Damn!
Mentari berkedip dua kali menatap sosok di depannya.
"Ada apa? Kayaknya ada yang gak beres," tebak Alan yang langsung tepat sasaran.
"Sip. Tumben nih lebih peka!" batin Mentari.
"Lan, lo pulangnya dijemput gak?"
Salah satu alis milik Alan naik, "Gue hari ini bawa motor. Kenapa emang? Tante Mala gak bisa jemput?" tanyanya.
Mentari mengangguk usai menghela napasnya, "Gitu deh," ujarnya. "Terus gue pulangnya gimana dong, ya? Gue pikir lo dijemput sama Tante Dewi, tadinya gue mau nebeng." Ia semakin menyesal menolak tawaran Lala tadi.
Alan terdiam selama beberapa saat sebelum lelaki itu kembali berujar, "Lo gak bisa naik angkot atau angkutan umum lainnya gitu? Taksi atau apa kek."
"Bukan gak bisa, tapi gak biasa," ralat Mentari.
"Oke, berarti mulai sekarang lo harus terbiasa." Alan menatap kedua mata Mentari dan berusaha meyakinkan gadis itu. Ia kemudian menarik salah satu tangan Mentari namun dengan cepat segera ditepis oleh gadis itu dan ia pun kembali bergerak mundur memasuki lobi.
"Lo gila?! Gue— gak bisa!" Mentari menatap Alan enggan.
"Ya terus mau sampe kapan lo di sini? Nunggu sampe malem? Nyokap gue juga sekarang lagi kerja jadi percuma kalo gue suruh ke sini. Gue juga kan bawa motor, kalo lo maksa ikut sama gue, ntar gue yang kena kalo ending-nya kayak waktu itu."
Mentari menatap matahari yang semakin condong ke barat. Gadis itu menelan ludah, lalu mengeratkan tali yang ada pada topi jaketnya. "Oke, gue naik taksi—"
"Ada apa ini?"
"Mampus!" Mentari menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap horor Chandra di sana.
"E-enggak kok—"
"Ibunya enggak bisa jemput."
Kedua mata Mentari membulat. Gadis itu menatap Alan dan mengutuk kalimat yang baru saja keluar dari bibir lelaki itu.
"s****n lo, Alan, dasar gak peka!" Mentari mulai malas lagi dengan kelakuan Alan dan mengutuk lelaki itu di dalam hatinya.
"Terus kamu pulangnya gimana?" tanya Chandra pada Mentari.
Mentari berkedip beberapa kali, "Nu-nunggu taksi." Ia membuang pandangannya ke arah lain. Gadis itu berharap Chandra akan langsung pulang setelahnya, atau nasibnya akan benar-benar berakhir dengan mengerikan.
"Bisa Bapak anterin dia pulang?" ujar Alan dengan kedua tangan yang sudah berada di depan d**a.
Lagi-lagi Mentari dibuat terkejut dengan kalimat ajaib lain yang dilontarkan oleh Alan. Kenapa lelaki itu seperti hobi sekali membuatnya terkejut?
Alan dan Chandra menatap satu sama lain selama beberapa saat, membuat atmosfer di sana menjadi agak berbeda dari sebelumnya.
Mentari menatap kedua lelaki itu secara bergantian. "Gak usah deh, ma-masih bisa naik taksi kalo nggak angkot," ia tertawa renyah seraya menarik-narik pelan seragam Alan.
"Bahkan tanpa kamu suruh pun, saya bakal nganterin Mentari pulang," balas Chandra dengan wajah tenangnya.
Kedua netra milik Mentari seketika melotot menatap Chandra. Apa telinganya sedang bermasalah?
"Tunggu di pos security. Saya ngambil mobil dulu di parkiran," ujar Chandra. Entah sadar atau tidak, lelaki itu kini bergerak merapikan topi jaket milik Mentari dan bahkan menurunkan bagian lengan jaket gadis itu hingga benar-benar menutupi seluruh jemari tangannya. Ia lalu menarik pelan lengan Mentari agar pergi lebih dulu ke pos security.
Chandra kembali menatap Alan selama beberapa saat, kemudian ia menghela napasnya pelan, "Lo bisa ngikutin mobil gue kalau lo mau. Gue juga sesekali bakal ngawasin lo. Bisa jadi masalah kalo sampe tiba-tiba lo lupa jalan pulang," ujarnya kemudian pergi dari sana.
Sementara itu Mentari yang sudah berada di dalam pos satpam itu menatap ngeri ke arah tanah yang terkena terik sinar matahari. Gadis itu kemudian menatap kedua tangannya yang ditutupi oleh jaket.
"Bahkan tanpa kamu suruh pun, saya bakal nganterin Mentari pulang."
Di detik berikutnya Mentari menampar pelan salah satu permukaan pipinya sendiri, membuat seorang satpam yang juga berada di sana menatapnya bingung.
*
Mentari melirik ke sebelahnya lalu gadis itu kembali membuang napas. Ia memilih untuk menatap ke luar jendela.
"Bukan kayak gini rencananya!" batin Mentari. Kini ia bingung, apakah ia harus marah pada Alan atau berterimakasih?
"Tumben diem aja. Biasanya ngajakin saya berantem," ujar Chandra.
"Kebalik, anjir!" Mentari mencoba meredam emosinya dan tetap menatap ke luar jendela. Ia tidak mau kalau dirinya hilang kendali dan bergerak memukuli Chandra yang sedang menyetir, atau dirinya bisa-bisa berakhir di dalam kuburan dalam waktu singkat.
"Masih marah soal kemarin, ya?"
"Pak, bisa diem gak? Saya lagi gak mood," ujar Mentari blak-blakan.
"Masih gak mood? Cokelatnya kurang?"
Mentari mendadak menahan napasnya sejenak dan berusaha mencerna kalimat Chandra barusan. "Cokelat?" lirihnya seraya menolehkan kepalanya secara perlahan.
"Mau saya beliin lagi biar gak badmood?"
Bibir Mentari masih mengatup. Tidak, ini bukan soal cokelat.
"Jadi bunga sama cokelat yang ada di meja itu ... dari Bapak?" Mulut Mentari menganga seketika saat Chandra menganggukkan kepala.
"Habisnya kamu gak bales chat saya lagi, jadi saya makin gak enak karena saya pikir kamu marah gara-gara dapat hukuman." Chandra berhenti tepat ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Lelaki itu kemudian menatap spion dan melihat sebuah sepeda motor yang berada di belakang mobilnya.
Tidak habis pikir. Seorang Mentari Putri saat ini semakin tidak mengerti dengan kelakuan ajaib guru olahraganya itu. Baru kali ini dia menemukan guru yang merasa tidak enak hati setelah menghukum muridnya padahal sudah jelas kalau muridnya yang salah, tapi— Chandra bahkan memberi bunga dan juga cokelat sebagai permintaan maaf. Guru macam apa dia itu?
"Ngomong-ngomong gak kamu buang, kan?" tanya Chandra. Ia menatap Mentari dan melihat gadis itu menggelengkan kepalanya masih dengan ekspresi terkejut.
Chandra tertawa pelan melihat reaksi Mentari dan ia menarik tali pada jaket gadis itu, lalu menurunkan hoodie-nya. "Kamu bisa kepanasan loh, rambut kamu sampe basah," ujarnya.
Mentari mengerjap dan gadis itu menepis tangan Chandra dengan cukup kasar hingga menimbulkan bunyi agak nyaring.
"Lampunya udah ijo." Mentari kembali membuang pandangannya ke luar jendela.
Chandra terdiam sejenak. Lelaki itu tersenyum tipis sebelum akhirnya kembali melajukan mobilnya.
"s**l, padahal gue berharap agar gak terlibat apa-apa lagi sama dia!" batin Mentari. Ia berharap ada keajaiban dan fobia yang dideritanya itu bisa menghilang agar ia bisa pulang sendiri naik angkutan umum. Ah, ikut dengan Alan pun tak masalah. Atau jika dia bisa naik motor sendiri, ia akan dengan senang hati menabrak Chandra sampai tubuh lelaki itu terlempar ke segitiga bermuda dan menghilang—
"Mau sampai kapan kamu di sini?"
Mentari tersadar dari lamunannya dan ia dengan cepat melepas sabuk pengaman miliknya sebelum benar-benar keluar.
"Makasih," ujar gadis itu sebelum menutup pintu. Ia lalu menatap sebuah motor yang melewatinya dan melaju memasuki halaman rumah Alan.
"Makasih untuk yang mana? Bunga atau nganterin pulang?"
Mentari langsung menatap Chandra tajam yang malah mengundang tawa lelaki itu. "Dua-duanya, puas?! Silakan Anda pulang," ujarnya dengan penuh penekanan.
"Gak ditawarin mampir dulu?"
Mentari sudah bersiap dengan kedua tangan yang mengepal di samping tubuhnya, "Gak ada siapa-siapa di rumah jadi gak usah berharap bisa menginjakkan kaki di dalam rumah saya. Jadi, silakan Anda pergi." Ia langsung memutar tubuhnya dan berjalan memasuki halaman rumahnya tanpa berniat menolehkan kepalanya ke belakang sama sekali.
—TBC