Mentari menguap begitu berjalan melewati gerbang sekolahnya. Ia menaikkan topi jaketnya yang berbentuk kucing hingga menutupi kepala.
Sekolah belum begitu ramai begitu ia datang karena memang ia sengaja datang lebih awal dari biasanya. Gadis itu berhenti begitu hendak menaiki anak tangga saat melihat ada seseorang yang turun.
"Ini masih pagi. Tumben udah berangkat," ujar Chandra seraya menatap jam tangan miliknya.
"Ada bagian piket," ujar Mentari asal. Padahal ia berangkat lebih awal karena pagi ini ibunya harus pergi menjenguk temannya yang sakit dan akan dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar di luar kota nanti siang. "Bapak habis ngapain di atas?" tanyanya kemudian.
Chandra menatap Mentari yang di bawah sana masih mendongakkan kepala padanya. Lelaki itu lantas menaikkan kedua bahunya, "cuma jalan-jalan bentar."
Kedua alis Mentari mengerut, "Jalan-jalan tuh di luar, bukannya malah di koridor. Aneh," ujar Mentari terus terang.
Salah satu sudut bibir Chandra naik, "Terserah saya dong," ujarnya. Ia meneruskan langkahnya yang sempat terhenti hingga benar-benar berhadapan dengan Mentari, menatap gadis yang lebih pendek darinya itu selama beberapa saat.
"Jangan lupa beresin makalah dari saya." Chandra kembali berujar.
"Udah beres dari semalem." Mentari menjawab dengan penuh penekanan. Ia sengaja mengerjakan makalahnya semalaman sebelum ada tugas-tugas dari mata pelajaran lain. "Oh, iya, kemarin ... Bapak ngapain di rumahnya Alan?" tanyanya kemudian.
"Bapak kenal sama Alan?" Mentari kembali bertanya usai tak mendapat jawaban. Gadis itu hanya mendapati kalau Chandra hanya menatapnya seolah tak berniat menjawab pertanyaannya sama sekali.
Lagi-lagi Chandra hanya mengangkat kedua bahunya. Lelaki itu malah menarik salah satu telinga kucing di jaket Mentari lalu menepuk-nepuk pelan puncak kepala gadis itu sebelum akhirnya pergi dari sana tanpa sepatah kata pun.
"Jawab pertanyaan saya, Pak! Pak Chandra!" teriak Mentari. Ia sempat melihat Chandra menghentikan langkah kakinya namun lelaki itu kembali melangkah pergi.
Mentari lantas mendengkus pelan menatap punggung lelaki itu. Dan di saat yang bersamaan, dari ujung koridor Lala muncul. Gadis itu hendak memanggil Mentari namun begitu ia sadar Chandra melangkah ke arahnya, gadis itu langsung beralih menyapa sang guru dengan seulas senyum, sebelum akhirnya ia mempercepat langkahnya.
"Gak usah mesem-mesem gitu bisa gak? Kayak habis nyapa artis aja lo," cibir Mentari.
Dengan senyuman lebar, Lala kemudian berujar, "jarang banget gue ngeliat Pak Chandra jam segini, Tar. Ganteng banget, mana wangi lagi," ungkap Lala terus terang seraya memeluk salah satu lengan Mentari.
Ucapan Lala membuat Mentari justru bergidik. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran murid-murid di sekolahnya yang sangat mengagumi salah satu guru olahraganya itu. Ah, tidak, mungkin mereka lebih tepatnya— jatuh cinta?
Membayangkannya saja sudah membuat Mentari merinding.
Ia dan Lala berjalan menaiki satu per satu anak tangga menuju ke kelas. Karena jadwal piketnya sama dengan Lala, jadi teman sebangkunya itu juga datang sedikit lebih awal dari biasanya.
Mentari menatap sesuatu yang ada di atas mejanya begitu berjalan melewati pintu. Sementara itu Lala yang juga menyadarinya segera berlari kecil menuju tempatnya dan mengambil benda itu dari atas meja. Gadis itu menunjukkan sebuah buket bunga berukuran sedang dan juga sesuatu yang lain.
"Ada ini di meja lo, Tar," ujar Lala. "Cie, dari siapa, yaaa ... "
Mentari memutar kedua bola matanya lalu berjalan ke arah Lala dan mengambil buket itu. Ia mencari sesuatu yang berhubungan dengan si pengirim namun ia tak menemukannya.
"Aneh. Gak ada nama pengirimnya," ujar Mentari. Ia kemudian menatap sebatang cokelat di tangan Lala. Salah satu alisnya naik.
"Kira-kira dari siapa ya? Ini kan masih pagi. Di kelas juga baru kita yang berangkat." Lala menatap ke sekitarnya.
Mentari berusaha berpikir. Seingatnya, ia tak begitu akrab dengan murid laki-laki dari kelas lain, kecuali Alan. Tapi tidak mungkin Alan yang memberikannya, karena saat ia berangkat, motor Alan masih ada di garasi dan mobil milik Dewi juga masih berada di sana yang artinya, lelaki itu kemungkinan memang belum berangkat.
Lalu siapa?
"Cuma jalan-jalan bentar."
Kedua alis Mentari kembali bertaut. Tidak mungkin jika ... Chandra yang meletakkan itu di mejanya, kan?
***
Mentari menatap langit yang terlihat biru. Awan-awan di sekitarnya juga bergerak perlahan karena tiupan angin yang ada di atas sana. Seraya menunggu Lala yang masih berada di kelas, Mentari memperhatikan kegiatan orang-orang di bawah sana.
Ia menatap salah seorang guru yang berjalan melewati koridor dan disapa oleh beberapa murid perempuan dengan antusias, sama seperti Lala tadi, namun melihat gelagat murid-murid itu, sepertinya mereka kelas dua belas.
"Gue berharap setelah ini gak berurusan lagi sama dia," batin Mentari.
"Yuk, Tar!" Lala muncul dari dalam dan langsung merangkul lengan Mentari. Mereka berdua pergi menuju ke kantin untuk menenangkan perut yang sedari tadi berbunyi meminta jatah.
Mereka menatap beberapa murid yang sedang futsal, sesekali Lala membicarakan beberapa murid yang menurutnya keren, membuat Mentari tak habis pikir. Penglihatan Lala itu jauh lebih tajam kalau soal laki-laki.
"Itu bukannya Alan, ya?" tunjuk Lala ke salah satu murid yang ada di lapangan.
Mentari yang semula tampak tak acuh itu pun sempat menghentikan langkahnya dan kembali menatap ke lapangan futsal dan melihat ke arah salah satu murid di sana. Ia melihat Alan yang bermain dengan teman-temannya di sana. Ia lega karena Alan cepat mendapatkan teman di sekolahnya yang baru, meskipun sepertinya mereka tak mengetahui penyakit yang Alan idap.
"Ngeliat mereka panas-panasan gue jadi merinding," ujar Mentari seraya melingkarkan tangannya di lengan Lala. "Yuk, ah, gue laper." Ia sesekali menatap murid-murid yang di lapangan itu dan berjalan ke kantin, hingga akhirnya ia sadar kalau beberapa murid yang berpapasan dengannya menatap ke arahnya dengan pandangan yang sulit diartikan, membuat Mentari merasa tak nyaman karenanya.
"La, ini cuma perasaan gue doang, atau mereka emang ngeliatin kita?" ujar Mentari setengah berbisik seraya menatap murid-murid itu. Tak ingin mempedulikan tatapan orang lain, Mentari kembali membuang pandangannya ke lapangan namun ia baru sadar kalau murid laki-laki yang ada di sana juga kini menatap ke arahnya, termasuk Alan. Lelaki yang tengah memegang bola itu menatap ke arahnya dengan kening mengerut.
"Ih, La, mereka kenapa sih—" Mentari membulatkan kedua matanya begitu sadar kalau yang sedari tadi ia ajak bicara bukanlah Lala, melainkan Chandra. Gadis itu refleks melepaskan tangannya dan bergerak menjauh, namun Chandra bergerak cepat saat menyadari jika Mentari hampir menubruk tiang koridor dan kembali menarik tubuh gadis itu ke arahnya.
Di belakang sana, Lala membulatkan mata dengan kedua tangan yang membekap mulutnya.
—TBC