena semua orang yang ada di sana menatap ke arahnya. Gadis itu jadi ragu apakah setelah ini ia dan juga Mentari masih bisa pergi ke Mentari atau tidak.
Sementara itu kedua mata Mentari mengerjap beberapa kali saat kepalanya menabrak pelan d**a bidang milik Chandra. Ia menahan napas selama beberapa saat, sebelum akhirnya sadar dan kembali menjauhkan tubuh lelaki itu dengan kuat.
"Maaf, gak sengaja!" ujar Mentari lantang. Gadis itu melirik orang-orang yang masih menatapnya.
"Maaf untuk yang mana? Ngegandeng tangan saya atau meluk saya?" tanya Chandra.
Tubuh Mentari tersentak, kemudian gadis itu kembali menjawab, "dua-duanya! Yuk, La—"
"Gak pake makasih?" Chandra melanjutkan, membuat Mentari semakin ingin meninju guru olahraganya itu.
"Saya barusan nolong kamu lho, kalau gak saya tarik kamu bisa nabrak tiang koridor barusan."
Masing-masing tangan Mentari sudah mengepal kuat di samping tubuhnya. Gadis itu sudah hampir membuka kembali mulutnya namun di belakang sana Lala menginterupsi, "Ma-maaf soal sikap Mentari, Pak. Saya sebagai temannya sekaligus ngucapin makasih."
Usai berpamitan dari sana, Lala langsung menarik salah satu tangan Mentari dan membawa gadis itu kembali ke kelas.
"Kenapa kita malah balik lagi ke kelas sih, La? Gue laper—"
"Gue gak bisa ke kantin sambil bawa-bawa lo. Mendingan lo diem aja di kelas, gak usah ikut." Lala terdengar menghela napasnya.
"La, lo marah?" tanya Mentari hati-hati. "Kalo gitu gue bisa kok sekarang balik lagi nyamperin dia! Gu—gue bakalan minta maaf sama ngucapin makasih! Kalo perlu sambil sujud—"
"Gak perlu, Mentari. Kalo lo ngelakuin sampe sejauh itu, yang ada orang-orang malah semakin gencar ngegosip tentang lo, atau mungkin parahnya mereka ngecap lo jadi si muka dua." Lala menjelaskan.
"Gosip?"
Langkah Lala berhenti, membuat Mentari juga ikut berhenti dan gadis itu menatapnya.
"Gini ya, Tar, gue udah gak mau denger lagi gosip gak bener tentang lo sama Pak Chandra. Gue khawatir kejadian barusan tuh malah bikin orang-orang makin bersemangat ngomongin yang gak bener tentang lo, jadi untuk sementara lo diem aja di kelas, meskipun gue juga gak bisa sepenuhnya percaya sama orang-orang yang ada di kelas kita. Tapi setidaknya, lo sedikit lebih aman ketimbang di luar," ungkap Lala.
Usai mendengar ucapan Lala, di detik berikutnya Mentari mendadak terdiam. Ia dibuat merenung selama beberapa saat dan mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut temannya itu. Ia sama sekali tak pernah menyangka kalau ternyata selama ini Lala begitu memperhatikan dirinya, bahkan terkadang Mentari sendiri tak begitu mempedulikan omongan orang lain tentangnya meskipun pada kenyataannya gadis itu juga merasa kesal.
*
Lala mengambil dua botol minuman di dalam pendingin. Saat gadis itu hendak menutupnya, ia kembali mengambil sesuatu dari sana sebelum akhirnya berjalan menghampiri penjaga kantin untuk membayar makanannya.
"Temennya Mentari, kan? Emm ... Lila?"
"Lala," ralat Lala seraya menahan napasnya. "Mood gue lagi gak bagus jadi jangan ngajak berantem," tambahnya.
"Eh? I-iya, sori. Gue gak bermaksud bikin mood lo tambah jelek kok," ujar Alan. Lelaki itu kemudian menatap seluruh meja yang ada di sana namun tak menemukan keberadaan Mentari. "Dia gak ikut, ya?"
"Gue kurung di kelas," ungkap Lala blak-blakan.
Ucapan Lala tak membuat Alan terkejut sama sekali, karena ia tahu kalau Lala tak sungguh-sungguh melakukannya. Mungkin saja Lala tak ingin Mentari menjadi bahan pembicaraan di luar setelah kejadian tadi, bahkan Alan saja cukup terkejut dibuatnya.
"Si Chandra itu, emang terlalu berani," batin Alan.
Setelah siomay pesanannya selesai, Lala segera membayarnya dan pergi dari sana. Alan menatap gadis itu selama beberapa saat sebelum akhirnya ia pergi mengambil minum dan memilih kembali ke kelas.
Namun begitu melewati salah satu koridor, ia berpapasan dengan seseorang kemudian sengaja menghadang langkahnya.
"Kenapa?" Chandra berujar santai.
"Lo keterlaluan gak sih sama Mentari?"
Salah satu alis Chandra naik, "Soal yang tadi? Dia duluan yang ngegandeng tangan gue kok."
Alan tak merespon kalimat Chandra barusan dan masih menatap lelaki di depannya itu.
"Oh, yang satunya lagi? Gue kan nolong dia, jadi apanha yang salah? Kalo setelah itu banyak orang yang ngomongin gue sama dia, itu salah orang-orang karena mereka gegabah narik kesimpulan." Chandra menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Ia kemudian menepuk pelan bahu Alan sebelum akhirnya berjalan melewati lelaki itu.
Kedua mata milik Alan masih tak lepas dari Chandra barang sedetik pun. Tak bertemu selama beberapa tahun ternyata membuatnya sadar kalau selama ini Chandra sudah cukup banyak berubah.
*
Mentari terbangun dari tidurnya begitu mendengar suara Lala. Jam kosong di jam terakhir merupakan kesempatan emas yang cukup jarang terjadi apalagi jika tak ada tugas. Mentari sendiri langsung memanfaatkannya untuk tidur sementara Lala menonton drama.
"Udah bel, Tar," ujar Lala yang sudah memakai tas.
Mentari menatap ke sekelilingnya dan gadis itu pun segera merapikan peralatan menulisnya yang masih ada di atas meja.
"Lo pulangnya dijemput sama Tante Mala, kan?"
Mentari mengangguk, "Kenapa emangnya?"
"Enggak sih, nanya aja. Takutnya nyokap lo gak bisa ke sini, gue bisa kok sekalian nganterin lo pulang soalnya hari ini gue juga dijemput. Di luar panas banget soalnya, jadi gue khawatir aja sama lo. Lo kan payah banget kalo urusan naik angkutan umum."
Mentari kemudian tertawa pelan, "Sialan."
"Kalo gitu gue duluan ya, Tar, takutnya jemputan gue udah sampe." Lala melambaikan tangannya dan gadis itu keluar dari kelas.
Tidak lama setelahnya, sebuah pesan masuk ke ponsel milik Mentari tepat ketika gadis itu memakai tas.
From : Ibu
Hari ini Galang ada kegiatan ke kolam renang, terus ada acara makan bersama sama wali kelas jadi Ibu gak bisa jemput.
Kedua mata Mentari membulat membaca pesan yang dikirimkan oleh ibunya. Dan gadis itu baru sadar kalau ia mendapat beberapa panggilan tak terjawab dan ia langsung mengutuk di dalam hati. Jika saja tadi dia tak tidur, mungkin saat ini dia sudah pulang bersama dengan Lala.
Dengan setengah berlari gadis itu melewati koridor dan menaikkan topi jaketnya hingga ke kepala. Satu per satu anak tangga dilewatinya dengan terburu-buru, tanpa memikirkan kalau mungkin dirinya akan tersandung atau menabrak orang lain.
Mentari beberapa kali menelepon Lala namun sepertinya ponsel milik gadis itu mati. Kemungkinan besar baterainya habis setelah dipakai menonton tadi. Kedua kakinya refleks berhenti di ujung lobi sekolahnya. Ia menggigit bibirnya lalu menengadah, menatap horor langit yang masih super cerah.
"Apa gue minta tolong sama Alan aja, ya? Tapi ... dia pasti bawa motor." Mentari tampak ragu selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menemui Alan, apapun jawaban dari lelaki itu. Mentari mengangguk mantap dan ia memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket.
Gadis itu dengan cepat berbalik untuk segera menemui Alan di kelasnya namun ia malah menabrak seseorang di sana.
"Maaf, gak sengaja—"
Damn.
Mentari langsung mengatupkan bibirnya rapat.
—tbc